July 22, 2017

Fight the Future



Kekasih, benarkah kita ingin berjuang untuk orang lain yang kita cintai?
Cinta sebesar apakah yang mengantarkan kita memercayakan dia untuk kita perjuangkan ?
Kekasih, aku telah ditenggelamkan oleh keegoisan yang terus menggerogotiku. Hingga aku tak mampu mengantarkan keberanian untuk berjuang bersamamu. Jika suatu hari, kamu adalah orang yang akan kupilih untuk berjuang bersama maka berbahagialah. Meski aku tak pernah tahu, kapan hari itu akan tiba.



Dengan penuh tanda tanya ditemani alunan Fight the Future – The Trees and The Wild,
 1 Juli 2017

  

July 16, 2017

Dua Digit Angka Bernama Usia

Image result for AGE




We were sad of getting old
It made us restless
(When we’re Young – Adele)



Angka adalah segalanya. Hampir di seluruh aspek kehidupan. Dari barisan 26 huruf yang membentuk kata hingga paragraf, maka beberapa digit angka selalu menarik matamu terlebih dahulu dibandingkan yang lainnya. Bahkan dua digit angka masih selalu menarik untuk ditanyakan dan selalu menjadi momok.

Namanya ‘usia’, yang sudah pasti seringnya hanya terdiri dari dua digit angka. Tapi, tak pernah gagal mengantarkan sebuah pemikiran dan asumsi. Bukankah banyak keputusan yang sering diambil hanya karena usia?

Contoh kecil adalah “Tahun depan saya sudah 27 tahun, sudah seharusnya saya menikah” atau “Umur saya sudah menginjak kepala tiga lho, sudah seharusnya saya berhenti main game online” atau “Saya akan belajar memasak tahun ini, karena usia saya sudah menginjak kepala dua” atau “Saya akan mulai hemat setelah melewati masa muda saya, sekarang ingin menikmati hidup dulu” atau mungkin kamu punya contoh lain, tinggalkan di komen ya.

Banyak hal yang baru akan kita lakukan berdasarkan dua digit angka—yang sebenarnya tidak ada aturan bakunya. Harusnya semua orang bebas untuk melakukan apa yang dia inginkan karena sebuah keharusan, kesiapan dan keinginan yang kuat dari dalam dirinya, bukan karena usia. Kenapa harus menunggu umur 30 untuk berhenti main game? Kenapa tidak mulai hari ini?

Mengapa kita terlalu tenggelam dalam sebuah pemikian general akan sebuah usia? Mengapa kita tidak melakukan hal tersebut karena diri kita sendiri? Bukan karena pemikiran dan momok dua digit angka bernama usia.

Meski memang tidak dapat dipungkiri, kalau usia adalah perjalanan waktu yang mendewasakan setiap manusia. Tetapi, jika bisa mempersingkat perjalanan waktu melalui sikap dan pemikiran, haruskah kita menggantungkannya pada dua digit angka bernama usia?



July 1, 2017

Museum Bahari - Kecantikan yang Sunyi di Ujung Jakarta

Museum Bahari tampak dari lantai 2


Finally, my small bucketlist has been checklisted yesterday. That was Maritime Museum a.k.a Museum Bahari, a place that I wanna visit for long time ago. Kenapa ingin ke Museum Bahari ? Simple aja sih, karena letaknya yang berada di ujung Jakarta jadi semakin penasaran. Ditambah lagi, salah satu web series yang pernah bekerjasama dengan salah satu browser sempat mengangkat Museum Bahari sebagai tema dan settingnya. Dan sisa libur lebaran kemarin menjadi pilihan kami untuk berkunjung ke sana.

Museum Bahari terletak di Penjaringan, Jakarta Utara, tepatnya di Jl. Pasar Ikan No.1. Sebagai anak kereta, saya dan teman saya (yang juga anak kereta) memilih commuter line sebagai moda transportasi kami ke sana. Kami turun di Stasiun Jakarta Kota, kemudian naik kopami 02 (seperti metromini tetapi warnanya biru) dan turun di Museum Bahari. Perjalanan dari Stasiun Kota Tua menuju Museum Bahari menggunakan Kopami ini sebenarnya hanya memakan waktu kurang dari 10 menit (tidak termasuk bus yang menunggu penumpang alias ngetem).   

Museum Bahari tampak dari jalan raya
Untuk sampai ke Museum Bahari, kita harus berjalan sekitar 50 meter dari jalan raya. Saat kami berkunjung, keadaan Museum sangat sepi. Mungkin karena efek libur lebaran atau karena hari Jumat sehingga orang-orang shalat Jumat. Anyway, untuk ticketing, Museum Bahari bekerjasama dengan Bank DKI. Menurut saya, hal ini cukup menunjukkan kemajuan dan bentuk peduli pemda Jakarta terhadap museum yang ada di Jakarta. Ya, even bentuk tiketnya jadi sangat nggak menarik sih, kalau dibandingkan dengan tiket Museum Nasional misalnya.

Museum Bahari awalnya digunakan sebagai tempat untuk menyimpan rempah-rempah pada zaman Belanda, lalu pada tahun 1977 diresmikan sebagai Museum Bahari. Bangunannya terletak 2 lantai dan sudah banyak yang menggunakan mesin pendingin (air conditioner). Sehingga pengunjung dapat menikmati sejarah di dalamnya dengan nyaman. Meski di beberapa lorong belum ada dan juga terdapat perbaikan.

Perjalanan pertama saya ‘tawaf’ di Museum Bahari disambut oleh lorong berisikan maneken Pelaut Internasional dari berbagai belahan dunia. Mulai dari Ibn Batuta, Laksmana Chengho, Cornelis De Houtman hingga Pangeran Fatahilah . Selanjutnya ada juga lorong legenda laut yang menampilkan maneken beserta infokus yang berisi penjelasan ceritanya. Diantaranya adalah kisah flying dutchmann, Poseidon, Malin Kundang, Ratu Pantai Selatan (Nyi Roro Kidul), The Mermaid, Putri Mandalika, dsb.


Laksamana Cheng Ho

Ibn Batuta
Pangeran Fatahilah
Cornelis de Houtman

Poseidon

Beberapa poster zaman penjajahan Jepang

Sayangnya di lorong legenda laut tersebut, pencahayaannya sangat kurang. Sehingga lorong terlihat menyeramkan (apalagi saat hanya berdua dengan teman saya yang berada di lorong tersebut) sulitnya membaca sejarah tentang legenda tersebut. Di lorong lain, terdapat maneken tentang pelaut wanita. Mulai dari Laksmana Malahayati, hingga Mazu, The Godess of Sea .

Ruang Penyimpanan Rempah-Rempah
Di lantai dasar, Museum Bahari lebih berisikan kapal-kapal yang digunakan oleh masyarakat Indonesia dan miniature beberapa kapal, seperti kapal pinisi dan kapal Belanda.

Salah satu miniatur Kapal Belanda
Kapal Pinisi




Kecantikan Museum Bahari justru terletak di halamannya menurut saya. Dengan barisan jendela tua yang cukup berat untuk dibuka dan kursi kursi batu yang asyik sebagai tempat untuk bercengkrama. Bagi generasi millenialls, halaman Museum Bahari ini justru berisi spot-spot yang instagramable banget. For photo hunter, you really have to visiting this place.  Bersyukurnya kami, saat kesana tidak dalam keadaan yang crowded.

with Radini














Overall berkunjung ke Museum Bahari agak menyedihkan bagi saya. Karena rasanya sangat jauh tertinggal  oleh Negara tetangga (Malaysia) dengan Museum Samuderanya (baca di sini). Terlebih lagi, kita sebagai negeri kepulauan—yang katanya nenek moyangnya adalah seorang pelaut—masih sangatlah kurang untuk pelestarian dan perawatan Museum Bahari. Mungkinkah karena berada di ujung, jadi kurang terperhatikan? Semoga bukan itu alasannya.

Yang jelas, Museum Bahari ini menyimpan kecantikan yang sunyi. Halamannya entah kenapa menginspirasi untuk menjadi spot gardening wedding yang intimate and private. Okay, untuk yang terakhir abaikan saja.




For once time in your life, take your time to visit Maritime Museum, readers.

Terima kasih sudah membaca

Cost :
Tarif Kopami       : Rp. 5.000 (1x perjalanan)
Ticket Museum    : Rp. 5.000

More photo :
NB : Thanks to my friend, who took a pict for us






































© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis