November 11, 2014

Mesin Waktu Denisa (End)







Aku berdiri di balik pohon sambil terus mengamati seorang lelaki berusia 30an yang mematung di depan pagar. Tubuhnya dibalut kemeja putih dan celana biru dongker. Di dada kanannya terdapat badge nama “Deden”.  Nampaknya dia adalah satpam di perumahan ini. Tatapannya penuh harap menunggu seseorang keluar dari rumah besar yang penuh dengan bermacam tanaman hias di dalamnya.

Seperti halnya melihat Denisa kemarin, aku merasa mengenali lelaki itu. Tetapi sebuah nama tak juga hadir dalam benakku.

“Denisaaa...Denisaaa..,” panggil lelaki itu ketika melihat Denisa keluar dari dalam rumah besar itu bersama Maki. Aku berjalan mendekat ke arah pagar. Dan ikut berdiri di sebelah lelaki yang memanggil Denisa tadi.

Denisa menghampiri Deden dengan setengah berlari. “Ayahhh...”

“Denisa, ayo pulang, nak,” ajak Deden yang dipanggil Ayah oleh Denisa. Dahiku semakin berkerut. Tetapi, jika kuamati lebih dalam, wajah Denisa dan Deden memiliki kesamaan. Mereka sama-sama memiliki mata bulat yang indah.

Belum sempat Denisa menjawab, Maki telah berada di belakang Denisa sambil menggamit lengan Denisa. “Denisa-san, kita harus segera pergi. Jika tidak, pesawatnya akan terbang meniggalkan kita”

“Ayah, Denisa ingin naik pesawat bersama Nyonya dan Tuan Suzuki, juga Maki dan Yuki-kun. Kata Maki, dari pesawat Denisa bisa melihat awan. Setelah itu, Denisa juga akan bermain boneka salju. Denisa ingin pergi dulu ya, Ayah”

Denisa menyambut tangan Maki dan berjalan menjauhi pagar, sampai langkah Denisa terhenti karena Ayahnya kembali memanggil.

“Denisa sayang, tunggu sebentar nak!,” pinta Ayah Denisa.

Denisa berlari riang menghampiri Ayahnya yang bediri di balik pagar.

“Ada apa Ayah? Bunda juga sudah tahu kalau Denisa akan naik pesawat bersama Keluarga Suzuki”

Ayah Denisa mengangguk. Kuperhatikan matanya mulai mengumpulkan cairan bening yang sebentar lagi akan meluncur menjadi air mata. Entah Denisa, si bocah polos yang menggemaskan ini menyadarinya atau tidak.

“Apa Denisa tahu kalau Denisa naik pesawat, Denisa tidak akan bertemu dengan Ayah dan Bunda lagi? Karena tempat Denisa ingin melihat salju akan jauh dari rumah Ayah dan Bunda”

Bola mata Denisa berputar ke atas seolah berpikir “Maki, apa tidak ada tempat untuk melihat salju yang dekat dengan rumah Denisa?”

Maki hanya diam. Tidak lama kemudian, Yuki datang dan berdiri mematung di sebelahnya.

“Denisa, ayo pulang, nak. Keluarga Suzuki akan pergi cukup jauh. Kalau Denisa ikut, kamu tidak dapat bertemu dengan Ayah dan Bunda lagi. Kalau sudah begitu, Ayah akan  sedih.”

Sedetik kemudian setets air bening mengalir dari bola mata yang bulat milik lelaki yang dipanggil Ayah oleh Denisa. Melihat Ayahnya menangis, Denisa ikut menangis.

 “Denisa sayang Ayah dan Bunda. Ayah, jangan sedih. Denisa akan pulang sekarang,” teriak Denisa. Dengan sigap dan seolah terbiasa melakukannya, Denisa dengan mudah membuka pagar dan menghambur ke pelukan lelaki yang berlinang air mata itu. Sementara Maki belari ke dalam rumah dengan air mata yang mengalir deras membasahi pipinya. Secercah senyum kepuasan tersirat dalam air muka lelaki berseragam satpam itu. Yang kemudian kusadari bahwa dia adalah Ayahku.

* * *
Aku mengerjapkan mataku karena cahaya memenuhi seisi ruangan. Kudapati sebuah foto ukuran 3R tergenggam erat di tangan. Beberapa foto juga berserakan di lantai. Album foto terbuka dan menampakkan isinya. Aku mencoba mengajak tubuhku untuk duduk dan berpikir.

“Ngapain kamu tiduran di gudang gitu sih, Nis?,” tanya seorang wanita yang memasuki ruangan yang kusadari kemudian adalah gudang.

“Bunda yang nyalain lampu barusan?”

“Iya. Bunda mau cari sesuatu”

Setelah peringatan 40 hari kematian Ayah yang berlangsung semalam di rumah, aku rindu dengan Ayah. Kusambagi gudang yang berisi tumpukan album foto kenangan keluarga. Tetapi aku tertidur karena kelelahan menangis saat melihat gambar-gambar indah penuh kenangan.

Setelah sadar betul dari rasa kantuk, kuteliti foto yang ada di genggamanku. Nampak sepasang orang tua berwajah Jepang dengan kedua remaja di samping mereka. Remaja putri yang usianya berkisar 15an dan lelaki tinggi menjulang yang usianya 20an. Aku seakan mengenal mereka dan baru saja bertemu dengan mereka, tetapi dimana?. Otakku terus bekerja untuk mencari jawabannya hingga aku tahu siapa mereka.

Bukankah mereka Maki dan Yuki? Dua kakak beradik keturunan Jepang yang kutemui dalam mimpi semalam.

“Bunda, ini foto siapa ya? Bunda kenal?,” tanyaku langsung pada Bunda yag masih sibuk membongkar isi kardus.

Bunda mendekat dan meraih foto yang kugenggam. “Ooh, ini Keluarga Suzuki. Dulu kamu suka banget main sama anak-anaknya. Ini namanya Maki Suzuki, kalau jalan kemana aja, kamu pasti diajak. Nah, yang ini yang ganteng, kakaknya Maki. Namanya Yuki Suzuki. Setiap pulang kuliah, kamu pasti digendong dan dibelikan roti.”

Bunda menjelaskan dengan sabar sambil menunjuk gambar Yuki dan Maki.

“Kenapa kita bisa kenal dengan keluarga Suzuki, Bun?”

“Karena Ayah jaga di kompleks perumahan mereka. Sementara Bunda pernah jadi pembantu rumah tangga di sebelah rumahnya Keluarga Suzuki. Makanya, kamu suka main sama mereka. Karena si Maki ini suka banget sama anak kecil, ingin punya adik katanya. Bahkan, tadinya kamu hampir dibawa pulang ke Jepang sama mereka lho”

“Masa sih Bun, terus gimana?”

“Bunda sih setuju aja. Ayahmu juga awalnya setuju. Tapi, tiba-tiba kamu pulang sama Ayahmu. Katanya, kamu lebih memilih ikut Ayah dan Bunda dibanding keluarga Suzuki”

Bunda bergegas pergi dari gudang saat mendengar dering telepon rumah yang berbunyi. Aku merenung sambil memutar ulang rekaman mimpi dalam memori, juga cerita singkat Bunda barusan. Semuanya begitu sesuai. Mimpi semalam seperti jalan menuju masa lalu. Mesin waktu lewat mimpi. Ajaib sekali rencana Tuhan. Aku mengulum senyum sendiri.


End

3 September 2012

November 7, 2014

[Puisi] Ada Apa Dengan Cinta 2014 - Mini Drama

source:thejakartaglobe.com


Adalah Cinta yag mengubah jalannya waktu
Karena Cinta, waktu terbagi dua
Denganmu, dan rindu untuk kembali ke masa
Detik tidak pernah melangkah mundur
Tapi, kertas putih itu selalu ada
Waktu tidak pernah berjalan mundur 
Dan hari tidak pernah terulang
Tetapi, pagi selalu menawarkan cerita yang baru
Untuk semua petanyaan yang belum sempat terjawab


Ada Apa Dengan Cinta 2014


November 4, 2014

Mesin Waktu Denisa

Mesin Waktu Denisa
by
 Fitria Wardani



“Maki, ayo tangkap bolanya! Kenapa hanya diam saja?,” tanya seorang gadis cilik berusia 5 tahun. Geraknya lincah mengejar bola yag menggelinding tanpa tuan. Wajahnya menyiratkan kebahagiaan khas anak kecil. Rambutnya yang pendek dengan keriting menggantung bergerak bebas bersama angin sore. Kedua pipi coklatnya yang bulat begitu menggemaskan.

Aku memandanginya begitu seksama, seperti pernah melihatnya di suatu waktu tertentu. Tetapi, otakku tak juga menemukan jawaban siapa gadis cilik yang bermain bola itu. Begitu juga dengan seorang remaja putri yang dipanggil Maki olehnya.

“Maki, kenapa hanya diam? Apa sudah bosan bermain denganku?,”  tanya gadis cilik itu dengan mata yang membulat indah sambil menghampiri Maki.

“Tidak, Denisa-san. Aku sangat senang bermain denganmu. Ayo bermain lagi. Aku janji akan menangkap bolanya,” ujar gadis remaja berkulit cerah yang bernama Maki itu. Dari logat bicaranya, nampaknya Maki adalah orang Jepang asli.

Maki dan Denisa kembali asik bermain bola di taman belakang rumah. Aku duduk mengamati di bangku taman yang begitu nyaman. Pandanganku terbawa oleh bola yang menggelinding bergantian ke arah Maki dan Denisa. Dua gadis berkulit berbeda yang berbahagia, seolah ada ikatan darah antara mereka berdua. Tawa riang keduanya yang menyelimuti suasana taman di sore hari tiba-tiba terhenti oleh sebuah suara yang menggelegar.

“Denisa-san..Denisa-san...dimana kamu? Apakah ingin bersembunyi dari Pangeran Roti yang tampan ini?.”

Sosok tinggi yang menjulang, berkulit terang seperti Maki masuk ke taman dengan plastik yang menggantung di lengannya. Usianya sekitar 20an. Alis matanya tebal dengan dagu yang runcing. Tubuhnya tegap dan wajahnya tampan khas pria Jepang. Siapa lelaki ini? Aku menyipitkan mata hingga menggosok-gosok tak percaya. Apa aku telah jatuh dalam dunia komik-komik Jepang yang kubaca?, tanyaku dalam hati.

“Pangeran Yukiiii,” teriak Denisa sambil menghambur ke arah pria tampan yag bernama Yuki itu.

“Apakah itu cara yang pantas untuk menyambut pangeranmu?,” tanya Yuki sambil melipatkan kedua tangan di depan dadanya . Wajahnya menyiratkan kecewa dan tidak suka. Tapi, tentu saja itu sebuah tipuan untuk Denisa.

Denisa menghubungkan dua telunjuknya sambil menundukkan kepala. Seperti ingin menangis dan ketakutan. “Aku tidak bisa menyambut Yuki-kun seperti yang Yuki-kun inginkan. Karena Yuki-kun begitu tinggi,” ujar Denisa penuh pembelaan dengan manis dan lugu.

Yuki seketika memosisikan tubuhnya dalam keadaan berjongkok di hadapan Denisa. Sedetik kemudian Denisa langsung mencium pipi Yuki dan memeluknya erat. Aku terperanjat kaget melihat kelakuan gadis cilik itu.

“Aku telah menyambut Yuki-kun dengan cium dan peluk. Apa Pangeran Yuki membawa roti lezat?,” tanya Denisa sambil melepas pelukannya.

“Tentu saja. Pangeran Yuki si Pangeran Roti tidak akan pernah ingkar janji. Dan...hari ini Pangeran Yuki akan memberikan hadiah untuk Denisa-san,” jelas Yuki sambil memberikan sebuah boneka kelinci biru.

“Lucuuu sekali. Apa ini untuk Denisa?,” tanya Denisa sambil tak henti mengagumi boneka di tangannya.

“Iya. Namanya Momiji. Kalau kangen dengan Pangeran Yuki, katakan saja pada Momiji. Wajah Momiji akan berubah menjadi Yuki,” jelas Yuki.

Keceriaan di wajah Denisa hilang perlahan “Apa Pangeran Yuki akan pergi jauh? Apa Pangeran Yuki akan meninggalkan Denisa, makanya memberikan Momiji ?,” tanya Denisa bertubi-tubi. Matanya mulai memerah.

Yuki nampak gelagapan, mencari jawaban untuk pertanyaan gadis cilik di hadapannya. Tapi, syukurlah Maki membantuya keluar dari keadaan itu.

“Denisa-san, apa kamu tidak ingin membagi rotimu denganku?,” tanya Maki yang masih memeluk bola di belakang Denisa.

“Iya, ayo kita makan roti dari Pangeran Roti. Kalau sudah dingin, rotinya tidak akan lezat,” tambah Yuki.

 “Baiklah, tapi aku akan memanggil Nyonya Suzuki. Dia juga harus makan roti lezat dari Pangeran Roti,” ujar Denisa sambil berlari masuk ke dalam rumah.

Maki dan Yuki tertinggal di taman belakang dengan wajah yang sama-sama terlipat murung.

“Aku akan membujuk Okasan untuk mengajak Denisa-san pulang bersama kita,” ujar Maki lebih kepada dirinya sendiri.

“Maki-chan, apa kamu ingin membuat Denisa-san terpisah dari kedua orangtuanya?,” tanya Yuki kaget.

“Tapi, aku akan sangat kesepian jika tidak ada Denisa-san. Lagipula, Kak Yuki sebenarnya juga tidak ingin berpisah dengan Denisa-san, bukan?,” tanya Maki sambil berlalu.

“Tapi, bagaimana dengan perasaan orang tuanya? Pikirkan itu, Maki-chan,” teriak Yuki yang menghentikan langkah Maki


“Denisa-san anak yang baik. Setelah besar, dia pasti akan mencari kedua orang tuanya”

to be continued
© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis