Aku berdiri di balik pohon sambil terus
mengamati seorang lelaki berusia 30an yang mematung di depan pagar. Tubuhnya
dibalut kemeja putih dan celana biru dongker. Di dada kanannya terdapat badge nama “Deden”. Nampaknya dia adalah satpam di perumahan ini.
Tatapannya penuh harap menunggu seseorang keluar dari rumah besar yang penuh
dengan bermacam tanaman hias di dalamnya.
Seperti halnya melihat Denisa kemarin,
aku merasa mengenali lelaki itu. Tetapi sebuah nama tak juga hadir dalam
benakku.
“Denisaaa...Denisaaa..,” panggil lelaki
itu ketika melihat Denisa keluar dari dalam rumah besar itu bersama Maki. Aku
berjalan mendekat ke arah pagar. Dan ikut berdiri di sebelah lelaki yang
memanggil Denisa tadi.
Denisa menghampiri Deden dengan setengah
berlari. “Ayahhh...”
“Denisa, ayo pulang, nak,” ajak Deden
yang dipanggil Ayah oleh Denisa. Dahiku semakin berkerut. Tetapi, jika kuamati
lebih dalam, wajah Denisa dan Deden memiliki kesamaan. Mereka sama-sama memiliki
mata bulat yang indah.
Belum sempat Denisa menjawab, Maki telah
berada di belakang Denisa sambil menggamit lengan Denisa. “Denisa-san, kita
harus segera pergi. Jika tidak, pesawatnya akan terbang meniggalkan kita”
“Ayah, Denisa ingin naik pesawat bersama
Nyonya dan Tuan Suzuki, juga Maki dan Yuki-kun. Kata Maki, dari pesawat Denisa
bisa melihat awan. Setelah itu, Denisa juga akan bermain boneka salju. Denisa
ingin pergi dulu ya, Ayah”
Denisa menyambut tangan Maki dan
berjalan menjauhi pagar, sampai langkah Denisa terhenti karena Ayahnya kembali
memanggil.
“Denisa sayang, tunggu sebentar nak!,”
pinta Ayah Denisa.
Denisa berlari riang menghampiri Ayahnya
yang bediri di balik pagar.
“Ada apa Ayah? Bunda juga sudah tahu
kalau Denisa akan naik pesawat bersama Keluarga Suzuki”
Ayah Denisa mengangguk. Kuperhatikan
matanya mulai mengumpulkan cairan bening yang sebentar lagi akan meluncur
menjadi air mata. Entah Denisa, si bocah polos yang menggemaskan ini
menyadarinya atau tidak.
“Apa Denisa tahu kalau Denisa naik
pesawat, Denisa tidak akan bertemu dengan Ayah dan Bunda lagi? Karena tempat
Denisa ingin melihat salju akan jauh dari rumah Ayah dan Bunda”
Bola mata Denisa berputar ke atas seolah
berpikir “Maki, apa tidak ada tempat untuk melihat salju yang dekat dengan
rumah Denisa?”
Maki hanya diam. Tidak lama kemudian,
Yuki datang dan berdiri mematung di sebelahnya.
“Denisa, ayo pulang, nak. Keluarga
Suzuki akan pergi cukup jauh. Kalau Denisa ikut, kamu tidak dapat bertemu
dengan Ayah dan Bunda lagi. Kalau sudah begitu, Ayah akan sedih.”
Sedetik kemudian setets air bening
mengalir dari bola mata yang bulat milik lelaki yang dipanggil Ayah oleh
Denisa. Melihat Ayahnya menangis, Denisa ikut menangis.
“Denisa sayang Ayah dan Bunda. Ayah, jangan
sedih. Denisa akan pulang sekarang,” teriak Denisa. Dengan sigap dan seolah
terbiasa melakukannya, Denisa dengan mudah membuka pagar dan menghambur ke
pelukan lelaki yang berlinang air mata itu. Sementara Maki belari ke dalam
rumah dengan air mata yang mengalir deras membasahi pipinya. Secercah senyum
kepuasan tersirat dalam air muka lelaki berseragam satpam itu. Yang kemudian
kusadari bahwa dia adalah Ayahku.
*
* *
Aku mengerjapkan mataku karena cahaya
memenuhi seisi ruangan. Kudapati sebuah foto ukuran 3R tergenggam erat di
tangan. Beberapa foto juga berserakan di lantai. Album foto terbuka dan
menampakkan isinya. Aku mencoba mengajak tubuhku untuk duduk dan berpikir.
“Ngapain kamu tiduran di gudang gitu
sih, Nis?,” tanya seorang wanita yang memasuki ruangan yang kusadari kemudian
adalah gudang.
“Bunda yang nyalain lampu barusan?”
“Iya. Bunda mau cari sesuatu”
Setelah peringatan 40 hari kematian Ayah
yang berlangsung semalam di rumah, aku rindu dengan Ayah. Kusambagi gudang yang
berisi tumpukan album foto kenangan keluarga. Tetapi aku tertidur karena
kelelahan menangis saat melihat gambar-gambar indah penuh kenangan.
Setelah sadar betul dari rasa kantuk,
kuteliti foto yang ada di genggamanku. Nampak sepasang orang tua berwajah Jepang
dengan kedua remaja di samping mereka. Remaja putri yang usianya berkisar 15an
dan lelaki tinggi menjulang yang usianya 20an. Aku seakan mengenal mereka dan
baru saja bertemu dengan mereka, tetapi dimana?. Otakku terus bekerja untuk
mencari jawabannya hingga aku tahu siapa mereka.
Bukankah mereka Maki dan Yuki? Dua kakak
beradik keturunan Jepang yang kutemui dalam mimpi semalam.
“Bunda, ini foto siapa ya? Bunda
kenal?,” tanyaku langsung pada Bunda yag masih sibuk membongkar isi kardus.
Bunda mendekat dan meraih foto yang
kugenggam. “Ooh, ini Keluarga Suzuki. Dulu kamu suka banget main sama
anak-anaknya. Ini namanya Maki Suzuki, kalau jalan kemana aja, kamu pasti
diajak. Nah, yang ini yang ganteng, kakaknya Maki. Namanya Yuki Suzuki. Setiap
pulang kuliah, kamu pasti digendong dan dibelikan roti.”
Bunda menjelaskan dengan sabar sambil
menunjuk gambar Yuki dan Maki.
“Kenapa kita bisa kenal dengan keluarga
Suzuki, Bun?”
“Karena Ayah jaga di kompleks perumahan
mereka. Sementara Bunda pernah jadi pembantu rumah tangga di sebelah rumahnya
Keluarga Suzuki. Makanya, kamu suka main sama mereka. Karena si Maki ini suka
banget sama anak kecil, ingin punya adik katanya. Bahkan, tadinya kamu hampir
dibawa pulang ke Jepang sama mereka lho”
“Masa sih Bun, terus gimana?”
“Bunda sih setuju aja. Ayahmu juga
awalnya setuju. Tapi, tiba-tiba kamu pulang sama Ayahmu. Katanya, kamu lebih
memilih ikut Ayah dan Bunda dibanding keluarga Suzuki”
Bunda bergegas pergi dari gudang saat
mendengar dering telepon rumah yang berbunyi. Aku merenung sambil memutar ulang
rekaman mimpi dalam memori, juga cerita singkat Bunda barusan. Semuanya begitu
sesuai. Mimpi semalam seperti jalan menuju masa lalu. Mesin waktu lewat mimpi.
Ajaib sekali rencana Tuhan. Aku mengulum senyum sendiri.
End
3 September 2012
0 comments:
Post a Comment