December 14, 2010

Potret dalam Kereta

Udara Kamis pagi 25 November itu serasa menusuk tulang tapi tak mengurungkan niatku ke Stasiun Serpong, menumpang kereta menuju Palmerah.
Kali itu adalah kali ke-2 aku naik kereta setelah hampir lebih dari 10 tahun tidak naik.

Pemandangan di sana begitu baru bagi mataku.

Anak berseragam yang berbincang dengan petugas di depan gerbong salah satu kereta membuat otakkku berpikir dan menggumam dalam hati “Dimana sekolah anak ini?”, “Jam berapa ia seharusnya berangkat ?” , “Mengapa masih di sini?”, “Untuk apa di sini?”

Lalu mataku menangkap seorang lelaki setengah baya terduduk sambil menyeret tubuhnya untuk berpindah ke tempat lain (ngesot). Ke-2 kakinya nampak begitu kecil dan lumpuh. Pemandangan itu berakhir, namun lebih memilukan ketika kujumpai pemandangan baru di dalam gerbong.

Seorang petugas kereta yang sedang membaca koran menggunakan kaus kaki hitam dan sandal jepit lusuh menunggu seoarang anak usia sekolah yang dengan lihai menyemir sepatu si petugas. Ini potret dalam kereta.

Mataku menemukan kembali lelaki setengah baya yang lumpuh berada di dalam gerbong yang kunaiki, tepatnya di pojok. Tatapan iba yang sedari awal kusembunyikan telah berubah berang, benci dan mencerca di dalam hati ketika kudapati dia sedang menghisap sebatang rokok. Sesekali dia beringsut sambil menyodorkan kantong yang entah higienis tidaknya, mengharap ada yang tersentuh hatinya memberikan koin atau bahkan kertas bernama uang. Ini potret dalam kereta.

Pemandangan lain adalah masih anak usia sekolah yang menyapu gerbong sambil mengharap belas kasihan.

Lalu puluhan pedagang mondar-mandir menawarkan aneka dagangannya di dalam gerbong dengan harga yang relatif miring. Tapi semuanya acuh…acuh dengan keberadaan mereka si peminta, pengamen, pedagang. Semuanya sibuk dengan urusan mereka. Ya, hingga mataku tertuju pada seorang pria berkaus hijau dengan potongan mahasiswa yang sibuk memperhatikan layar ponselnya dengan seksama, lupa dengan keadaan sekitar. Seketika pikiranku menerawang, menarik kesimpulan, membuat hipotesa sendiri yang entah kamu mau setuju atau tidak

“Pantas saja banyak kriminalitas yang dilakukan mereka—kaum peminta dan sejenisnya, yang dipandang sebelah mata. Mungkin si malang jenuh…jenuh dengan acuhnya mereka—kaum yang lebih beruntung, jenuh dengan kerasnya hati si beruntung, jenuh dengan butanya mata si beruntung melihat potret dalam kereta yang sering dijumpai, jenuh dengan tawanya si beruntung yang masih dapat memamerkan gadget mahal, tak mau merogoh sedikitpun untuk si malang yang mengharap sesuap nasi”

Yang ini mungkin pemandangannya lebih baik, juga enak didengar di telingaku. Seorang wanita karir dengan rekannya memperbincangkan Gayus. Seorang ibu, seorang pekerja, seorang warga negara Indonesia yang mengemukakan pendapatnya, mengemukakan kecewaannya atas pajak yang sering dia bayar dan ironisnya mengalir ke tangan Gayus. Sosok yang mungkin telah dibenci oleh setengah dari jumlah penduduk Indonesiaku ini, sosok yang benci kulihat tawanya di TV atas apa yang telah ia lakukan. Sosok yang kini menghilangkan kepercayaan masyarakat untuk membayar pajak, sosok yang semakin membuat si malang jauh menggapai kehidupan bahagia dan layak yang didambakan setiap orang.

Kereta berhenti di stasiun entah apa namanya, keadaan penuh sesak di gerbong yang kutumpangi , yang pasti ada penumpang lain yang naik atau turun. Aku mendengar suara tongkat diketuk-ketukan perlahan, seolah tongkat itulah yang berjalan.
Kamu benar, dia yang datang…yang membawa suara tongkat itu…dia tunanetra.
Seorang ibu berbaju dan berkerudung merah muda menyala mendekap anaknya, entah kemana tujuannya.

Lalu kini telingaku yang lagi-lagi menangkap suara…alunan nyanyian qasidahan menggema dari gerbong lain yang kian lama terdengar jelas dan memasuki gerbong dimana aku berada. Ini potret dalam kereta

Tak lama berselang, telingaku kembali menangkap alunan nyanyian yang memekakan telinga. Nyanyian kepedihan seorang anak dengan lagu dangdut genre dewasa. Alunan kasetkah itu? Lalu sama halnya dengan suara qasidahan yang semakin terdengar jelas yang menandakan si pemilik suara semakin dekat dengan keberadaanku.
Aku mendapat jawabnya, bukan alunan kaset…itu suara asli…suara anak lelaki yang memegang microphone dan bernyanyi, suaranya penuh penjelasan atas lelahnya mereka menjalani hidup mereka. Ini potret dalam kereta


***

Kami menunggu kereta menuju Stasiun Serpong di Stasiun Palmerah. Sungguh aku tak mampu menahan aroma tak sedap sepanjang menungggu yang melelahkan. Kami berbincang. Mengomentari “Sistem molor Indonesia”, ada yang menebar janji—entah siapa—yang bilang akan meneruskan pembangunan Indonesia dengan baik, tidak akan melupakan rakyat dan memperbaiki “Menara Kegagalan” yang terbentang di sepanjang jalan, yang jika bisa ke luar negeri tidak akan menetap di sana melainkan akan kembali dan membangun Indonesia mereka tercinta.

Aku hanya mendengar mereka, mengingat baik-baik perkataan mereka, bersiap menyinggahi rumah mereka jika lupa dengan janji mereka.

Aku tidak berani janji apapun, karena janji yang kupegang selama 10 tahun nyatanya dapat kuingkari begitu saja.

Hingga beberapa detik kemudian, aku menyadari seorang pria berkaus hijau dengan potongan mahasiswa yang kami temui saat berangkat telah duduk di samping salah satu temanku. Sungguh jodoh bisa bertemu kembali dengan orang yang karena sikapnya bisa membuatku berhipotesa.

***

Brak..brak..brak . suara keranjang berisi buah anggur dibanting begitu saja,adapula buah pear hijau yang menggiurkan. Kita masih di kereta, kawan . ini potret dalam kereta.

Seorang pemuda membungkusi anggur dan pear berharap sesudahnya ada yang tertarik untuk membeli. Terus terang aku hanya tertarik untuk mengetahui berapa harganya.
Seorang pemuda itu asik mengguntingi tangkai anggur dalam posisi berjongkok, dimana di hadapannya, duduk manis seorang gadis Sekolah Menengah Atas dengan posisi duduknya yang akan dapat nilai E dalam pelajaran budi pekerti. Ini potret dalam kereta.

Ada pedagang boneka ukuran besar yang pada umumnya kutemui di kebun bintang

Keadaan di dalam gerbong yang kutumpangi saat pulang itu tidak sesesak saat berangkat. Pemandangannya masih sama, si penumpang si peminta, si pedagang, si malang.

Mataku menangkap seorang pria setengah baya tunanetra yang mengalungkan alat—sejenis soundsystem yang di dalamnya mengalun musik dan dia bernyanyi , tangan kanannya membawa sebuah tongkat, dan di bahunya terdapat tangan seorang wanita--berbaju dan kerudung merah muda menyala mendekap anaknya--yang memegang penuh kepercayaan. Kamu benar, wanita itu adalah yang kutemui di saat berangkat, yang awalnya penumpang. Sepasang tunanetra. Ini potret dalam kereta

Ini potret dalam kereta yang membuatku menarik kesimpulan
Ini potret dalam kereta yang membuatku harus lebih mensyukuri hidupku
Ini potret dalam kereta yang membuatku seharusnya tidak membuang waktu hanya untuk memikirkan seseorang yang aku sayang
Ini potret dalam kereta yang membuatku ingin lebih giat belajar, menggapai cita-citaku dan tidak menjadi seperti mereka
Ini potret dalam kereta yang semoga bisa mengingatkanku pada mereka jika aku meraih cita-citaku nanti.

0 comments:

© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis