We were sad of getting old
It made us restless
(When we’re Young – Adele)
Angka
adalah segalanya. Hampir di seluruh aspek kehidupan. Dari barisan 26 huruf yang
membentuk kata hingga paragraf, maka beberapa digit angka selalu menarik matamu
terlebih dahulu dibandingkan yang lainnya. Bahkan dua digit angka masih selalu
menarik untuk ditanyakan dan selalu menjadi momok.
Namanya
‘usia’, yang sudah pasti seringnya hanya terdiri dari dua digit angka. Tapi,
tak pernah gagal mengantarkan sebuah pemikiran dan asumsi. Bukankah banyak
keputusan yang sering diambil hanya karena usia?
Contoh
kecil adalah “Tahun depan saya sudah 27 tahun, sudah seharusnya saya menikah”
atau “Umur saya sudah menginjak kepala tiga lho, sudah seharusnya saya berhenti
main game online” atau “Saya akan belajar memasak tahun ini, karena usia saya
sudah menginjak kepala dua” atau “Saya akan mulai hemat setelah melewati masa
muda saya, sekarang ingin menikmati hidup dulu” atau mungkin kamu punya contoh
lain, tinggalkan di komen ya.
Banyak
hal yang baru akan kita lakukan berdasarkan dua digit angka—yang sebenarnya
tidak ada aturan bakunya. Harusnya semua orang bebas untuk melakukan apa yang
dia inginkan karena sebuah keharusan, kesiapan dan keinginan yang kuat dari
dalam dirinya, bukan karena usia. Kenapa harus menunggu umur 30 untuk berhenti
main game? Kenapa tidak mulai hari ini?
Mengapa
kita terlalu tenggelam dalam sebuah pemikian general akan sebuah usia? Mengapa
kita tidak melakukan hal tersebut karena diri kita sendiri? Bukan karena pemikiran
dan momok dua digit angka bernama usia.
Meski
memang tidak dapat dipungkiri, kalau usia adalah perjalanan waktu yang
mendewasakan setiap manusia. Tetapi, jika bisa mempersingkat perjalanan waktu
melalui sikap dan pemikiran, haruskah kita menggantungkannya pada dua digit
angka bernama usia?
0 comments:
Post a Comment