April 23, 2017

80H in Malaysia - KL Story



As I promised on Malacca Story before, perjalanan kali ini adalah tentang extend saya dengan Mba Ria di KL (Kuala Lumpur). Perjalanan dari Melaka ke KL menghabiskan waktu hampir 4 jam. Dan saat itu KL sedang diguyur hujan jadi cukup lumayan macet dan genangan di beberapa titik.

Tujuan utama kita (masih bersama rombongan) adalah KLCC Suria. Rasanya seperti kurang sah ya kalau Ke Malaysia tapi belum foto dengan background Gedung Kembar Petronas. Menara Petronas sendiri berada tepat di belakang Mall Suria.

Sebelum menuju kesana, kami sempat keliling-keliling di Suria—yang tampilannya layaknya Grand Indonesia. Salah satu yang cukup bikin surprised adalah toilet dalam Mall yang berbayar. Yup, namanya premium toilet berada di lantai dasar dan pengunjung dikenakan RM 2 untuk sekali masuk. Akhirnya kita memutuskan untuk naik satu lantai agar dapat menggunkan toilet free. Kalau dipikir lagi sih, Premium Toilet ini mungkin menjadikan pengunjung—yang terburu-buru ingin menggunakan toilet—sebagai sasaran utama, ditambah lagi dengan akses yang mudah, yaitu lantai dasar. Jadi, pengunjung tidak perlu menghabiskan waktu untuk pergi ke toilet yang lebih jauh.

Pasca dari toilet, saya bersama Mba Ria memutuskan untuk berpisah dengan rombongan dan menuju kolam air mancur. Suasana pasca hujan membuat keadaan sekitar licin meski sejuk. Akhirnya kita mengambil beberapa gambar dengan Menara Petronas  terpotong.

 Anyway, air mancur yang ada di belakang kami setiap beberapa menit melakukan pergantian tarian atau gerakan yang berbeda beda. Suasana di depan kolam ini juga sangat ramai dengan pengunjung yang berfoto foto atau hanya duduk-duduk sambil merokok. Ada juga pedagang fish eyes maupun selfie stick alias tongsis, jadi tidak heran jika banyak photobomb karena banyaknya orang yang berlalu lalang.

With Foutain as a background








Setelah cukup banyak berfoto dengan background Menara Petronas yang terpotong, kami memutuskan untuk berjalan jalan di seputar taman KLCC yang memang sangat luas, terawat, indah dan juga dipenuhi banyak orang khususnya para remaja. Setelah berjalan beberapa menit, finally kami menemukan spot yang bagus dengan background Menara Petronas tanpa terpotong lagi. Meski, photobomb masih sering ada karena banyaknya orang yang berlalu lalang. Untuk yang satu ini, rasanya memang harus dimaklumi. Namanya juga tempat umum, apalagi ikon suatu Negara.

A must photo shoot

a must selfie


Taman di KLCC

KL Tower yang tampak dari kejauhan

Setelah puas menjepret sana sini, kami memutuskan untuk masuk lagi ke dalam Suria dan belanja coklat di Supermarket Setan. Dan karena masih dihinggapi rasa penasaran akan isi dari Menara Petronas serta jembatan yang menghubungkannya (sky bridge), saya dan Mba Ria mencari tahu. Ternyata, untuk dapat naik ke atas dan ke skybridge dikenakan biaya RM 85 atau sekitar IDR 260.000. karena waktu yang sudah sangat sempit dan antrean yang cukup mengular, kami memutuskan untuk berfoto di depan maketnya dan window shopping di toko souvenir yang ada di dekatnya.


Maket Menara Petrnoas as a Background

Melihat 2 mobil di atas, jadi tergoda untuk selfie (Mall Suria)
Jam 19.00 waktu Malaysia adalah waktu yang kita sepakati untuk bertemu karena rombongan harus segera ke bandara. Dan mulai dari sejak itu, saya dan Mba Ria memulai perjalanan backpackeran kami yang sebenarnya masih buta soal akses transportasi umum di Malaysia yang terintegrasi. Beruntungnya ada temannya teman yang memberikan tumpangan dan rekomendasi tempat untuk menginap, yaitu di daerah Chow Kit. Alasannya, karena lebih dekat ke Pasar Seni ataupun Petailing Street. (FYI: tujuan utama kita sih emang pengen ke situ, makanya minta diarahin penginapan yang dekat untuk kesitu. Meski tadinya berencana untuk menginap di Bukit Bintang). Selain itu, daerah Chow Kit makanannya juga banyak  yang halal.

Setelah menemukan hotel yang dirasa pas, kami langsung check in dan menaruh barang-barang lalu melanjutkan keluar untuk mencari makan. Beruntungnya hotel kami dekat dengan KFC, jadi kami memutuskan untuk makan di KFC. By the way, KFC di Malaysia hanya menyediakan nasi lemak, tidak ada nasi putih. Karena emang dasarnya lapar dan butuh asupan energi untuk melanjutkan perjalanan—yang medannya belum benar-benar diketahui—maka sayapun melahap nikmat. Sementara, partner in crime saya, Mba Ria nggak memakan nasi lemaknya.

Mengingat pesawat kita akan flight keesokan harinya pukul 18.00, maka kami memulai shopping (re : beli oleh-oleh) pasca makan malam. Tujuan utama adalah Petailing Street. Kami mencoba naik bus umum setelah bertanya sana sini. Karena orang-orang yang kami tanya entah kenapa tidak benar-benar mengetahui rute bus mana yang digunakan ke tempat tujuan.

Setelah cukup lama menunggu, kami naik bus dengan tarif RM 1. Cukup murah dan jauh dekat tarifnya memang sama. Perjalanan tidak terlalu jauh ditambah tidak macet juga. Mungkin sekitar 15 menit. Sayangnya, kami tidak benar-benar tahu dimana kami turun, sehingga kami masih harus berjalan lagi untuk mencari Petailing Street. Dan sesungguhnya kami baru tahu kalau Petailing Street itu ya China Town.

Untuk barang-barang yang ditawarkan sesungguhnya hampir sama seperti di Indonesia. Jadi kok rasanya seperti tidak ada yang khas ya, rasanya malah lebih bagus di Melaka. Tapi toh tetap saja ‘tawaf’ di Petailing Street cukup memakan waktu karena tanpa terasa sudah pukul 23.00. Bus umum ataupun bus RapidKL dan GoKL berhenti beroperasi pukul 23.00. Salah satu pemilik toko menawarkan untuk mengantar kami ke hotel dengan mobilnya, tetapi harga yang dipatok cukup mahal (lupa, kalo tidak salah RM 25). Untuk taxi sebenarnya ada banyak yang terparkir tetapi khawatir harga yang dipatok akan seenaknya karena sudah malam, kami mencoba untuk ke Stasiun LRT dekat Pasar Seni.

Suasana di Stasiun LRT sudah pasti sepi. Beberapa orang masih terlihat termasuk seorang Bapak Bapak yang membantu kami untuk memesan tiket ke Chow Kit. Tetapi, berdasarkan penjelasan si Bapak, rute yang kami tempuh haruslah transit ke KL Central terlebih dahulu dan berganti MRT. Karena khawatir MRT menuju Chow Kit sudah tidak beroperasi ketika kami sudah sampai di KL Central, si Bapak tidak merekomendasikan. Akhirnya kami tidak jadi beli tiket dan turun untuk keluar stasiun.

Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 12 malam dan suasana sekitar cukup sepi. Meski tampak beberapa pekerja dan mobil berat yang sedang mengerjakan perbaikan trotoar atau juga beberapa turis backpacker yang sedang mencari alamat. Akhirnya kami memutuskan untuk order Grab Car dan berdoa semoga ada yang mau mengangkut kami.

Setelah sempat sekali dicancel oleh si driver, allhamdulillah kami berhasil mendapatkan driver yang baik hati. Lupa namanya siapa, yang pasti orang India dan ternyata dia bekerja di IBM (based on pengakuannya sih gitu). Btw si driver baik hati itu langsung dapat mengenali kalau kami bukan penduduk setempat. Nah berawal dari cerita singkat apa yang membawa kami ke Malaysia dan besok akan segera pulang, si driver berbaik hati menawarkan kami untuk berkeliling KL.

Well, mungkin harus diralat bukan menawarkan melainkan sangat menganjurkan “Kalian sudah ke Bukit Bintang? Kalian harus ke sana jika ke Malaysia. Kalian sudah kemana saja? Ini malam terkahir kalian di Malaysia, kalian harus ke sana”. Saya dan Mba Ria hanya bertatapan sambil tersenyum. Karena awalnya kami memang berencana menginap di Bukit Bintang tetapi rencana berubah di tengah perjalanan hehe.

Sambil berbincang, si driver baik hati ini bagaikan guide kami. Mengemudi dengan baik dan menjelaskan setiap spot yang kami lewati. Mulai dari Bukit Bintang yang ramai, lampu Menara Petronas yang sudah mulai dimatikan setengahnya pada jam tertentu, pabrik coklat murah untuk turis dll. Yang pasti untuk berptar-putar itu dia tidak menargetkan berapa tarifnya. Dia menyerahkan sepenuhnya kepada kita ingin memberinya berapa.

Anyway, ternyata kita sempat terlewat dari Hotel. Hem, maklum hotelnya memang agak terpencil jadi sulit terlihat. Akibat terlewat dan jalan di Malaysia yang kebanyakan hanya satu arah, jadi kita harus memutar yang justru membawa kita melalui jalanan Pasar Chow Kit dan jalan-jalan tikus. Honestly, saat sudah memasuki jalanan-jalanan yang sempit dan sepi timbul kekhawatiran kalau tiba-tiba ada orang jahat yang muncul yang ternyata komplotan si driver. Tapi ternyata kekhawatiran saya tidak terjadi. Kami sampai hotel dengan selamat pukul 01.30 dini hari.

Setelahnya tentu saja kami tidak tidur, melainkan membongkar koper dan membereskan untuk persiapan besok. Tidur di hotel juga hanya beberapa jam, karena pukul 08.00 kami sudah keluar hotel untuk mencari sarapan. Kali ini kami mencoba sarapan di convenience store (seven eleven). Mba Ria memilih indomie goreng dalam cup sementara saya porridge dalam kemasan dan susu kotak sebagai menu breakfast

Itinerary kami sebelumnya, pagi ini ingin mengunjung Masjid Jamek dan Kuala Lumpur City Gallery tetapi lagi-lagi semua berubah di tengah perjalanan. Mengingat waktu yang sangat terbuang karena belum benar-benar mengetahui bagaimana akses menggunakan transportasi di KL, kita masih kekurangan waktu untuk mencari oleh-oleh. Dan setelah sarapan, kami kembali ke Petailing Street dan sekaligus menjajal bagaimana rasanya belanja di Central Market atau Pasar Seni. Bye bye Masjid Jamek dan Kuala Lumpur City Gallery.

Kali ini, saya dan Mba Ria menuju Pasar Seni menggunakan bis RapidKL dengan tariff RM 1 juga (sama dengan bus umum). Di part ini rasanya gregetan, karena saya baru tahu kalau ternyata kita bisa naik bus ini dengan membayar langsung sebelum naik. Karena based on browsing sebelum tiba di KL, ada kartu terintegrasi yang digunakan untuk naik bus ini maupun MKT RapidKL. Nah karena kami tidak tahu dimana membelinya, maka sejak berada di KL kami tidak pernah naik bus ini meski sering sekali berkeliaran di depan mata. Huhuhuhu, kalau tau seperti itu semalam kita nggak perlu seperti bocah ilang dan kelamaan nunggu.

Pemandangan dari bus

Sesampainya di Central Market, ternyata belum buka karena masih jam 09.00 pagi. Sementara Central Market baru mulai buka jam 10 pagi. Akhirnya kita memutuskan untuk ‘tawaf’ lagi di Petailing Street. Nggak tahu kenapa ya, ini tempat mungkin ada magnetnya karena berhasil menarik kita untuk berkali kali kembali ke sini. Tetapi karena masih terlalu pagi, belum banyak toko-toko yang buka, kecuali rumah makan yang didominasi dengan menu pork.



Main problem saya dan Mba Ria adalah bingung mencari buah tangan yang pas untuk ibu-ibu kami, sampai saat kami menemukan sebuah toko dengan baju yang modelnya unik. Harganya lumayan fantastis, lebih fantastis lagi ketika si penjual menurunkan harga demi membujuk kita untuk mau membeli. Sayangnya, kami ragu kalau ibu-ibu kami mau mengenakan baju itu, akhirnya kami memutuskan untuk meninggalkan si penjual dengan rasa takut karena si penjual ini malas dan kiranya kami hanya main-main untuk menawar. (duh maaf ya pak cik, nggak maksud deh).

Demi menghindari si penjual, kita memutar jalan ke Central Market melewati jalan-jalan lain hinga melewati pasar bekas yang seriously baunya membuat saya hampir muntah. Setelah perjuangan yang panjang menembus bau yang sangat mengaduk aduk perut di pasar bekas itu, kami berhasil menemukan jalan keluar dan sampai di Central Market.

Suasananya sangat nyaman untuk berbelanja dan untuk pecinta crafting, maka ini surganya. Barang yang dijual di Central Market beberapa juga dapat kamu temui di Petailing Street meski harganya lebih murah. Tetapi banyak barang unik dan cantik yang hanya ada di Central Market. Bisa dibilang harga barang yang dijual di Central Market ini lebih tinggi tetapi mungkin sepadan dengan suasana belanja di dalamnya.

Tampak Luar Pasar Seni (Central Market)


Meski sudah tawaf berkali-kali di Central Market, kami tak juga menemukan buah tangan yang pas untuk ibu-ibu kami. Sampai akhirnya saya menemukan yang pas karena nyaris menyerah (kaki mulai pegal). Sementara Mba Ria masih juga belum. Tetapi jam 12 kita sudah harus check out dari hotel. Akhirnya kita kembali ke hotel.

Allhamdulillah kita tidak terlambat check out, meski sempat turun di jalan yang salah sehingga harus jalan ke hotel melalui jalan tembusan. What a really hard day for us. Karena memang sudah tengah hari dan perut mulai keroncongan akhirnya kami memutuskan untuk makan di dekat hotel. Penjualnya orang Indonesia, bahkan orang Jawa. Tetapi menunya tetap saja nasi lemak. Dan minuman yang saya pesan adalah Rybenna Lychee Tea. Pilihan tepat untuk KL yang super panas. Jajanan lain yag perlu dicoba adalah potongan buah segar (jambu) dengan coklat bubuk sebagai bumbunya. Kalau di Indonesia mungkin disebut sebagi rujak.

Setelah kenyang mengisi perut (btw, Mba Ria lagi –lagi nggak makan karena nggak suka sama nasi lemak), kita berjalan menuju halte dengan menyeret-nyeret koper menyebrang di tengah jalan. Oke, seriously untuk perkara menyebrang jalan ini agak sanksi apakah dapat dilakukan bebas, sementara memang tidak ada zebra cross ataupun jembatan penyebrangan. Yang pasti kalau memang ada cctv, sudah pasti yang menyebrang sembrangan adalah orang Indonesia. Huhuhuhu maafkan.

Btw kemana perjalanan kita selanjutnya ? Kembali ke Central Market, karena Mba Ria masih kekurangan buah tangan. Well, partner saya yang satu ini memang sangat totalitas dalam memberikan buah tangan  kepada keluarganya. Jadi kami kembali ke Central Market dengan bus umum.

Saat menunggu bus di halte, kami sempat berbincang dengan bapak-bapak yang ternyata adalah orang Indonesia. Beliau berasal dari Riau dan sudah 15 tahun bekerja di Malaysia. Karena tujuan kita sama yaitu Pasar Seni a.k.a Central Market, maka beliau membantu kita dalam menaikkan koper ke dalam bus. Begitu juga saat turun. Anyway selama setiap naik bus di KL, kita allhamdulillah selalu mendapatkan tempat duduk loh.

Meski jalanannya agak ribet dan tempat yang sebenarnya berdekatan tetapi terasa jauh karena harus memutar, KL lumayan tertata sih dibandingkan Jakarta. Volume motor yang tidak seganas di Jakarta menurut saya menjadi salah satu pembedanya. Harga angkutan umum (bus) yang seragam yaitu 1 RM kemanapun juga menjadikan masyarakatnya tidak ragu menggunakan transportasi umum.



Setelah menunggu Mba Ria ‘tawaf’ sendirian di Central Market, kami memutuskan untuk ke bandara menggunakan KLIA Express (semacam kereta bandara). Harganya cukup lumayan tetapi ada jaminan akan tiba di bandara dalam 1 jam. Kami sudah sepakat harus ampai di bandara sekitar pukul 15.00, karena pesawat akan flight pukul 18.00. Mengingat sudah pukul 14.00, maka kami segera ke KL Central untuk naik KLIA Express.

Kami pergi ke KL Central menggunakan LRT dari Stasiun Pasar Seni. Akhirnya kami menjajal membeli tiket di ticket machine. Nah sistemnya bukan kartu, tetapi semacam koin plastik berwarna biru (disebut token) yang imut-imut dan rentan banget untuk hilang atau terselip. Kalau sudah begitu, jangan harap kita bisa keluar dari stasiun tujuan. Karena untuk melewati gate keluar stasiun kita harus menggunakan token biru itu.

Image result for token lrt malaysia


Image result for token lrt malaysia



Perjalanan dari Stasiun Pasar Seni menuju KL Central hanya berjarak 1 stasiun, sehingga tarifnya hanya RM 1. Btw untuk segala keriwehan di LRT ini kami tidak sempat mendokumentasikan, karena berjibaku dengan waktu untuk dapat sampai secepatnya di bandara. Begitu tiba di KL Central, kami langsung menuju counter ticket KLIA Express. Tarifnya lumayan mahal, yaitu RM 55. Tetapi sebanding dengan kenyamanan yang ditawarkan juga kecepatannya. Kami hanya menghabiskan waktu 30 menit untuk sampai di bandara. Padahal jika menggunakan jalur darat, bisa sampai 2 jam. Bravo lah untuk KLIA Express. Anyway, lagi-lagi kami bertemu dengan orang Indonesia yang berasal dari Aceh saat ada di KLIA Express. Beliau sedang kunjungan kerja di Malaysia.

Selfie ceria di dalam KLIA Express
Favourite Place from log hard tired day
Just arrived in KLIA

Perasaan lega tiada tara begitu sampai di bandara. Meski pada akhirnya ternyata pesawat delay, tetapi perjalanan ini allhamdulillah berhasil kami selesaikan dan sampai di Jakarta. Thanks to Mba Ria who always help me in every situation. Apalagi saat bongkar koper di toilet bandara dan menata ulang packing kita untuk mengamankan buah tangan (khawatir ditahan pihak imigrasi). Juga untu semua perjalanan yang random dan melelahkan, tawaf berulang-ulang, panik karena loket checked in bagasi sudah tutup. Thanks for sharing in every situation dan menjadi pendengar keluh kesah, curhatan receh selama di Malaysia. Finally, we did it ya Mbak, backpackeran meski dorong-dorong koper. Dan maafin karena salah info soal RapidKL yang ternyata bisa naik dan bayar langsung. At least, dari kerandoman itinerary ini, kita bisa menjaajal hampir semua public transportation di Malaysia.

With My Partner in Crime, Mba Ria

Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Semoga bermanfaat untuk readers. Yang pasti kalau mau jalan-jalan plus shopping, 2 hari rasanya nggak cukup di KL.

Nah, supaya layaknya blog traveler, saya akan sharing cost selama 2 hari di KL.


Pengeluaran :
Hotel : RM 30/night (sharing)
Diner in KFC : RM 7,9
Uber : RM 10 ( sharing)
Breakfast in Sevel : RM 4,9
Lunch : RM 6,3
KLIA Express : RM 55
Bus : RM 1/people
LRT : RM 1 (depends on destination)




Me in super riweh pose









April 7, 2017

80H in Malaysia - Malacca Story



Seriously sulit sekali menemukan kata pertama untk postingan ini. Mungkin karena sudah terlalu lama berkhianat dari blog dan asyik dengan segala macam story (Instagram, WA, bahkan yang terbaru Path) jadi lupa caranya menulis. Well, postingan kali ini sesungguhnya adalah tentang berbagi foto dari moment perjalanan kick off meeting saya seminggu yang lalu.
Allhamdulillah, tahun ini berkesempatan mengikuti kick off meeting bersama tim lain dari Malaysia dan Singapura. Acara bertajuk “In It To Win It” ini bertempat di Malaysia, tepatnya di Melaka. Rombongan kami (Indonesia) meninggalkan Indonesia melalui jalur udara Kamis pagi (16 Maret 2017) dan tiba di Kuala Lumpur International Airport sekitar pukul 9 (waktu Malaysia). Flight di pesawat ± 2 jam.

Foto Di Udara 
Selain pengalaman naik pesawat untuk pertama kalinya, ini juga menjadi pengalaman pertama bagi saya ke Luar Negeri. Alhasil agak keki saat melewati bagian imigrasi di Malaysia karena kurang tepat dalam menempelkan sidik jari, sampai Mak Cik nya jutek dan marah. Efek lainnya adalah jadi ketinggalan untuk ngambil bagasi.

Just Arrived in KLIA with ACA Team Indonesia 


(still) with ACA Team Indonesia in KLIA 


Salah satu spot penyambutan di KLIA

Ladies Selfie in KLIA


(still) in KLIA

Melaka lebih dekat ditempuh jika melalui jalur darat dari Indonesia (mungkir dari Kalimantan), at least itulah hasil browsing singkat yang saya ketahui. Alhasil, dari KLIA, kita masih harus menempuh perjalanan sekitar 3-4 jam menggunakan bus. Sesampainya di Melaka, kita langsung disambut dengan matahari yang menyengat juga udara yang terasa panas. Dan tak lupa makan siang yang sudah siap untuk dilahap.

Salah satu landmark di Malaka

Pelabuhan Malaka yang hanya meninggalkan Benteng

Nice choice for hot Thursday

Karena namanya kick off meeting, maka setelah makan siang dan mengagumi view dari kamar hotel, kami kembali berkumpul di aula untuk…sebut saja bekerja tapi beda latar. Acara dibuka dengan ice breaking yang menjadikan 3 negara saling blending. Mulai dari berkumpul sesuai warna kartu bridge (FYI : sebelumnya kita diminta untuk mengambil satu kartu bridge), lambang kartu bridge, nomor kartu. Selain berkumpul dengan kriteria yang ditentukan, kita juga diberi 3 misi. Yang pertama, mengetahui nama orang-orang yang memiliki nomor kartu yang sama dengan kita. Yang kedua mengetahui apa yang dia kerjakan di kantor dan yang ketiga adalah mengetahui minuman apa yang diminum pertama kali di pagi hari.

Setelah itu, kita diminta untuk saling berkumpul based on minuman yang diminum pertama kali di pagi hari. Dari beberapa macam jenis minuman (mineral water, coffee, orange juice, tea), mineral water menjadi minuman yang banyak diminum. Tidak hanya itu, mineral water banyak mengandung manfaat. Hingga pada akhirnya, kita berkumpul sesuai divisi. Saya sendiri berada di tim support bersama dengan tim marketing, operation & finance, dan inside sales. Ice breaking masih dilanjutkan dengan mengirimkan delegasi untuk setiap hint yang ada, seperti the shortest, longest, greatest, biggest dan lain-lain. Acara selanjutnya adalah mendengarkan presentasi dari country manager masing-masing Negara, juga Regional Excecutive Director. Jangan tanya jam berapa tepatnya acara itu selesai, karena meski dikatakan sudah larut sore, matahari di Melaka masih eksis di langit. Terbukti dengan pukul 7.30 tetapi kami mengiranya masih pukul 5.30 sore.

Icebreaking part  'The Smallest' with ACA Group
             
Dinner malam itu ditiadakan di Quayside Hotel (tempat kami menginap). Kami diberi uang per tim untuk dapat digunakan dinner dan acara untuk esok hari. Alhasil, kami mencari makan bersama sambil jalan-jalan di sekitaran Melaka. Tim kami berjumlah 8 orang, terdiri dari 3 orang Indonesia ( saya, Mba Ria, dan Mas Rio), 3 orang Singapura (Shang, Kala dan Jade), dan 2 orang Malaysia (Siti dan Mariam). Beruntungnya, tim dari Singapura sangat menghormati kalau kami tidak makan babi, sehingga kami rela jalan lumayan jauh untuk mencari street food yang tidak mengandung babi. Akhirnya kami berlabuh di street food India. Saya sendiri memesan nasi goreng pattaya chicken dan teh tarik.

Dinner with Red Team

       Karena masih penasaran, pasca dinner itu saya dan Mba Ria memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar Melaka Riverside hingga pukul 10.30 malam. Dari hasil perjalanan kami, dapat dsimpulkan kalau Melaka ini dulunya adalah pelabuhan. Berikut foto-foto kami.




       

Salah satu jalanan yang ada di Malaka

Entah ini Museum atau toko (yang pasti udah tutup karena sudah larut)

      Pada Jumat, 17 Maret 2017, matahari seakan masih mengumpat meski jam sudah menunjukkan pukul 7.30. tapi memang begitu adanya di Malaysia ternyata. Perbedaan waktu yang satu jam lebih cepat dari Indonesia menghadirkan Matahari yang lebih bertahan lama dan eksis. Apakah mungkin karena berada dekat dengan garis khatulistiwa ? Entahlah.

View dari Kamar Hotel 

I Love This Spot

Yang pasti acara hari kedua di part pertama adalah sesi curhat (jika boleh disebut demikian) untuk support team (minus marketing) sementara untuk sales adalah mendengarkan presentasi vendor. Nah kedua agenda yang berlangsung bersamaan ini bertempat di dalam ruangannya. Jadi cukup aman dengan terik mataharinya.

with  Support Team ACA Group

Setelah sesi menumpahkan what we have to started, stopped and continued serta brainstorming (semuanya terkait dengan hal yang kita kerjakan di kantor), acara dilanjutkan dengan Amazing Race (jika boleh disebut begitu) sesuai tim dinner semalam. Meski matahari bersinar terik di jam 3 sore, kita diberi misi untuk mengunjungi tempat-tempat yang ditentukan dan mengambil foto di tempat tersebut. Tidak hanya itu saja, kita juga diharuskan membuat mannequin challenge di salah satu tempatnya.
Foto-fotonya mungkin nggak terlalu bagus diambil, karena kita melakukannya dengan sangat cepat. Maklum di bawah tekanan matahari yang posesif seakan mau mencium, karena rasanya dekat banget. Oke, mungkin itu lebay.

Di salah satu Museum di Jonker Street (lupa namanya) 

In front of Statue of Mr. Melaka


Half of face in Jonker 3D Art Gallery

Di salah satu Museum (lagi) yang lupa namanya (lagi)


Baba Nyonya Heritage Museum

Background Gereja


Di Tengah Pusat Kota Melaka
Tempat-tempat yang dituju berada di seputaran Jonker Street dan daerah Melaka ini memang dikelilingi oleh berbagai museum. By the way, Jonker Street ini ternyata adalah jalanan yang saya kelilingi di malam sebelumnya bersama Mba Ria. Ternyata Jonker Street memang ramai di siang hari dengan berbagai macam barang-barang khas Melaka, maupun makanan & minumannya.
Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah San Shu Gong Shop. Tempat ini terkenal dengan cendol duriannya yang sangat segar dan kemasannya juga cukup menarik. Meski sebenarnya toko ini juga menjual benda-benda, seperti boneka dan pajangan. Setelahnya, kami kembali ke hotel untuk mempersiapkan dinner nanti malam.

Last Destination : Makan Cendol Durian di San Shu Gong

Salah satu spot di San Shu Gong

Dodol San Shu Gong

Cendol Durian dengan Kemasan yang Kreatif

Suasana di San Shu Gong Shop

Kick off meeting bertajuk ‘In It To Win It’ ini mengangkat Theme Sport untuk closing dinner kita. Dinnernya berlokasi di Hatten Hotel Melaka, 20 menit jika ditempuh berjalan kaki.  Tim Indonesia sendiri lebih santai dengan kostum yang mostly soccer. Saya dan mba Ria memilih kostum senam (jika memang bisa disebut demikian) untuk dinner kami. Sementara tim lain (Singapura & Malaysia) dapat dikatakan lebih totalitas. Terbukti dengan kostum diving plus sepatu katak ataupun kostum penunggang kuda (maaf foto tidak tersedia).



Our sport's costume for dinner : Senam Syariah 


ACA Team Indonesia

(masih) ACA Team Indonesia

Suasana saat sambutan REgional Excecutive Director 

ACA Team Indonesia (again)

ACA Team Indonesia
Dinner yang disertai mannequin challenge itu jika diselingi dengan games layaknya permainan kasino. Oke, yang ini sesungguhnya bingung cara mainnya di part awal. Tetapi, berakhirnya dinner maka berakhir sudah acara kick off meeting In It To Win It ini. Kita sudah free agenda hingga checkout jam 12 siang di esok Sabtunya.
Maka sebelum benar-benar meninggalkan Melaka, saya Mba Ria, Pak Kevin dan Nci Tifanny memutuskan untuk pergi mengunjungi Museum Samudera yang berlokasi tidak jauh dari hotel kami. Cukup jalan kaki 5 menit. Museum yang berada di dalam replika kapal ini mematok harga RM 10 untuk foreigners dan RM 5 untuk orang penduduk Malaysia dengan ID Card tentunya.


Pengunjung di Melaka sendiri mostly adalah turis China. Yang unik adalah saya dan Mba Ria sempat diajak berfoto oleh salah satu rombongan turis. Mungkin mereka menganggap kami adalah penuduk asli Melaka atau Malaysia. Hehehe.

Apakah kita nampak seperti turis? Tetapi yang kiri bukan turis sih hehe



view dari atas kapal yang eyegasm




Ladies time 

Selfie bareng Pak Kevin
Yang keren dari Museum ini adalah bagaimana mereka menjelaskan sejarah di setiap gambar yang ada dengan memadukan teknologi. Scan QR Code nya bisa mengantarkan ke audio. Jadi, jika ingin tahu bagaimana cerita yang tersirat di baliknya, kita cukup scan QR codenya menggunakan device yang kita miliki dan mendengarnya langsung melalui device kita. Meski ada juga penyewaan untuk headphonenya, jika pegunjung tidak membawa headset dan sejenisnya. Hal ini yang saya rasa belum ada di museum-museum yang berada di Indonesia.
Kalau untuk isi dari museum, koleksi kapalnya cukup keren sih. Tapi saya percaya, kalau Indonesia punya koleksi lebih keren dari yang ada di Melaka. Maka dari itu, saya rasa saya harus benar-benar segera ke Museum Bahari untuk memastikannya. Hehe. Beberapa foto dari koleksi Museum Samudera.

Mata Uang yang digunakan pada zamannya

Model Kapal Portugis

Salah satu lorong di Museum Samudera

Alfonso D'Alburquque

Salah satu Lorong di Museum Salmudera 2 

Setelah selesai dari Museum Samudera, saya dan Mba Ria berkeliling sebentar di pusat oleh-oleh Melaka. Honestly, nggak ada barang-barang yang bersifat khas. I mean, banyak yang bisa kita temui di Indonesia. Terkecuali tas owl yang rasanya happening di Malaysia. Akhirnya, kami memutuskan untuk membeli ransel owl.
And here is it, our journey in Malacca for almost 3 days. Thanks to my office, who brought me to the first abroad experience. And all the ‘support team’ who took the moment.

Last Selfie with ACA Team Indonesia while waiting the bus
NB : Tapi, masih ada cerita perjalanan di KL, karena saya dan Mba Ria memutuskan untuk extend satu malam. Tunggu ceritanya di postingan selanjutnya ya.

Terima kasih sudah membaca sampai akhir.

Koleksi foto lainnya 
   


with Rorey (Country Manager Thai) and Pak Richard (Operation Sin)

with ACA Sin and Malaysia Team

with the greatest experiences people (Jade and Terrina)

with Malaysia Team (Siti and Mariyam) 



with the nice Malaysia Team (Siti and Mariyam)  yang membantu kami mentranslate bahasa melayu





© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis