November 14, 2013

Pesan 'Just Be Yourself'




“Just Be Yourself”

Kalimat itu sungguh sudah tidak asing lagi bagi kita pastinya. Tetapi saya baru menyadari kekuatan di balik sebuah kalimat sederhana itu. Jadi, saat acara kelas tahunan, salah satu teman saya sempat memberi pesan kepada teman lain. Isinya “Just be yourself, aja!”. Begitu pesannya. Singkat, cliché dan nggak kreatif alias pasaran. Setidaknya itu penilaian saya saat itu.

Tetapi, beberapa hari lalu saya menguliti isi dari kalimat sederhana itu. Kalimat yang berpesan agar kita cukup menjadi diri kita sendiri, apa adanya dan tidak dibuat dibuat, tidak harus mengikuti siapapun dan tidak perlu jadi orang lain. Cukup menjadi diri kita sendiri.

Kalimat itu terasa benar adanya mengingat kita seorang manusia yang selalu berinteraksi dengan orang lain. Manusia yang melakukan mobilisasi ke lingkungan baru yang berbeda-beda, yang akan menemukan pribadi-pribadi baru yang tidak semuanya menjadi teman baik. Tidak semuanya memberi kenyamanan bagi kita atau sebaliknya.

Lalu, di saat kamu masuk di lingkungan baru, bertemu dengan pribadi baru, lalu bertemu lagi dengan lingkungan lain yang berisi pribadi lain, maka dimanakah posisi kamu ? Tentu saja kita butuh adaptasi, melakukan penyesuaian ini itu dan pandai menempatkan diri. Tapi terkadang sadarkah kita jika mungkin saja ada yang kita sembunyikan dari diri kita yang sesungguhnya demi dapat diterima di lingkungan baru. Demi dapat menjadi bagain dari lingkungan itu. Jika demikian, maka kita telah melupakan ‘just be yourself’ itu dong ya ?

Lalu di situlah saya baru menyadari kalau just be yourself itu merupakan pesan yang berat. Kadang kita lupa dan tidak sadar kalau kita secara tidak sadar telah memaksakan menjadi telah melakukan wnidow dressing untu dapat diterima ataupun mendapat pengakuan. Dan parahnya, demi window dressing itu kita telah menyembunyikan siapa sesungguhnya kita dari orang lain. Kita seperti menggunakan topeng entah untuk apa.

Jadi, benarkah kita telah menjadi diri sendiri ?

Jawabannya hanya kita yang tahu.

Semoga pesan ini sampai. Terima kasih atas perhatiannya.


November 5, 2013

Mencari Resolusi


 Mencari Resolusi
by 
Fitria Wardani






Jam dinding di kamar bertembok coklat tua itu telah menunjukkan pukul 2 dini hari. Suara kebatan kertas yang disibak keras dan cepat masih mengisi ruangan. Gadis itu tidak sedang membaca, tetapi mencari. Ia terus mencari sebuah halaman yang tergambar jelas di dalam kepalanya saat ini. Sebuah halaman yang menuliskan daftar resolusi tahun 2013 miliknya. 

Sembilan  buku jilid spiral yang diklaim sebagai buku hariannya bertebaran di atas meja. Buku-buku harian tersebut merekam lengkap kehidupannya selama 3 tahun terakhir. Hobinya melaporkan setiap peristiwa dalam hidupnya—kepada secarik kertas—membuatnya menghabiskan 3 buku harian dalam setahun.

Setiap tahunnya pula, ia tak pernah lupa untuk menyisipkan daftar resolusi serta daftar pencapaiannya di akhir tahun. Malam ini adalah minggu ke-40 di tahun 2013. Tidak ada seorangpun yang memerintahnya untuk menengok kembali isi daftar resousinya itu, kecuali pikirannya. Ia ingin melihat kembali daftar resolusinya dan menuliskan beberapa pencapaiannya pada 2013 yang telah menginjak bulan ke-10 ini.

Tetapi, meski telah berkutik pada 9 buku hariannya selama 2 jam, ia masih belum menemukannya. Ia terus membuka setiap halaman semakin kencang dan cepat. Kebatannnya jelas melukiskan kekesalannya atas pencarian yang tak juga ia temukan. Berulang kali ia merapal sendiri akan keyakinannya menuliskan di lembar sebelah kanan. Tetapi, ia tak juga menemukannya.

Tiba-tiba matanya menyala dan mulutnya berujar “Adakah seseorang yang mencuri daftar resolusiku?.” Sinar matanya yang menyala perlahan meredup saat secercah pemikiran hinggap di dalam logikanya “Seseorang tidak akan memperoleh manfaat dari daftar resolusimu, jadi tak mungkin jika ada yang mencurinya.”

Ia terus mencarinya. Terus berkutik pada 9 buku jilid spiral yang jika bisa bicara mungkin mereka akan mengerang kesakitan karena disibak begitu keras. Sementara yang jelas ia temui adalah daftar resolusi dan pencapaiannya di tahun 2012.

Ia lelah dan menyerah. Matanya perlahan tertutup, meski isi kepalanya masih terus membayangkan sebuah halaman berisi penuh daftar resolusinya untuk tahun 2013. Bayangan yang begitu jelas, ia hanya lupa menuliskan di buku hariannya yang mana.
* * *
Ulasan senyum menghias secercah wajah yang asyik dengan kertas di hadapannya. Tangannya menari setelah diperintahkan oleh kerja otak membuat daftar resolusi yang ingin ia capai di 2013 nanti. Sesekali ia mencoret atau memperbaiki setiap poin di dalam daftar resolusinya jika dinilai lebih besar dari kapabilitasnya.

Setelah dirasa cukup, maka ia menempelkan daftar resolusi itu pada sebuah halaman di buku harian jilid spiralnya itu. Senyumnya kembali merekah. Senyum yang sama di setiap tahunnya saat ia mengantarkan daftar resolusinya memasuki gerbang kehidupan di tahun yang baru.

Tetapi, sedetik kemudian matanya yang berbinar meredup. Senyumnya hilang perlahan saat melihat sebuah halaman berisi pencapaiannya di 2012. Hanya ada dua poin pencapaian dari 15 daftar resolusi yang telah ia buat. Sementara di tahun sebelumnya, ada 3 poin pencapaian dari 20 poin daftar resolusi yang ia buat.

Gadis itu berang. Daftar resolusi yang ia buat tiap tahun tak memuaskan secara kuantitatif, apalagi kualitatif. Seketika ia muak membuat sebuah resolusi dan sedetik kemudian merobek sebuah halaman yang baru saja ia hadirkan.

Robekan sebuah halaman daftar resolusinya untuk tahun 2013 kini telah menjadi gulungan yang bersarang indah di dalam tong smaapah kecil kamarnya.

“Persetan dengan resolusi,” ujarnya sambil berlalu. Tembok coklat tua kamarnya menjadi saksi.

End


26 September 2013
00.30 WIB

November 1, 2013

Lesson from October



Hello readers.                                   

Oktober telah hengkang dan November—si bulan ke-2 terakhir dalam kalendar masehi—telah datang. Saya menyadari kalau postingan bulan Oktober kemarin sangatlah sedikit dan sebenarnya merupakan arsip yang telah ada di notebook saya sejak tahun lalu.

Bukan untuk beralibi, tapi Oktober ini menjadi pusat kehectican bagi saya, mulai dari kegiatan kampus, perkuliahan, hingga keluarga. Kalau boleh sedikit share, Oktober ini menjadi waktu action nya kita (saya dan teman  teman panitia) atas sebuah acara. Setelah persiapan 2 bulan sebelumnya.

Honestly, saya hanya menjadi orang di balik layar yang harus mempersiapkan sebelum hari H, setelah hari H dan perkembangan setiap harinya. Kenapa pusat kehectican keluarga ? karena di  bulan ini juga  salah satu sepupu saya menikah di weekedays (oke sebenernya mungkin ini ga perlu dijelasin hehe) beberapa anggota keluarga yang jatuh sakit, dsb. Dan pusat kehectican kegiatan perkuliahan karena di bulan inilah UTS digelar.

Iya, ujian tengah semester. Artinya semester ini telah dilewati setengah perjalanan. Betapa cepatnya waktu ini berlari, Ya Tuhan. Honestly, saya menulis ini di sela waktu istirahat untuk mempersiapakan UTS yang tersisa 1 matkul lagi.

Postingan kali ini sebenarnya bukan untuk bercerita bagaimana semua acara itu berlangsung, tetapi lebih kepada pembelajaran yang bisa saya ambil dari 2,5 bulan ini. Yes, lesson I learned from all my experiences.

Ini kepanitiaan terbesar—dengan 6 acara—yang pernah saya ikuti dimana saya cukup berperan sentral di dalamnya.  Kalau mau dikaitkan dengan salah satu matkul, atau mungkin lebih maka saya bisa mengamini kalau Sistem Pengendalaian itu penting.

Iya, Pengendalian (controlling) yang merupakan proses pengawasan dengan memantau dan memperbaiki jika terjadi penyimpangan (Maaf, ini definsi pribadi hehe) memang sangatlah penting. Dari proses kemarin, saya belajar kalau semua panitia haruslah melakukan pengendalian satu sama lain. Dalam bentuk teguran untuk koreksi jika ada yang salah.

Jika ada kesalahan, maka tidak bisa hanya satu orang yang disalahkan meski mungkin itu merupakan kelalaian dan tanggung jawabnya. Tetapi, mungkin kita lupa kalau kita juga lalai untuk peduli, lalai memberikan koreksi, dan lalai untuk mengingatkannya

 Selain itu, kita juga harus memosisikan diri sebagai orang yang mendapatkan koreksi itu. Mendapatkan koreksi artinya pemberitahuan cara atau langkah yang benar yang seharusnya kita lakukan. Bukankah hal itu sangat baik ? I mean, jika ada orang yang memberitahu kita cara yang seharusnya dan sebaiknya, menunjukkan kalau orang tersebut peduli dan menginginkan kita mengerjakan dengan lebih baik lagi.

Maka dari itu, pantaskah kita marah-marah karena telah merasa bersusah payah melakukan hal—yang mendapat koreksi—itu ? jangan, readers. Ada baiknya kita merenungkan apa koreksi yang diberikan teman kata itu. Dan kita yang juga berkesempatan menjadi pihak pengkoreksi, mari ikut siapkan solusi untuk  teman kita yang terkoreksi itu. Semoga paham dengan maksudnya ya.



Pelajaran selanjutnya adalah soal tanggung jawab, wewenang dan profesionalitas. Dan kesimpulan besarnya dari saya adalah saya harus kembali belajar banyak soal profesionalitas. Karena bagaimanapun juga status (dalam hal ini jabatan) yang telah melekat dalam diri seseorang menciptakan stigma dari orang lain. Maka dari itu, kita harus mempertanggungjawabkan sebuah status itu dengan bekerja secara professional.

Dari acara kemarin, saya juga menemukan sebuah fakta kalau kita tidak bisa memaksakan orang lain mengikuti apa yang kita lakukan atau memaksanya melakukan hal yang seharusnya ia lakukan. Yang ada, kita hanya bisa memaksakan diri kita sendiri. Contoh kecilnya kalau kita malas, kita tidak bisa memaksa orang lain untuk terus menyemangati kita agar kita tidak malas atau kita memaksa mereka untuk mengerjakan tugas kita. Yang ada kita hanya bisa memaksakan diri kita untuk bangun dan melawan semua rasa malas dalam diri itu.

Selanjutnya, soal persahabatan, kesetiakawanan atau se-iya sekata atau senasib dan sepenanggungan. Haha rasanya semua   terlalu berlebihan. Sebenarnya yang ingin saya garisbawahi adalah soal alasan. Alasan yang cukup tidak rasional tapi tetap kita jalankan. Contoh kecil dan nyata dari acara kemarin adalah saat rapat. Rapat persiapan acara seringkali digelar hingga bulan dan bintang menjadi hiasan (baca : sampe malem). Pernah sesekali, saya dan teman BPH masih harus rapat dengan pengurus soal budgeting setlah rapat umum selesai.

Tetapi, betapa kagetnya saya saat rapat bersama pengurus selesai, saya masih menemukan mereka di luar (gelap dan banyak nyamuk) masih menunggu dengan setia. Mari berpikir secara rasional, apa alasan kita menunggu teman yang masih memiliki kepentingan padahal jalan pulang belum tentu searah ditambah besok harus presentasi kuliah atau tugas?

Lalu, saat pulang maka kami benar-benar pulang, bukan merencanakan untuk makan bersama terlebih dahulu atau apa. Kami saling menunggu karena ingin keluar gerbang kampus secara bersama-sama. Sungguh alasan yang tidak mudah dipahami. Padahal teman kita itu tidak memberikan uang jajan, gadget terbaik atau mentraktir  kepada kita, lalu mengapa  ? Alasan menunggu itu ?

Bukankah ini sebuah alasan yang tidak rasional. Karena memang tidak ada alasan di dalamnya. inilah pengaruh dari adanya trust yang telah tertanam satu sama lain. Trust itu adalah jawaban yang tercipta karena proses yang tealh kita lewati selama 1 atau 2 tahun ke belakang ini Tetapi, readers  berhati-hatilah dengan trust, jika kamu mengkhianatinya maka akan sullit menumbuhkannya kembali.

 


Terima Kasih Cemara yang setia menunggu (hehe)

Bersama Ketua Pelaksana (Kanan)


Menyoal bohong. Saya paling benci dibohongi, apalagi dengan orang yang sudah sangat kita percaya, karean pada dasarnya saya sulit percaya kepada orang lain. Dan jika sekali saja kamu berbohong, maka kamu akan mencari kebohongan lain untuk menutupi kebohongan lainnya. That’s why kita nggak boleh bohong, karena secara nggak langsung hal ini menjelaskan kalau bohong itu tidak akan pernah menemukan garis finish.

Atas semua hal ini, yang sangat saya dapatkan adalah Tuhan akan mengabulkan doa umatNya, kita hanya perlu percaya dan tetap yakin serta bersabar menunggu kapan waktu itu tiba. Atas semua proses yang menyulitkan dan melelahkan ini, saya merasa bersyukur karena ini semua merupakan doa yang ssaya titipkan mealui malaikat dan dikabulkan oleh Tuhan. Doa yang bukan setahun atau 2 tahun kemarin saya ucapkan. Dan kenapa Tuhan baru mengabulkannya sekarang, saya percaya Tuhan punya alasan terbaikNya yang rasional.

Terima kasih untuk semua teman-teman panitia Pekan Koperasi atas kerjasama dan semangatnya. Mohon maaf untuk semua kata dan perilaku saya yang selama ini mungkin secara sengaja atau tidak melukai teman-teman. Semoga semua proses ini mendewasakan kita dan menjadikan pelajaran dan krayon indah dalam kehidupan kita.



© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis