April 10, 2012

Long Time No Tell


Kangen banget sharing di blog ini. tempat sampah tercinta gue.
So, kemana saja gue selama ini?
Jawabannya ada dan tetap menulis. Mungkin itulah jawabannya mengapa gue jarang bercerita di blog. Memang ada postingan, tapi itu sebenarnya stock posting. Artinya sudah lama gue tulis tetapi baru gue share di saat gue nggak sempat mengisi blog ini.
Ribet? Emang. Sama halnya dengan jadwal gue sebulan ini.

Sebulan ini, gue baru ngerasa benar-benar menjadi mahasiswa. Kenapa?
Karena gue pulang malem (sekitar jam 8an. NB: ini malem buat gue), istirahat sebentar, ngerjain tugas sampe larut, bangun pagi, kuliah lagi, pulang malem lagi.

Jadi kenapa begitu?
Selain karena jadwal yang memang padat di semester ini, gue mencoba mengikuti salah satu UKM di kampus. Ngak usah sebut merek, yang jelas bergerak dalam tulis menulis berita.
Nah, saat ini gue sedang menjalani training sebagai bakal calon anggota. Tugasnya nggak tanggung-tanggung, bikin tulisan hampir tiap minggu. 3000 karakter untuk setiap tulisan.
Jadi, meski gue nggak ngisi blog, sebenarnya gue tetap menulis, hanya saja apa yang gue tulis adalah bagian dari tugas, bukan pemikiran atau perasaan yang tiba-tiba muncul gitu aja.

Ini sebenarnya capek banget Ya Tuhan, tapi gue mau hold on. Sekali aja.. untuk sesuatu.
Meski gue harus kehilangan banyak banget waktu untuk jam tidur gue, kumpul bareng sama Radini Marisa, maen bareng sama 131211. gue kangen dan kadang sedih sendiri kalau harus mengorbankan semua waktu itu.

Tapi ya balik lagi, gue mau hold on untuk sesuatu ini. karena itu juga, ada opportunity cost yang harus gue keluarkan.

Keep visit my blog, readers !
Thank youu so much

April 6, 2012

Langit Sore

Langit sore tak lagi menatapku

Karena aku tak menatapnya

Langit sore tak lagi bicara

Karena aku tak mengajaknya bicara

Langit sore tak lagi indah

Karena aku tak pernah lagi mengaguminya

Langit sore terus bercerita tentangmu

Mengajakku menyelami wajahmu yang tergambar di langit

Langit sore terus menyesakkan dadaku

Karena mengingatkanku akan siluet wajahmu

Langit sore akan terus begitu

Menyimpan seberkas kenangan tentang dirimu

Tapi tak pernah menghadirkan sosokmu utuh di hadapku

Langit sore tanpamu hanya menjadikanku pilu

10 Februari 2012

April 2, 2012

Mom's Idea


Mama dengan tergesa-gesa masuk ke kamarku. Memaksaku menutup layar notebook kesayanganku yang sedang membuka halaman majalah online favoritku.

“Nove, coba lihat siapa yang ada di ruang tamu !”, ujar Mama sumringah.

“Siapa emangnya Ma?”, tanyaku balik dengan enteng.

“Ya, makanya sana lihat ke ruang tamu!”, pinta Mama sekaligus menarikku dari tempat pembaringan.

Aku langsung berjalan ke ruang tamu. Menemui seseorang yang dimaksud Mama.

“Hai, Nov !”, sapa orang itu.

“Nove”, tegasku memperbaiki.

Indra hanya tersenyum seperti biasa. Oh, jadi ini tamu yang dimaksud Mama.

“Udah siap?”, tanya Indra. Matanya memandangiku dari ujung kaki hingga ujung rambut. HotPants dan kaos kuning pucat yang bersarang di tubuhku serta rambut panjang yang terikat ala kadarnya seperti hal yang salah di mata Indra.

“Siap ngapain?”, tanyaku bingung.

Belum sampai Indra menjawab pertanyaanku, Mama datang dengan segelas sirup merah untuk Indra.

“Mama minta tolong Indra buat nganterin kamu ke Toko Kue Tante Anita, yang ada di seberang jalan besar itu. Kalau kamu pergi kesana sendiri pasti nggak mau, alasannya nggak berani nyebrang di jalanan yang besar. Iyakan? Maka dari itu, Mama minta tolong Indra buat nganterin kamu”, jelas Mama yang membuatku kaget.

“Ihh Mama kok nggak kasih tahu Nove sebelumnya sih?”, tanyaku kesal.

“Iya maaf”, ujar Mama lembut di depan wajahku. “Indra, diminum dulu sirupnya. Indra, nggak keberatankan untuk nganterin Nove?”, tanya Mama penuh rajuk.

Indra mengangguk dengan senyum andalannya. “Nggak kok, Tante. Sama sekali nggak.”

“Nanti sore, sahabat SMA Mama yang tinggal di Bandung mau datang ke rumah. Dia itu paling suka sama kue-kue buatan Toko Anita. Makanya. Kamu beliin ya, Nove. Sekarang ganti baju dulu sana”, jelas Mama.

Aku kembali masuk kamar. Mengganti hot pants ku dengan skinny jeans dan meraih cardigan coklatku. Tidak lupa kusemprotkan minyak wangi andalanku. Mama bilang aku punya masalah dengan bau badanku, meski sebenarnya menurutku itu samasekali nggak benar.

“Ayo !”, ajakku pada Indra setelah keluar dari kamar.

Indra berdiri dari tempat duduknya lalu kami sama-sama menuju motor Indra yang terparkir di depan rumahku.

“Kamu pake parfum ya?”, tanya Indra sambil menggosok-gosokkan tangan ke hidungnya.

“Kenapa emang?”, tanyaku kesal. Pertanyaan Indra tidak sepantasnya dan tidak penting ditanyakan seorang cowok ke cewek menurutku.

“Serius ini bau parfum kamu? Kok baunya gini sih?”, tanya Indra lagi sambil terus menggosok-gosokkan tangannya ke hidung dan sesekali mengibaskan tangannya seolah ingin mengusir aroma parfumku.

“Kenapa sih emang? Udah ah, ayo jalan”, sergahku cepat. Tak mau terlibat perbincangan yang mulai meresahkan ini. Diam-diam aku khawatir kalau bau yang dihirup Indra adalah bau keringatku, seperti yang pernah Mama bilang “Nove, keringat kamu itu bau banget deh. Pake bedak pengharum dong, sayang !”

Indra adalah teman ku ketika sama-sama duduk di bangku SMP, dia sekaligus tetanggaku 2 tahun yang lalu. Tetapi, kami melanjutkan di SMA yang berbeda sehingga memaksa Indra dan keluarganyapun pindah rumah. Selama liburan semester ini, Indra sering main ke rumahku. Indra memang satu-satunya cowok yang rutin mengunjungi rumahku. Selain dia, tidak ada cowok yang sampai kuajak datang ke rumah.

Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan Indra. Pembicaraan kami tidak pernah nyambung. Secara fisik, Indra nggak bisa dibilang jelek. Dia tinggi dan berkacamata, kulitnya hitam tapi manis, terlebih saat tersenyum dengan lesum pipinya. Meski begitu, Indra orang yang over confiddent dan kami tidak memiliki kecocokan dalam hal apapun. Maka dari itu, aku terkesan cuek setiap Indra datng ke rumahku.

Ide Mama yang tiba-tiba meminta Indra mengantarku ke Toko Kue Anita sebenarnya sangat konyol dan tidak ku sukai. Aku tidak suka pergi bersama Indra, karena tidak ada kecocokan diantara kami. Tetapi, apa boleh buat, aku tidak bisa lagi membantah dan memang tak boleh membantah perintah Mama.

Sepanjang perjalanan menuju Toko Kue Anita, aku dan Indra saling membisu. Hingga Indra jengah dan mengakhirinya

“Kamu boleh pegangan pinggang aku kok, Nov!”, ujarnya memecah kebisuan diantara kami.

“Nove”, ujarku setengah berteriak memperbaiki namaku.

“Iya, maaf. Kamu pegangan pinggang aku aja, nanti jatuh lho”

Aku mendengus kesal. Dia kira aku anak kecil yang baru bisa duduk sempurna apa? Atau Dia pikir, ini pertama kalinya aku naik motor.

“Nggak usah. Makasih. Aku memang nggak biasa pegangan kalau naik motor”

Kami sampai di Toko Kue Anita langganan Mama. Aku langsung memesan kue yang ada di daftar yang Mama buat.

“Kalau kue-kue itu masih dibuat mbak. Belum selesai. Mau tunggu?”, tanya si penjaga toko dengan ramah.

“Berapa lama ya nunggunya?”, tanyaku

“Sekitar 30-60 menit, mbak”

“Gimana Ndra, menurut kamu?”, tanyaku minta pendapat Indra yang sedari tadi berdiri di sebelahku.

“Indra”, balasnya memperbaiki.

“Iya, Indra. Gimana?”

“Apanya yang gimana? Mau tunggu?”

“Kok balik tanya sih. Aku sih mau aja, kamu keberatan nggak ikutan tunggu?”

“Santai aja Nov. Aku mau aja kok ikutan nunggu”

“Nove”

“Iya. Nove”

Kulihat penjaga toko kue itu dahinya berkerut melihat pembicaraan kami yang saling memperbaiki nama. Aku memang tidak suka orang hanya memanggil penggalan namaku, yaitu ‘Nov’ dari ‘Nove’,

“Yaudah. Saya tunggu ya, Mbak”, putusku akhirnya.

Aku dan Indra memilih duduk di meja yang berada di pojok menghadap ke luar.

“Makasih ya, Ndra”, ujarku akhirnya.

“Indra. Kalau dipanggil Ndra, kesannya namaku Mandra. Kasihan orang tuaku udah kasih nama keren, Indra”

“Iya deh, In”

“Astaga itu lebih parah. Aku seperti cewek aja jadinya. Panggil yang lengkap dong. Indra. Begitu”

“Iya, Indra”, ucapku cepat menyebutkan nama Indra untuk ke-3 kalinya. Kali ini dengan sempurna. “Mau pesan apa nih sambil nunggu?”, tanyaku akhirnya.

“Nggak usah repot-repotlah. Aku ikhlas kok nemenin kamu nunggu”

Ya, tidak bisa dipungkiri Indra memang punya sisi baik dan kerendahan hatinya. Mungkin itu yang membuat Mama suka.

“Tapi, kalau kamu memang mau traktir aku. Aku pesan capucinno aja”, tambah Indra.

Aku menarik kata-kataku sebelumnya.

Kami menghabiskan 15 menit pertama dengan capucinno yang telah aku pesan untukku dan Indra.

“Sepertinya, Ibu kamu suka sama aku deh Nove”, papar Indra yang nyaris membnuatku tersedak.

“Hah? Tapikan Mama udah punya suami. Nggak mungkinlah dia suka sama kamu, brondong lagi”, timpalku.

“Bukan itu. Maksud aku, Tante suka sama aku sebagai teman cowok kamu”

Ada nada malu di akhir kalimat yang dipaparkan Indra.

“Atau mungkin lebih”, tambahnya lagi sebelum akau sampai membuka mulut.

“Lebih apanya?”

“Ya, lebih dari teman”

Aku hanya tersenyum kecil dan melempar pandangan ke luar.

“Kitakan sudah bertetangga lama banget ya. Udah dari kita sama-sama TK sampai SMP. Orangtua kita juga udah saling kenal. Aku yakin mereka punya rencana besar buat kita”

“Rencana besar apaan sih? Jangan suka berkhayal deh !”, ujarku sewot.

“Bagaimana kalau ternyata orang tua kita berencana untuk menjodohkan kita?”, tanya Indra dengan mata terbelalak.

Aku nyaris tersedak mendengarnya. “Indra, jangan ngawur deh. Jangan bicara sesuatu yang nggak ada dasarnya. Lagipula, aku masih SMA kelas 2, aku belum mikirin nikah. Masih mau ngejar impian aku yang segudang.”

“Ya nggak mesti nikah. Bisa aja tunangan. Omongan aku ini bukannya tanpa dasar tapi justru karena dasar yang kuat. Ngerasa nggak sih, Tante tuh care banget sama aku. Setiap aku main ke rumah, Tante tuh memperlakukan aku udah seperti anak sendiri.”

Aku memilih untuk tak membuka mulut. Semua yang dikatakan Indra sangat benar. Mama memang perhatian sama Indra. Tidak jarang Mama membandingkan antara sifatku dengan Indra. Selain itu, kalau batang hidungnya Indra sudah jarang nampak di rumah kami, Mama pasti sering bertanya padaku dan memintaku menelpon Indra untuk mengetahui bagaimana kabarnya. Tetapi rasanya nggak mungkin kalau Mama akan menjodohkan aku dengan Indra. Mama tahu banget kok kalau aku nggak suka sama Indra.

Penjaga Toko Kue Anita menyerahkan plastik berisi kue-kue yang telah aku pesan. Aku dan Indra langsung melesat keluar dari toko dan menuju motor Indra.

“Makanya Nov, kamu bisa naik motor dong”, ujar Indra dengan nada bicara yang menyebalkan dan terkesan menggurui.

“Nove !”, ucapku setengah membentak.

Aku langsung duduk di belakang Indra dengan muka cmberut. Yang aku inginkan cuma satu: sampai di rumah dan mengusir Indra.

“Makasih Indra”, ucapku sambil turun dari motor Indra.

“Iya sama-sama. Santai aja. Ohiya, tadi itu beneran bau parfum kamu?”

Astaga. Kenapa cowok over confident ini masih menanyakan hal itu. Membuatku harus mengingat kembali kejadian tak menyenangkan, juga mengingatkan masalahku dengan bau badan.

“Aku cuma nanya aja kok. Baunya kok kaya bau bayi ya?”, tambah Indra sebelum aku menjawab.

Mama datang menghambur dengan wajah bahagia menyambut kami “Eh kalian udah pulang. Kenapa nggak masuk sih? Ayo Nove, masuk. Mama mau kenalin seseorang di dalam. Kamu pasti suka deh”, ujar Mama tergesa-gesa seperti ingin menawarkan barang.

“Siapa emangnya Ma?”, tanyaku ragu.

“Teman SMA Mama, Tante Lidya. Dia ke sini sama anaknya yang seusia sama kamu. Ganteng banget deh. Mirip bule. Kamu pasti suka. Secara tipe cowok idaman kamu kan?”, oceh Mama dengan aksen gaulnya yang sering dipelajarinya sendiri.

Aku tersenyum kecil. Kulempar pandanganku ke arah Indra. Kudapati wajahnya berubah seketika. Seperti orang yang baru saja mendapatkan nilai buruk atau terjatuh setelah diangkat begitu tinggi.

“Oh tipe cowok idamannya Nove yang mirip bule gitu ya, Tante?”, tanya Indra.

“Iya, Indra. Nove sering cerita ke tante, belum pacaran karena belum ketemu sama cowok idamannya. Dia bilang, di sekolah nggak ada yang mirip bule. Makanya sekalinya ada, tante mau kenalin. Mungkin juga dijodohin”, papar Mama disambut tawa tanpa dosa. Seolah buta dengan air muka Indra yang semakin kecut.

“Yaudah yuuk Ma. Kenalin, Nove udah nggak sabar”, ucapku menyadarkan tawa Mama. Juga mengusir Indra secara tidak langsung.

“Indra, ikut ke dalam juga yuk. Tante kenalin. Biar kamu, Nove dan anaknya tante Lidya bisa main bareng”, bujuk Mama.

“Ohh nggak usah tante. Makasih. Aku pulang aja. Udah sore juga. Salam aja ya Tante buat Om Hari”, balas Indra.

“Yaahh. Ya sudah makasih ya Indra. Hati-hati di jalan”, ucap mama ramah.

Indra akhirnya pulang dengan senyum kecut. Seolah menelan rasa pahit atas buah pikiran Mama yang sulit ditebak. Atau mungkin sesekali, Indra harus menelan batu balasan akibat over confident dalam dirinya.

Aku masuk ke dalam rumah bersama Mama, wanita dengan berbagai ide gila serta nomaden dalam menjalani hidup. Tapi yang kuyakini, Mama tak pernah memaksakan keinginannya yang bukan keinginanku. Itu sebabnya, aku selalu menerima semua ide Mama.

End

© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis