June 14, 2012

See You, Bayu





                Satu per satu pelayat berbaju hitam itu meninggalkan gundukan tanah yang bertabur bunga segar. Mendung memang telah bergelayut di langit, tetapi belum juga menitikkan air ke bumi. Akhirnya kulangkahkan kakiku menuju makam orang yang pernah kucintai dan diam-diam masih kucintai hingga saat ini. Aku beranjak meninggalkan pohon kamboja yang sedari proses pemakaman hingga selesai meminjamkan tubuhnya sebagai tempat persembunyianku. Ya, aku memang lelaki pengecut yang hanya dapat mengantarkan kepergian orang yang begitu tulus mencintaiku—selama hampir 5 tahun—ke tempat peristirahatan terakhirnya dari kejauhan.
                Dengan gemetar, kupaksakan kakiku terus melangkah menuju makam Rina. Ketakutan muncul kalau-kalau Rina bangkit dari kuburnya lalu menerkamku di sore yang menunggu hujan datang ini. Rina mencekikku dan mengajakku ikut tinggal di liang peristirahtannya kini yang pastinya gelap.
                Kuhancurkan ketakutan tak berakal itu dalam benakku. Rina wanita baik dan ceria. Alam kami telah berbeda. Rina tak mungkin mengajak aku—lelaki yang pernah dicintainya—untuk ikut bersamanya di alam yang baru. Kakiku masih terus kuseret dengan gemetar menuju makam Rina dengan lamunan 3 tahun silam.
                “Aku mau dibawa kemana sih Yu? Kok pake acara ditutup matanya begini?”, tanya Rina dengan nada penasaran.
                “Udah kamu nurut aja sama aku. Nggak akan diapa-apain kok”, jawabku  sambil terus mengarahkan Rina—yang ditutup matanya—menuju tempat yang telah kupersiapkan.
                Lingkaran cahaya lilin yang membentuk hati di sebuah taman adalah tempat yang telah kupersiapkan. Sangat sederhana. Seperti kebanyakan yang dipertontonkan film romantis di layar kaca ataupun layar lebar.
                Sekarang, Rina telah berada di tengah-tengah cahaya lilin yang berbentuk hati itu. Aku berada tepat di depannya. Setelah kain hitam yang menutup matanya telah terbuka, Rina masih kuminta untuk memejamkan matanya.
                Sebelum Rina sampai membuka matanya, kuatur kembali nafasku yang memburu. Diam-diam aku menarik nafas, tak ingin nantinya ucapan yang keluar dari mulutku bergetar.
                “Sekarang kamu boleh buka mata kamu, Rin”, pintaku akhirnya.
                Rina membuka matanya dan terbelalak melihat cahaya lilin yang mengelilingi kami.
                “Ini ada apa Yu? Kamu yang siapin semua ini?”, tanya Rina dengan nada bahagia dan pandangan mata menyapu sekelilingnya.
                “Iya. Kamu suka?”
                “Banget. Simple but romantic. Aku tahu kenapa kamu buat ini semua.”, ungkap Rina sambil mengembalikan matanya yang bulat ke mataku.
                Aku terlonjak kaget. Khawatir. Bagaimana mungkin Rina bisa mengetahui apa rencanaku di balik semua ini. Sepengetahuanku Rina bukanlah gadis yang dapat membaca pikiran orang.
                Rina yang kukenal adalah pecinta lingkungan. Berbagai kegiatan sosial yang berkaitan dengan kelestarian alam seperti menjadi agenda kesehariannya. Terakhir Rina bercerita tentang keterlibatannya dalam kampanye melindungi orang utan. Karena hal itu, Rina memang sering keuar masuk hutan dalam beberapa minggu terakhir. Hal itukah yang membuat Rina bisa membaca pikiran orang? Apakah dia melakukan ritual di tengah hutan meminta ‘keahlian khusus’ di sela tugasnya yang berkaitan dengan orang utan?
                “Bayu ! Kok kamu malah melamun sih?”,  panggil Rina dengan suara manjanya yang menghancurkan semua hipotesa tak berdasarku.
                “Iya, Rin. Aku nggak melamun kok. Jadi kenapa aku bawa kamu kesini dan siapin ini semua buat kamu? Emang beneran kamu tahu?”
                Rina mengangguk mantap. “Karena hari ini bertepatan dengan 2 tahun kita jadiankan? Happy Anniversarry ya sayang. Aku pikir kamu lupa”.
                Rina mendaratkan bibirnya di pipiku.
                Fiuuh. Jadi cuma itu yang ada di pikiran Rina. Syukurlah.
                “Happy Anniversarry. I love you”, balasku.
                “I love you too, Bayu”
                “Rin, kamu sudah menjadi bagian hidupku selama 2 tahun ini, begitu juga dengan aku yang telah menjadi bagian hidupmu. 2 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Dalam 2 tahun ini, kita sudah saling kenal, sudah saling tahu satu sama lain. Kita memang punya banyak kesamaan, mulai dari selera makanan, musik, sampai selektif dalam berteman. Tetapi nggak bisa dipungkiri, kita juga punya banyak perbedaan. Kamu begitu care sama lingkungan sementara aku seakan masa bodo dengan keadaan bumi yang semakin tua. Tetapi perbedaan yang sepertinya kecil itu nggak jarangkan menghadirkan konflik di antara kita? Kita nggak bisa terus ngejalanin relationship yang terkesan dipaksakan”
                Aku menarik nafas. Kulihat mata Rina menatap tajam sambil terus mendengar setiap kata yang keluar dari bibirku—yang memang telah kupersiapkan dengan matang.
                “Aku rasa hubungan kita cukup sampai di sini aja, Rin”, ujarku sambil melangkah mundur.
                Kulihat mata Rina berkaca. Seperti butuh tenaga untuk mengucapkan sepatah kata dari bibirnya. Hening. Tak lama kemudian setetes air bening meluncur di pipi Rina yang beralaskan bedak tipis setiap harinya.
                “Aku rasa status aku sebagai pacarmu dan kamu sebagai pacarku cukup sampai di sini aja Rin. Aku harap kamu mengerti.”
                Kini Rina terisak. Air mata terus meluncur deras membasahi wajahnya. Wajahnya tertunduk menahan isaknya. Tak ada lagi tatapan matanya yang tajam namun indah merasuk dalam mataku.
                “Kamu…serius, Yu?”, tanyanya terbata tanpa mengangkat kepalanya.
                Aku mendekatinya. Merengkuh bahunya dan mengangkat dagunya yang begitu licin.
                “Aku serius, Rin. Aku ingin mengakhiri status aku sebagai pacarmu dan kamu sebagai pacarku. Aku ingin menggantinya. Aku ingin menjadi suamimu dan kamu menjadi istriku”, jelasku mengakhiri sandiwara.
                Mata Rina yang basah akan air mata terbelalak.
                Kusempurnakan dengan memosisikan diriku dalam posisi memohon dan membuka sebuah kotak mungil berisikan cincin manis yang kupersembahkan untuk Rina, kekasih yang telah kupacari 2 tahun ini.
                “Maukah kamu menjadi yang terakhir dalam hidupku Rin? Menjadi istriku? Melewati hari-hari selanjutnya bersamaku hingga maut memisahkan kita?Maukah kamu menikah denganku?”
                Rina mendekap mulutnya. Dia menangis.
                Aku langsung berdiri dan menjatuhkannnya dalam pelukanku.
                “Kamu jahat Yu. Ini nggak lucu tau ! Jadi dari tadi kamu becanda?”, semprot Rina kesal di sela tangisnya.
                Aku tersenyum kecil.
                “Jadi akting aku baguskan? Terus terima tawaran aku nggak?”
                “Nggak”
                “Ah kamu jangan ikutan akting gitu dong. Mau balas dendam ya sama aku?”, tanyaku usil.
                “Aku serius Yu”. Rina melepaskan dirinya dari dekapanku. Diseka wajahnya yang penuh dengan air mata.
                “Oke lebih tepatnya, aku belum bisa menerima tawaran kamu untuk menjadi istrimu. Aku baru mengenalmu selama 2 tahun. Aku masih butuh kenal kamu lebih jauh, selain itu…masalah lingkungan sedang begitu kelam melanda bumi. Aku nggak bisa untuk nggak peduli ataupun membagi waktu antara lingkungan dan suamiku. Aku rasa itu jadi nggak adil. Aku belum bisa”, jelas Rina yang seakan merontokkan jantungku.
                Rina mengambil cincin manis dari kotak kecil yang berada di genggamanku. Dia menempatkan cincin itu di jari manis tangan kirinya. Aku sontak terkaget. Mungkinkah ini sandiwara balasan dari Rina?
                “Kalau kamu nggak keberatan dan sedang tidak terburu-buru, aku ingin kamu memberi kesempatan bagi hubungan kita. Setidaknya 1 hingga 2 tahun lagi. Cincin ini akan terus melingkar di jari manis aku, anggap aja cincin pura-pura nikah. Dengan cincin ini, kita belajar untuk beneran bersikap sebagaimana layaknya suami istri, tetapi bukan dalam hal seksualitas. Cukup dalam perilaku kita aja. Dengan cincin ini juga, kita belajar untuk selangkah demi selangkah menjadi serius. Tetapi kalau kamu nggak bisa, kamu bisa pakaikan cincin ini ke wanita lain, Yu.”, jelas Rina panjang lebar.
                Aku mengangguk mantap. Ada benarnya juga semua perkataan Rina.
                “Oke. Karena ini cincin pura-pura nikah, aku juga harus pakai dong. Aku akan cari satu lagi buat aku pakai”
                Kami saling berpelukan dengan senyum mengembang di hari jadi kami yang ke-2 tahun di taman ini, yang menjadi saksi cinta kami 2 tahun lalu dan saksi cincin pura-pura nikah kami yang terikat di jari manis Rina—gadis yang kucintai dan akan terus kucintai.
                Aku berhasil sampai di makam Rina, duduk di tepinya. Mengelus pusaranya yang bertuliskan namanya. Kukeluarkan kotak mungil dari kantong celana hitamku. Kubuka perlahan kotak yang berisikan 2 cincin pura-pura nikah milik aku dan Rina.
                Kuletakkan kotak beserta isinya di dekat pusara Rina. Cincin pura-pura nikah yang terpasang selama 2 tahun lebih di jari manis Rina.
                Ingatkah kamu dengan cincin pura-pura nikah ini, Rin? Bisikku dalam hati.
                Ingatanku melayang menuju peristiwa 6 bulan lalu.
                “Sayang, aku udah sampe di Kedai Kopi nih. Kamu dimana? Nggak lupa sama janji kitakan?”, tanyaku lewat sambungan telpon genggamku.
                “Iya, Yu. Aku lagi di jalan kok. 10 menit lagi sampe. Kamu tunggu aja”, jawab Rina dari seberang telpon.
                “Oke, aku tunggu kamu di meja 14”.
                Klik. Sambungan telpon dari seberang telah diputus. Aneh pikirku. Tak biasanya Rina mengakhiri pembicaraan tanpa mengucapkan magic wordnya, yaitu “See you, Bayu” dengan nada manja menirukan anak balita.
                Sudahlah. Mungkin Rina sedang terburu-buru mencapai Kedai Kopi ini. Aku tak sabar bertemu dengannya. Sebulan yang lalu, aku kembali menagih janji Rina. Jawabannya Rina telah siap menjadi istriku. Kami mulai sibuk mempersiapkan segala keperluan yang berkaitan dengan pernikahan kami. Tetapi, 2 minggu yang lalu Rina sibuk dengan rutinitasnya sampai-sampai tak pernah memberi kabar padaku. Aku sangat khawatir, tetapi kekhawatiranku terhapuskan karena telpon dari Rina semalam. Rina ingin bertemu denganku di Kedai Kopi.
                Rina kini telah duduk di hadapanku. Tak ada senyum yang menghias bibirnya sejak dia datang hingga kini. Jari manis—tempat cincin pura-pura nikah bersarang—terlihat kosong. Hei dimana cincin itu, tanyaku. Tapi hanya dalam hati.
                Moccacino dan Black Coffee yang kupesan teronggok di atas meja. Rina tak menyentuhnya sedikitpun, begitu juga dengan aku. Aku menangkap garis wajah Rina yang tak seperti biasanya. Mungkinkah Rina sedang berakting?
                Rina mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Kotak mungil yang berisikan cincin pura-pura nikah pemberianku 2 tahun silam. Rina mendorong kotak itu ke arahku.
                “Aku minta maaf, Yu. Aku nggak bisa memenuhi janjiku 2 tahun silam. Aku nggak bisa menjadi istrimu”, jelas Rina yang membuatku seperti tersambar petir di siang bolong.
                “Kamu…kamu apaan sih Rin? Aku tahu kamu pasti  lagi becandakan? Kamu lagi aktingkan? Membalaskan dendam kamu yang 2 tahun itu di taman?”, tanyaku bertubi-tubi sambil berharap Rina akan jawab ‘ya’.
                “Nggak, Yu. Aku nggak suka becanda kaya kamu. Aku juga nggak punya bakat akting seperti kamu. Aku serius.”, tegas Rina dengan traut wajah seolah dipaksakan.
                “Aku tahu kamu habis donor darahkan sebelum kesini? Terus seperti biasa, kamu pasti menolak makan mi instant yang udah disediakan panitia, dengan alasan mi instant itu nggak sehat. Lalu dengan setengah darah kamu yang udah dikuras, kamu jadi bicara ngawur sampai-sampai nggak mau menikah dengan lelaki yang telah kamu pacari 4 tahun lebih?”, cercaku.
                Rina hanya diam. Ayolah apalagi ini Rin? Kenapa kamu bersandiwara sejauh ini. Sandiwaramu norak dan masih harus belajar banyak dariku, ungkapku dalam hati.
                Setahun ini, Rina memang sibuk dengan kegiatan sosialnya, setelah orang utan, gadis berjiwa sosial tinggi ini melirik kantung-kantung darah yang persediannnya kian menipis di Palang Merah Indonesia. Rina mulai ikut kampanye untuk ‘Ayo Donor Darah’. Rina juga tak pernah absent untuk mengisi kantung-kantung darah PMI dengan darahnya setiap 3 bulan sekali. Rina juga sering mengajakkku, tetapi aku tak pernah mau. Harus kuakui aku takut akan jarum suntik.
                Aku menggenggam tangan Rina.
                “Ada apa Rin? Kalau ada masalah, kamu bisa berbagi denganku”, ujarku lembut.
                Rina menarik tangannya dari genggamanku.
                “Sebaiknya kamu cari jari manis wanita lain untuk cincin itu, Yu.”.
                Rina mengedarkan pandangannya ke arah lain. Dia tak berani menatap mataku.
                “Aku nggak bisa menjadi istrimu. Nggak akan bisa, karena aku nggak pantas”, sambungnya lagi.
                “Aku yang pilih kamu, Rin. Bagaimana mungkin kamu nggak pantas?”
                “Kenyataannya memang begitu, Yu. Aku terkena HIV.”, ujar Rina lirih.
                Kepalanya tertunduk. Setetes air bening menetes dari matanya, lalu buru-buru dia seka. Rina mengeluarkan amplop kuning dan menyodorkannya ke hadapanku. Tanpa banyak tanya, aku membuka amplop itu dengan perasaan gemetar.
                Kubaca hasil lab yang tertera. Rina tidak berbohong. Dia tak bersandiwara. Rina dinyatakan positif terjangkit penyakit AIDS, penyakit yang begitu menyeramkan dan ditakuti banyak orang, penyakit yang belum ada obatnya, penyakit yang perlahan tapi pasti akan mengantarkan si penderitanya menuju ke peristirahatannya terakhir.
                Aku tak mampu berkata-kata. Bagaimana mungkin? Rina? Rinaku? Rina gadis yang telah kupilih untuk mendampingiku hingga akhir hidupku? Gadis periang yang rendah hati dan tak pernah sungkan membantu siapapun yang membutuhkan pertolongan. Mengapa harus dia?
                “Aku baru tahu 2 minggu yang lalu, Yu. Aku minta maaf telah membuatmu menunggu tapi pada akhirnya aku nggak bisa menjadi istrimu. Aku nggak ingin merusak hidupmu lebih jauh. Aku nggak ingin kalau nantinya…kamu dan anak-anak kita harus menanggung penyakit nista ini. Biar aku aja, Yu. Biar aku sendiri. Aku ikhlas…kalau kamu menikah dengan wanita manapun yang memang bisa membahagiakan kamu. Yang lebih baik dari aku.”, jelas Rina panjang lebar di sela tangisnya.
                Enam bulan berlalu setelah pengakuan Rina. Aku tak mengatakan apapun padanya. Tak berusaha menghentikan langkahnya untuk meninggalkanku, untuk menjalani sendiri rasa sakitnya atau bahkan untuk sekedar mengatakan ‘aku memaafkanmu’.
                Aku begitu shock mendengar pengakuan Rina. Aku menutup diri dari wanita lain dan siapapun. Aku mengganti nomor ponselku dan tinggal di rumah nenekku yang berada di Bandung. Rina seakan seonggok daging haram untuk kudekati.
                 Aku dan Rina tak pernah bertemu atau sekedar kontak setelah peristiwa itu. Aku begitu bodoh. Semua hal buruk tentang ODA (Orang dengan HIV/AIDS) menutupi pikiranku. Aku tak pernah berpikir bagaimana Rina melewati kehidupannya sebagai penyandang AIDS, tanpa aku—lelaki yang dicintainya selama hamper 5 tahun. Aku tak berusaha mencari tahu bagaimana Rina bisa terjangkit virus mematikan itu.
                Saat pikiranku hampir terbuka dan mencari tahu segala hal tentang AIDS, aku telah terlambat. Rina telah berpulang ke sisiNya. Dari sahabat-sahabatnya, kudengar daya tahan tubuh Rina terus menurun sehingga berbagai penyakit senang menggumuli tubuhnya. Ditambah lagi, Rina merasa orang yang begitu dicintainya tak ada di sisinya.
                “Rina pengen lo nyemangatin dia, Yu. Tapi lo seakan hilang di telan bumi. Nggak tahu kemana batang idungnya”, ungkap salah satu sahabat Rina padaku lewat telpon.
                Aku tak pernah melihat bagaimana wajah terakhir Rina. Mungkin aku tidak pantas. Aku terlalu pengceut. Sebagai balasan dari rasa bersalahku, aku memutuskan untuk menemani Rina malam ini—malam pertamanya sendiri tanpa siapapun di sisinya.
                Suara petir menyambar begitu dahsyat
                “Kamu nggak usah takut Rin di dalam sana. Ada aku di sini, selalu menjagamu”,
                Hujan turun mengguyur bumi. Membasahi tanah peristirahatan Rina, juga tubuhku. Tetapi semua itu tak membuatku beranjak dar tepi makam Rina. Karena sudah kuputuskan akan menemaninya malam ini.

End
© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis