May 14, 2016

A Half Day in Bogor


Kereta tujuan Bogor pada pukul 11.00 itu nampak ramai dan penuh. Jika mengingat kembali, setahun lalu kami ke Bogor (Baca di sini) rasanya kereta tak sesesak kali ini. Kesesakan itu belum berakhir, Stasiun Bogor pukul 12.00 juga ramai bukan main. Dan rasanya sebagian besar dari kami memiliki tujuan yang sama, yaitu Kebun Raya Bogor (Bogor Botanical Garden).

Dari Stasiun Bogor, kami (dengan personil yang sama saat ke Bogor tahun lalu) naik angkot nomor 02 dan turun di pintu masuk 3. Perjalanan angkot dari stasiun Bogor ke Pintu masuk 3 juga tidak terlalu lama. Sekitar 5-10 menit. Selama perjalanan kami melewati rusa yang sedang bermain di halaman istana dan beberapa mendekat ke pagar-pagar untuk makan wortel dari pengunjung di luar. Sayang tidak ada dokumentasinya heehe.
Pintu Masuk 3 Kebun Raya Bogor

Loket masuk di Kebun Raya Pintu 3

Kami langsung membeli tiket masuk dan tidak lupa mengabadikan peta sebagai petunjuk meski kami tidak punya tujuan spesifik ingin kemana. Kalau saya pribadi, tentu saja ingin berkunjung ke Makam Adriana di Komplek Pemakaman Belanda yang ada di dalam Kebun Raya Bogor. Sementara Marisa, ingin lihat bunga bangkai. Kalau dilihat lagi ternyata bunga bangkai dan Kuburan Belanda tidak terlalu jauh, jadi kami memutuskan untuk ke sana dengan bantuan peta yang sudah difoto di ponsel.


Peta Kebun Raya Bogor
Sungai yang mengalir di Kebun Raya Bogor

Kebun Raya hari itu cukup ramai, tetapi percayalah kita masih bisa bernafas tanpa batas karena oksigen yang dihadirkan dari berbagai koleksi tumbuhan yang rindang di dalam Kebun Raya. Spot pertama yang kami lewati adalah Taman Meksiko. Taman ini cukup ramai, karena banyak orang-orang yang mengambil foto dengan latar kolam air mancur dan bunga teratai. Taman ini cukup indah dengan rumput-rumputnya yang asyik buat tiduran atau piknik.
Pohon - Pohon rindang yang menyambut kami
Taman Meksiko
Kami juga mengabadikan beberapa gambar di Taman Meksiko dengan susah payah menahan silau sinar Matahari saat itu. Setelahnya, kami melanjutkan perjalanan ditemani orang yang berlalu lalang bersepeda ataupun mobil safari yang menghadirkan banyak pertanyaan “bisakah kami naik juga?”
Selfie di Taman Meksiko menahan sinar matahari

Kebun Raya Bogor yang juga terkenal dengan jembatan merah gantungnya ramai dengan orang-orang. Karena itu, kami memutuskan untuk hanya melewatinya dan berjalan terus menyusuri jalanan. Di dalam kebun raya banyak ditemui pedagang di setiap beberapa spot. Umumnya mereka adalah penjual minuman, makanan berupa nasi kuning/nasi goreng, dan es krim.
Jembatan Gantung dari kejauhan

As an ice cream lovers, saya sempat beli es krim coklat durian yang satu scoopnya dihargai Rp. 3.000 tapi naas es krimnya keburu jatuh sebelum saya coba. Jangan tanya bagaimana hal itu bisa terjadi karena saya sendiri pun lupa bagaimana detailnya. Tiba-tiba langsung meluncur dari tangan saya sebelum berjumpa dengan lidah saya. Kejadian yang sungguh tragis kalau diingat. Sekaligus lucu sih sesungguhnya.

Anyway, ternyata di dalam Kebun Raya Bogor ini nggak cuma ada kuburan Belanda tetapi ada makam pribumi lain. Saat kami lewat, ada beberapa orang yang melakukan ziarah di dalamnya. Perjalanan kami yang rasanya santai justru mengantarkan kami pada ketersesatan. Semakin tidak tahu arah hingga akhirnya kami improve melewati tangga setapak yang cukup curam. Setelah sempat khawatir bahwa jalanan setapak itu bukan jalan umum dan resmi, nyatanya kami kembali pada jalan utama yang justru menghubungkan kami kembali ke pintu masuk 3.
Makam Pribumi yang dikunjungi peziarah
Selfie background jalan setapak yang membuat berputar

Tanpa air yang cukup, snack apalagi makanan berat, maka energi kami rasanya semakin terkuras tatkala menemukan kenyataan kami hanya berputar di area yang sama. Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat di rumput hijau yang terhampar di hadapan kami.

Selfie kelelahan di rumput hijau
Selfie kelelahan di rumput hijua (2)
Peristirahatan kami di rumput hijau itu ternyata menyisakan cerita. Dua orang gadis dari Sekolah Bersama datang dan menjelaskan program mereka mendirikan sekolah bersama untuk anak jalanan. Sekolah Bersama sebenarnya bagian dari program yang digagas oleh Green Indonesia Foundation. Penggalangan dana melalui ‘jemput bola’ di keramaian ini menurut saya cukup menarik. Mereka menjual kipas lipat seharga Rp. 30.000 atau kita bisa juga berdonasi sukarela. At least, jalan-jalan kita sekaligus berderma.
Sekolah Bersama
Dua volunteer dari Sekolah Bersama
Melalui mereka juga, kami baru tahu kalau ada penyewaan sepeda dan mobil safari keliling di kebun raya bogor yang stand nya berada di pintu masuk utama. Kami pun melanjutkan perjalanan untuk menuju pintu utama agar dapat naik mobil tersebut. Sesampainya di pintu utama, kami harus menelan pahit karena pendaftaran untuk naik mobil safari itu sudah ditutup. Saat itu pukul 14.30 dan pengunjung yang ingin naik sudah sangat membludak. Mungkin karena hal itulah pendaftaran ditutup.

Kami sudah patah arang dan memutuskan untuk keluar dari Kebun Raya dan mencari tempat makan. Berdasarkan rekomendasi, kami menuju Gumati Café dengan berjalan kaki. Dari pintu utama Kebun Raya Bogor, Jarak Gumati Café mungkin sekitar 1 km. Terletak di Jl. Paledang No.26, Bogor.
Suasana di Gumati Cafe

Gumati Café & Resto ini menawarkan menu lengkap, dari pasta hingga makanan sunda. Tidak hanya itu saja, suasana yang ditawarkan juga lumayan asyik karena menghantarkan pemandangan yang ciamik kalau dinikmati malam hari. Café & Resto ini memiliki 2 lantai dan kami memilih lantai 1. Pemandangan dari lantai 1 juga bagus banget..sayang nggak foto pemandangan dari lantai 2.

Kolam renang—yang sepertinya tidak diperuntukkan untuk berenang—yang terletak di lantai 1 cukup membuat tenang. Ditambah lagi dengan sofa biru yang asyik buat leyeh-leyeh setelah jalan nyasar di Kebun Raya. Oh dan ya, ada Musollanya juga. Meski saya nggak menggunakannya saat itu, tapi terlihat nyaman karena private. And that was our half day in Bogor.  
Menikmati menu dan melepas lelah di Gumati Cafe

Moment ini sungguh membuat saya ingin mengutip perkataan Rangga—dalam AADC 2 saat berada di atas Gereja Ayam, “ini  baru Travelling.” Tanpa rencana dan menikmati proses yang terjadi di dalamnya.
Menu di Gumati Cafe

Price List :
Kebun Raya Bogor
Tiket masuk Kebun Raya Bogor : Rp. 14.000 (sudah termasuk masuk Museum Zoologi)
Mobil Safari                                     : Rp. 15.000

Gumati Café
Nasi Timbel Komplit                        : Rp. 40.000
Nasi Uduk                                         : Rp. 40.000
Nasi Goreng Gumati                         : Rp. 38.000
Es Biru Laut                                      : Rp. 18.000
Gumati Punch                                   : Rp. 20.000

Tax                                                     : 15%



 Bebebrapa dokumentasi di Kebun Raya




Monumen Lady Raffles

Monumen Lady Raffles


Wisata Sepeda

Monumen Kelapa Sawit



Salah satu spot di Gumati Cafe
















May 7, 2016

Review Movie #EOS2016 : Flowers (Loreak)




Europe On Screen (EOS) 2016 kembali digelar mulai akhir April lalu. Festival Film Eropa yang menghadirkan film-film dari belahan benua Eropa ini tahun ini menurut saya terkesan istimewa dan berbeda. Pasalnya selain menghadirkan jumlah film yang cukup banyak, venue pemutaran film pun semakin meluas, yaitu hingga merambah ke Mall Bintaro Xchange, Art Cinema TIM – IKJ, Istituto Italiano di Cultura, dan Institut Francais Indonesia (IFI). Sebelumnya hanya Goethe Haus dan Erasmus Huis yang sudah langganan untuk venue EOS di Jakarta.

Jumat lalu, saya dan sepupu saya memilih IFI Thamrin sebagai venue nonton EOS ini dengan film Spanyol berjudul Flowers (Loreak). Kami datang pukul 13.00, satu jam sebelum pemutaran film untuk resgistrasi tiket gratisnya. IFI Thamrin sendiri berada di area Kedutaan Besar Perancis (tepat di sebelah Mall Sarinah). Auditorium IFI yang digunakan sebagai tempat menonton dapat memuat sekitar 170 orang dan terisi lebih dari setengahnya saat pemutaran Flowers.

Flowers (Loreak) bercerita tentang tiga wanita yang tergugah karena bunga dengan dijembatani seorang pria yang sama. Film ini diceritakan dalam 3 sudut pandang melalui 3 subtema yang berbeda.

Flowers for Anne.
                “Katakan saja dengan bunga”. Nasihat itu sudah tak asing lagi rasanya. Bahkan bunga seolah tidak hanya dapat mengatakan, tetapi juga menenangkan. Hal itu yang dirasakan Anne ketika dia dinyatakan dokter telah memasuki masa menopause. Kesedihan seolah menyelimuti kehidupannya sampai saat satu bouqet bunga datang ke rumahnya pada hari Kamis.

Anne sempat mengira bahwa kiriman bunga lili putih itu berasal dari suaminya, tetapi suaminya justru memberikan pernyataan sebaliknya. Pada hari Kamis berikutnya, kiriman bunga untuk Anne datang lagi. Tanpa pengirim, ataupun catatan. Bunga dengan jenis-jenis yang berbeda terus datang tanpa pengirim dan pesan untuk Anne. Hal ini tentu saja membuat suami Anne resah dan memutuskan untuk mendatangi Florist bersama Anne untuk mencari tahu siapa pengirim bunga-bunga itu. Sayangnya, mereka tidak menemukan jawabannya.

Suami Anne boleh resah dan kesal atas kiriman bunga misterius untuk istrinya itu—sampai menyuruh Anne membuangnya, tetapi Anne justru bahagia. Kiriman bunga misterius itu seolah mengubur kesedihannya atas vonis menopause dokter. Anne tidak kehabisan akal, dia menyembunyikan bunga yang datang di lemari pakaiannya dan pada keesokkan harinya membawa bunga tersebut ke kantor. Maka, kiriman bunga misterius yang datang setiap Kamis itu teronggok indah di meja kerja Anne.
Anne menolak untuk membuang kiriman bungan misterius
Anne bekerja di area pembangunan sebagai back office (mungkin accountingnya) sendiri dalam container room. Hingga suatu hari, Benat seorang penggerak eskavator mampir ke ruangannya dan memberikan tips kepada Anne untuk memberikan aspirin kepada bunganya agar lebih awet. Jadi, Anne tidak perlu sering mengganti air di dalam vas bunganya.

Benat Look Down from Above
Benat merupakan penggerak eskavator yang memiliki seorang istri penjaga toll bernama Loudres dan seorang anak lelaki bernama Mikel. Dia sangat menyayangi keluarganya  tetapi sayangnya, hubungan istrinya dengan ibunya (Tere) tidak baik. Keduanya sering berbeda pendapat sehingga membuat Loudres kesal. Salah satu contohnya saat seisi rumah dibereskan oleh Tere, tetapi Loudres tidak menyukai penataan letaknya yang menurutnya tidak sesuai.

Ruang Kerja Benat

Pekerjaan Benat sebagai penggerak eskavator membuatnya lebih sering menghabiskan waktu di ketinggian dalam kabin kecil eskavator ditemani oleh binocular kecil. Melalui binocular itu, sesekali Benat melihat Anne, teman kerjanya berjalan jalan di bawah bersama metal detector—untuk mencari kalungnya yang hilang. Melalui binocular itu pula, Benat sesekali melihat sekumpulan domba di bukit-bukit.
Benat melihat Anne yang sedang mencari kalungnya
Benat yang seorang lelaki penyayang, baik kepada ibunya maupun istrinya mengalami kecelakaan pada suatu hari hujan di jalanan yang menikung. Jenazahnya tidak langsung dimakamkan, karena berdasarkan keinginannya sendiri, Benat menyumbangkan jenazahnya untuk penelitian pada Fakultas Kedokteran Universitas. Hal ini membuat keluarganya terpukul karena baru bisa mendapatkan jenazah Benat pada 5 tahun kemudian.

Loudres dengan Benat saat makan malam
Loudres, sang istri tentu saja yang merasa paling sedih. Dia mengemasi semua barang-barang Benat dan membuang bunga-bunga cantik yang ditanam Benat di beranda rumah. Dia juga meninggalkan rumah bersama anaknya, Mikel. Tere, sang ibu mertua sudah mencoba membujuknya namun tak berhasil. Karena pada dasarnya, mereka berdua tidak pernah satu visi.
Tere (Ibu Benat/Mertua Loudres) yang sedang dibujuk anaknya untuk berbaikan dengan Loudres
Selain barang-barang Benat yang berada di rumah, barang lain miiknya yang masih tertinggal di kabin eskavator juga dikemasi oleh teman-temannya. Diantara barang-barang tersebut terselip sebuah kalung bertuliskan “Anne.” Di sisi lain, setelah kematian Benat kiriman bunga misterius untuk Anne sudah tidak datang lagi.

Flowers for Benat
Jenazah Benat yang tidak dimakamkan membuat orang-orang tersayangnya meletakkan bunga di papan tikungan jalan tempat Benat meregang nyawa untuk terakhir kalinya. Tere sering melakukannya selama 3 tahun terakhir dan menemukan bunga lain yang terikat di sana, tanpa pengirim maupun pesan. Bunga itu juga selalu segar dan tahan lama.

Tere berpikir bahwa mungkin saja bunga itu berasal dari mantan menantunya, Loudres. Tetapi, Loudres yang pada suatu hari bertemu dengan suami dari kakak perempuan Benat mengaku tidak pernah meletakkan bunga di tempat kematian Benat. Tere semakin penasaran dan akhirnya menuliskan nomornya di sebuah note dalam bunga tersebut agar si pengirim dapat menghubunginya.

Ternyata Tere tidak sendiri, Loudres juga penasaran dengan siapa yang meletakkan bunga segar dan menggantinya ketika sudah layu di tempat kematian suaminya. Hal itu membuat Loudres mengambil cuti dari pekerjaannya dan menunggu beberapa meter dari tempat kematian suaminya selama seharian untuk menjawab rasa penasarannya.

Anne yang sedang meletakkan bunga
Seorang wanita turun dari mobil dengan sebuah bouqet bunga di tangannya. Dengan lihai dia mengganti bunga yang layu dengan bunga segar di tangannya dan kembali masuk ke dalam mobil. Dari jauh  Loudres menagamati dan menerka sendiri siapa wanita yang nampak lihai melakukan hal tersebut.

Pada kesempatan lain, Loudres akhirnya memberi tumpangan pada wanita itu ke tempat Benat mengalami kecelakaan. Seperti biasa, wanita itu mengganti bunga yang layu dengan bunga segar yang dia bawa. Setelah berselang agak lama, Loudres membuka percakapan. Wanita itu tidak mengetahui bahwa Loudres adalah mantan suami Benat. Wanita itu bercerita bahwa orang yang dia kirimi bunga adalah teman kerjanya yang dia tidak kenal, meski kerap mengiriminya bunga setiap hari Kamis. Wanita itu juga baru menyadarinya ketika Benat telah meninggal dan kiriman bunga misterius untuknya tak lagi datang. Ya, wanita itu adalah Anne. Kalung pemberian suaminya yang bertuliskan namanya juga ditemukan di kabin eskavator tempat Benat bekerja.
Bunga Misterius untu Anne
Loudres mendengarkan cerita Anne sambil terus menyimpan identitasnya. Di part ini tampak jelas Loudres menyetir pemikiran Anne untuk tidak meyangka bahwa bunga yang didapatnya setiap Kamis berasal dari Benat. Pematahan argument yang dilakukan Loudres justru membuat penonton terpingkal konyol. Sementara Anne merasa aneh dengan cecaran Loudres yang merupakan orang asing di matanya. Percakapn mereka berakhir ketika Loudres tidak sengaja menabrak domba di tengah jalan. Kesempatan ini digunakan Anne untuk kabur dari Loudres.
Loudres dan Anne sama-sama mengamaati domba yang tertabrak
Dua tahun berselang, Loudres mendapatkan telpon dari Fakultas Kedokteran yang menyatakan abu Benat sudah dapat diambil. Loudres menjemput abu Benat tetapi tidak langsung membawanya pulang. Dia membawanya ke rumah Tere, berharap dia mau menyimpan abu anak laki-laki kesayangannya. Tetapi, betapa kagetnya Loudres ketika sampai di sana, dia justru menemukan Tere dalam keadaan hilang ingatan karena sudah tua (re : pikun).

Akhirnya Loudres membawa abu Benat ke rumah Anne. Berharap Anne mau menyimpan abu lelaki yang dianggap Anne pernah menajdi penggmear rahasianya. Namun, Anne justru berpikir bahwa mungkin saja saat itu memang bukan Benat yang mengiriminya bunga dan dia juga sudah berhenti meletakkan bunga di tikungan jalan tempat Benat mengalami kecelakaan.
Loudres dengan abu suaminya di hadapannya
Pada akhirnya, Loudres adalah wanita yang hingga terakhir meletakkan bunga untuk suaminya di tikungan jalan dan menyimpan abunya.

Film ini cukup membosankan pada 30 menit pertama hingga bunga kiriman misterius untuk Anne berganti warna di meja kantornya, saya merasa ditarik hanyut ke dalam cerita. Film ini memenangkan Signis Award pada San Sebastian Film Festival 2014 dan Cine Latino Award pada Palm Springs International Film Festival 2015

Film ini memang masih menyiskan teka teki, apakah benar Benat yang mengirinkan bunga setiap Kamis untuk Anne. Yang menjadi pertanyaan lain bagi saya adalah apa keteraitan domba dengan Benat. Pasalnya setelah mobil Benat mengalami kecelakaan, seekor domba berada di sana. Dan saat dalam perjalanan Anne bersama Loudres, seekor domba tidak sengaja tertabrak padahal mereka sedang di jalan raya.

Film berdurasi 99 menit ini bagi saya ingin menyampaikan ketulusan cinta Loudres pada Benat. Meski telah mengubur semua tentang suaminya selama 3 tahun setelah kematiannya, toh dia masih tetap peduli ketika mengetahui bahwa ada wanita lain yang rajin meletakkan bunga di tempat kematian suaminya selama 3 tahun lamanya.

Favourte part saya adalah saat Loudres mencoba menjelaskan kepada Tere bahwa dia meyakini Anne tidak punya hubungan special dengan suaminya. Saat itu Tere berkata, “You think what do you want and we’ll do the same.”

Pemutaran Flowers di IFI merupakan yang terakhir. Tetapi, pagelaran Europe On Screen ini akan berlangsung hingga 8 Mei. Kamu bisa cek jadwalnya di http://europeonscreen.org/schedule/ dan memilih film dan venue sesuai keinginanmu. Kalau ternyata, nggak sempat kita doakan sjaa Europe On Screen akan kembali tahun depan. Karena biasanya sih begitu.

Terima kasih sudah membaca sampai akhir.


© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis