July 30, 2013

Mengenal Hatimu #4


Terlalu mengenal hati seseorang yang kita cintai itu membuat aku seakan sulit untuk bernafas. Kamu tahu mengapa? Karena orang itu tidak mencintai kita, tidak bisa memercayakan hatinya kepadaku. Rasanya semakin sulit saat kamu mengetahui itu.     

Dan aku mengenal betul bagaimana hati seorang Anggiena. Melihat serakan luka hati Anggiena dua tahun yang lalu membuatku ingin merengkuhnya. Mengenalnya lebih dalam agar dapat menyembuhkan setiap lukanya. Mengeringkan air matanya dan mengubahnya menjadi lautan tawa.

Aku ingin Anggiena tertawa bahagia dan memercayakan aku menggenggam hatinya, namun tak bisa. Anggiena tak bisa melakukannya, sekalipun harus berbohong. Ya, kamu tidak bisa, Gie.

“Aku sayang sama kamu, Revan. Setahun itu bukan waktu yang sebentar untuk mempertahankan semua perasaan aku ke kamu. Awalnya memang untuk obat penyembuh. Tetapi, setelah itu aku sadar kalau kamu lebih dari itu”

“Kamu berhasil menggenggam hatiku, Gie. Tetapi, kamu nggak seutuhnya mengizinkan dan memercayakan hatimu untuk aku. Kamu masih menggantungkan hatimu untuk dia. Untuk Barry. Entah apa yang membuatmu begitu. Salah satunya, mungkin karena rambut Barry nggak keriting seperti aku”

Aku terkekeh kecil, namun Giena masih saja membeku menatap mataku dengan raut wajah tak ingin diajak bercanda.

“Dari awal, aku ragu kalau kamu bisa melupakannya. Tetapi, aku begitu ingin melihat kebahagiaan di wajahmu. Makanya, aku meyakinkan diriku untuk melenyapkan semua intuisiku sejak awal. Intuisi yang tidak pernah salah. Kamu tahu kenapa?”

Giena menggelengkan kepalanya pelan. Setitik air bening meluncur dari pelupuk matanya, entah apa maksudnya.

“Karena aku teralalu mengenal hatimu, Gie. Aku tahu betul kamu. Aku sangat tahu kalau kamu nggak bisa ngelepasin Barry. Maka, saat Barry kembali lagi, kebahagiaan yang ingin aku hadirkan baru terlihat di wajahmu saat ini.”

“Kita akhiri sampai di sini ya, Gie. Aku percaya kamu akan bahagia sama Barry. Dan untuk kali ini, aku berdoa semoga Barry nggak akan menyakiti kamu lagi. Aku sayang kamu, Gie.”

Aku bisa terima meski harus terluka
Karena ku terlalu mengenal hatimu
Akhirnya kita harus memilih satu yang pasti
Mana mungkin terus jalani cinta begini
Karena cinta tak akan ingkari
Takkan terbagi
Kembalilah pada dirinya
Biar ku yang mengalah
Aku terima
(Cinta Begini-Tangga)
End

Mengenal Hatimu #3


Anggiena pantas kesal dengan sikapku di teras rumahnya seminggu yang lalu. Tetapi seharusnya tidak perlu beralrut-larut hingga tak mengizinkanku menghubunginya selama seminggu terakhir.

            Akhirnya, sebuah ide muncul dalam benakku untuk menyelesaikan misi tak peduli yang sedang Anggiena lancarkan ini.

            “Man, gila kali ya elo. Udahlah syukuri aja ciptaan Tuhan. Rambut elo itu unik kali, keriting tiada duanya,” cerocos Tyo tanpa balas olehku sejak 30 menit yang lalu.

            Aku hanya tersenyum sendiri sambil terus melancarkan ideku.

            “Kamu mirip sama orang yang mau tes CPNS tahu nggak. Rambutnya dikasih apa sampe klimis kaya gitu? Aku nggak suka,” ucap Giena ketus.

            “Tadi aku pinjam catokan rambut adeknya Tyo. Tapi, kerenkan yang?”

            “Aku bilang aku nggak suka. Menurut kamu itu keren? Aneh banget tau.” Giena melipat kedua tangannya di depan dada sambil memalingkan wajahnya.

            “Aku cuma pengen kamu nggak ngambek lagi. Aku minta maaf, Gie atas ucapan aku seminggu yang lalu”

            Giena belum sempat menimpali ucapanku ketika ponselnya berdering dari saku celana jeansnya.

            “Halo?....Iya, hari ini nggak ada acara kok... Okay, aku tunggu ya. Bye

            “Terus, kamu kesini mau ngapain? Cuma mau nunjukkin rambut klimis ala Mr. Bean itu?,” tanya Giena begitu mengakhiri pembicaraannya di telpon—yang entah dengan siapa.

            “Hari ini Camelion main di Food Festival. Kesana yuk. Kitakan udah lama nggak lihat perform Camelion.”

            “Aku mau pergi, Van. Minggu depan aja lihat Camelion di kafe. Gimana?”

            “Mau kemana? Yang barusan telpon tadi itu siapa?”

            “Barry”. Ucapan yang keluar dari bibir Giena bukan sebagai jawaban, tetapi lebih tepat sebagai jeritan memanggil seseorang. Dugaanku benar saat kudapati Barry tengah keluar dari mobilnya. Giena bergegas menghampiri Barry.

            “Cepet banget sampenya. Aku belum sempat ganti baju,” ujar Giena kepada Barry. Suaranya samar-samar terdengar.

            “Kebetulan aku emang udah deket rumah kamu pas telpon tadi. Lho, ada Revan juga. Kalian mau jalan ya?”

            “Iya, awalnya. Tapi, ternyata Giena nggak bisa”


to be continued

July 27, 2013

Mengenal Hatimu #2



“Aku lagi nggak mood keluar nih, Van. Lagi kurang enak badan. Malam ini kita off dulu ya, Saturday night nya”

“Yaudah, kalau gitu aku bawain bubur kacang ijo kesukaan kamu ya ke rumah”

“Nggak perlu, Van. Nggak perlu, makasih ya. Aku mau istirahat aja”

Anggiena lagsung menutup telepon di seberang sana. Tak biasanya Anggiena mengemukakan kalau ia tidak enak badan. Biasanya, ia selalu menyimpannya rapat. Tapi, baiklah Anggiena butuh istirahat. Ya, aku mengenal hatinya. Sangat mengenal, sampai-sampai kebohongan Anggiena malam ini tercium hebat dalam diriku. Namun, aku bergeming.

“Kalau menurut elo Giena nggak sakit, kenapa nggak dateng ke rumahnya aja?”

“Giena bilang, dia mau istirahat”

Tyo memeberengut kesal begitu melihatku datang di Sabtu malam ini. Pintu kamarnya memang selalu terbuka untukku kapan saja, baik ada Tyo maupun tidak. Namun, Sabtu malam bukanlah waktu yang tepat untuk curhat dengan Tyo, nampaknya.

“Yodahlah, ikut gue aja sekarang”

Tanpa banyak tanya, aku ikut melesat bersama Tyo menuju sebuah kafe. Live Music yang sering digelar di Sabtu malam ini semakin memeriahkan pengunjung. Dahulu, aku dan Anggiena sering berkunjung ke Kafe ini sekedar utuk menikmati permainan piano solo ataupun band indie favorit kami.

Camelion, band indie favorit aku dan Giena sedang memainkan Come Home milik One Republic. Ingatanku bermain mengenang sekotak tissue yang dihabiskan Giena setiap mendengarkan lagu ini. Giena mengaku selalu mengingat Barry setiap kali mendengarkan lagu ini. Dan hatinya belum bisa melepaskan Barry. Tetapi itu 2 tahun lalu, aku percaya saat ini hati Giena hanya milikku. Meski dalam palung hatiku, aku seperti mendengar sebuah suara yang berusaha ku lenyapkan.

“Van, tadi gue ketemu cewek mirip sama Giena masa,” tutur Tyo tiba-tiba begitu sekembali dari toilet.

“Dimana? Jangan ngaco ah. Giena di rumahnya lagi istirahat. Nggak mungkin banget ke sini”

“Iya juga ya. Mirip aja mungkin. Tapi, nggak ada salahnya elo hubungin Anggiena”

“Nggak ah. Gue nggak mau ganggu istirahatnya Giena”

Saat Tyo lengah memerhatikan performance Camelion, aku menyempatkan menghubungi ponsel Giena, tetapi tidak aktif. Berbagai pemikiran muncul dalam kepalaku. Sebuah nama yang menggaung dari palung hati, tetapi kembali kucoba untuk kulenyapkan.
* * *
              “Barry,” ujar lelaki bertubuh tegap dengan rambut coklat lurus bagai wanita.

            Aku menjabat tangannya sambil menyebutkan namaku dengan mantap “Revan. Cowoknya Giena, udah tahukan?”

            “Iya. Giena udah cerita kok”

            Aku melirik Giena minta penjelasan, meski kutahu tidaklah mungkin dalam situasi seperti ini. Setelah tidak sengaja bertemu dengan Barry saat aku dan Giena berkeliling toko buku, maka kami bertiga memutuskan untuk minum kopi bersama.

            Giena menyeruput vanilla latte miliknya tanpa menyadari kalau dirinya telah menjadi objek penglihatan Barry sekitar 5 menit. Kami bertiga tidak banyak bicara. Selain karena aku memang belum mengenal Barry, Giena tidak mencoba untuk membuka pembicaraan lebih dulu.

            Setelah terjebak basa basi singkat yang tak bermakna, maka kuputuskan untuk mengajak Giena pulang.

            “Kamu bilang, Barry pindah ke Bandung. Kenapa justru ada si Jakarta?,” tanyaku langsung begitu sampai di teras rumah Giena.

            “Iya. Barry lagi promo bisnisnya yang di Bandung ke Jakarta. Semacam buka cabang gitulah”

            “Kok bisa ketemu sama kamu lagi? Jakarta kan luas”

            “Barry yang hubungin aku, Van. Kamu ingatkan nomor nggak dikenal yang telpon aku terus? Itu ternyata Barry. Kalau kamu nggak nyuruh aku buat tanya itu siapa, mungkin aku nggak akan bisa ketemu Barry lagi”

            “Kamu masih sayang ya sama Barry?”

            “Lho, kok nanyanya begitu?”

            Aku terdiam dan menatap berapi ke mata Anggiena.

“Kamu sendirikan yang bilang kalau kita nggak boleh putus silaturahim sama teman. Barry itu kan teman aku, Van”

            “Sekaligus mantan. Mantan yang sulit banget kamu lupain”

To be continued

Mengenal Hatimu #1


Mengenal Hatimu
Oleh :
Fitria Wardani

Perasaan cemas dan waswas yang menyelimuti diriku hanya dibalas oleh suara operator. Kuraih kunci motor dan jaket hijau army yang menggantung. Otakku hanya di penuhi satu nama, maka aku berlari kesetanan menuju rumah Anggiena. Awan mendung yang menggelayut tak lagi kuhiraukan.

            Anggiena duduk tersenyum setelah meletakkan secangkir teh di hadapanku. Aku mengeringkan rambutku yang basah terkena air hujan. Karena berlari kesetanan, khawatir atas Anggiena, aku tak menyadari kalau hujan akan turun.

            “Jadi, handphone kamu nggak aktif karena lupa dicharger?,” tanyaku malu karena telah berpikir buruk tentang Anggiena.

            “Iya, Revan. Kamu kaya nggak kenal aku aja deh. Aku kan emang paling malas buat ngecharge handphone.”

            Aku menunduk malu. Harus kuakui, aku telah mengenal Anggiena selama 2 tahun terakhir dan hampir hafal semua kebiasaannya yang berbeda dengan gadis lain. Tetapi, 3 bulan terakhir ini semua terasa berbeda. Semenjak menjadi kekasih Anggiena, aku justru merasa tak mengenalnya. Bisa dikatakan, aku teralalu gugup dengan hubunganku dengan Anggiena kali ini.

            “Nyantai aja kali, Van, nggak usah dibawa serius gitu,” ujar Tyo, sahabatku.

            “Gue harus serius untuk kali ini, Yo. Giena itu beda dari cewek-cewek lain. Gue nggak mau buat dia kecewa”

            “Tapi, elo justru nggak jadi diri elo sendiri. Sebelum jadian sama Giena, elo lebih santai dan asyik. Tapi setelah jadian sama Giena, lo justru jadi orang yang over lebay. Terus nih ya, kalo gue liatin, elo sama Giena itu justru jadi kaku pas jadian. Sebelumnya nggak gitu ah kayanya”

            Aku melemparkan pandanganku keluar jendela kamar Tyo yang berada di lantai 2. Tyo yang merupakan sahabatku sejak duduk di bangku SMP ini memang mengenalku luar dalam. Tidak ada yang bisa kusembunyikan dari Tyo, termasuk perasaanku saat ini.

            “Kenapa sih, Bro? Ceritalah !,” ujar Tyo sambil menepuk pundakku.

            “Gue ngerasa hati Giena bukan buat gue, Yo”

            “Ah, Man ! Mulai lebay lagi kan. Udahlah, let it flow aja”

“Nggak gitu, Yo. Gue kenal sama Giena. Gue ngerasa Giena nunggu seseorang, tapi bukan gue”

            “Kalo emang gitu, kenapa Giena mau jadi cewek elo ?”

            Pertanyaan itu menggantung di udara. Tyo tak memaksaku untuk menjawab. Sementara di palung hatiku, seperti terdengar sebuah jawaban—yang kupaksakan menghilang. Aku hanya berburuk sangka, karena terlalu menyayangi Giena. Ya, itu pasti.
* * *
Mawar-mawar segar yang menggelitik hidungku sepanjang perjalanan ke rumah Anggiena kini terpajang manis di salah satu vas bunga rumahnya. Anggiena menyodorkan sekotak tissue yang dengan segera kuserbu.

“Kalau kamu alergi sama bunga, nggak perlu maksain beli buat aku. Beginikan jadinya, hidung kamu mirip badut sirkus tuh”

Aku berhenti menggosok hidungku yang gatal begitu mendengar ucapan Anggiena.

“Masa sih, yang ?,” tanyaku sambil meraba hidungku.

“Iya. Mirip banget sama badut sirkus. Hidung merah dan rambut keriting. Tinggal nambahin bola aja di dalam perut”

“Ihh jahat banget sih, yang. Masa cowoknya disamaiin sama badut. Emang kamu mau punya pacar badut?”

Anggiena memberengut kesal, namun manis. “Anyway, makasih mawarnya. Hari ini bukan anniversarry kitakan, kok kamu baik banget bawain mawar buat aku?”

“Karena kamu suka kalau dikasih mawar. Iyakan?”
* * *

Never Gonna Leave This Bed milik Maroon 5 terus mengalun dari handphone Anggiena. Dering penanda panggilan masuk itu telah berbunyi berkali-kali. Tetapi, Anggiena masih saja serius membaca novel di hadapanku. Sementara aku asyik bermain Angry Bird dari ponselku.

“Sayang, itu yang telpon siapa ? Kok nggak diangkat?”

“Nggak tahu. Nomor nggak dikenal,” ujar Anggiena cuek tanpa memandangku. Matanya masih menekuni setiap kata dalam novel di hadapannya. Aggiena memang hobi membaca. Ia bisa lupa segalanya jika telah dihadapkan dengan buku.

Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Anggiena.

“Siapa?”

“Nomor yang nggak dikenal tadi”

“Isinya?”

“Hai Giena”

“Siapa sih, yang? Kamu beneran nggak kenal sama nomor itu emangnya?”

“Nggak. Udahlah, biarin aja. Mungkin orang iseng, cuekin aja. Nanti juga capek sendiri”

“Jangan gitu dong, Gie. Coba kamu tanya itu siapa, mungkin teman lama kamu. Jangan putus silaturahimlah sama teman.”

To be continued

July 17, 2013

Doa


Do’a
Oleh:
Fitria Wardani








Namanya Kresnoadji, tetapi biasa dipanggil Resno. Pria tampan nan sederhana yang tak pernah absen untuk shalat lima waktu. Bukan itu saja, ia juga tak pernah lelah mengajak dan mengingatkan teman-temannya, terutama aku.

                “Ndi, mau ikut gue nggak?”
                “Kemana?,” tanyaku balik penasaran.
                “Shalat Ashar,” jawab Resno santai sambil berdiri dari kursi.
                “Yee..kirain mau kemana,” timpalku kesal sambil melemparkan sarung notebook ke arahnya.
                “Udahlah, ayo Ashar dulu kita. Siapa tahu kita dapat pencerahan”

                Resno melenggang santai dari Taman Rindang—tempat kami mengerjakan tugas kuliah yang begitu menegangkan syaraf otak. Kakinya sudah pasti menuju Musholla di lantai 5 Fakultas Teknik. Aku  segera bergegas mengejarnya.
               

                “Assalamualaikum warrahmatullah…. Assalamualaikum warrahmatullah
            
             Salam itu mengakhiri shalat yang Resno pimpin. Ia menggeret bokongnya ke belakang hingga posisinya telah sejajar denganku. Hal yang selalu ia lakukan setelah menjadi Imam shalat diantara kami. Sore itu, Musholla Fakultas memang sepi. Hanya ada aku dan Resno di bagian lelaki, sementara di bagian wanita terdengar kasak-kusuk beberapa wanita.

                 Aku menunduk memanjatkan doa dan shalawat sambil sesekali melirik Resno. Hal yang selalu ia lakukan selepas shalat, menundukkan kepala begitu dalam. Mulutnya akan berkomat-kamit merapal doa dan shalawat. Lalu, posisi duduknya yang bersila akan dibentuk layaknya seorang pesinden. Kedua telapak tangannya akan dihimpitkan dan disejajajarkan dengan dada. Resno mulai menengadahkan kepalanya dan akan berbicara denganNya dari hati ke hati menggunakan bahasa ibu.  Bibirnya hanya mengatup-ngatup tipis nyaris tak terlihat. Doanya juga tidak terdengar oleh telinga manusia. Karena Resno hanya ‘berbicara’ dan meminta padaNya, pada Gusti Allah Yang Maha Kuasa.

                Kedua telapak tangan Resno telah dihimpitkan dan disejajarkan dengan dada. Kepalanya mulai ia angkat, tetapi belum sampai 5 detik, Resno menurunkan tangannya dan pergi. Aku kontan melongo. Lima detik bukanlah waktu yang bisa digunakan untuk berbicara dari hati ke hati denganNya. Terlalu singkat, bahkan belum apa-apa. Ah mungkin Resno mendapat panggilan alam alias kebelet ke belakang, pikirku.

                Setelah melaporkan daftar permintaanku kepadaNya, aku keluar dari Musholla dan menemukan Resno sedang duduk menungguku.

                “Buruanlah, Ndi !,” panggilnya sambil berdiri ketika melihatku keluar dari Musholla.. Sepatunya telah terpasang rapi di kedua kakinya yang jenjang.
               


                “Acaranya mulai jam 1 dan sekarang udah jam 12. Lo tahukan perjalanan ke Café sekitar 45 menit. Itupun kalau kesananya ngebut.. Tapi lo aja masih di rumah sekarang? Mau nyampe jam berapa kita?”

                Tari, temanku mengoceh dengan Udin di seberang telpon. Memintanya untuk cepat datang ke kampus, karena akan menghadiri ulang tahun Elga. Gadis itu memang Miss On Time, sangat tidak suka dengan segala hal yang terlambat.

                Aku hanya memandanginya sambil menggeleng, lalu mengedarkan pandangan untuk sekedar cuci mata. Sementara, Resno yang ikut menunggu duduk diam dengan telinga tersumbat headset. Ide yang baik, sayang aku tidak membawa headset.

                “Zuhur dulu ah yuk !,” ajak Resno tiba-tiba.

                Aku dan Tari langsung menoleh ke arah Resno yang sedang merapikan headsetnya.

                “Duuh, Resno. Kita tuh udah hampir terlambat, lo malah pake acara shalat segala. Sholatnya nanti aja di sana. Lagipula, gue belom denger azan,” ujar Tari dengan nada marah-marah khas wanita

                “Iya, No. emangnya udah azan?”

                “Udah azan, barusan gue denger di radio”

               “Terus nanti, kalo pas lo sholat, si Udin dateng gimana? Tambah lama deh nunggunya. Tambah telat kita. Kenapa sih orang Indonesia nggak bisa ngehargain waktu. Hobinya telat melulu”, rutuk Tari kesal dengan muka memberengut.

                “Lebih baik telat ke acara ulang tahun daripada telat menghadap Allah. Kalau si Udin dateng dan gue belom selesai shalat, yaudah lo duluan aja ke Café,” jawab Resno pedas.

                “Terus lo ke sananya gimana? Kan cuma gue penunjuk jalannya,” balas Tari dengan beberapa tarikan urat lehernya.

                “Fine ! gue nggak dateng kalo gitu”. Lalu, Resno melenggang pergi. Menuju Masjid utama kampus tentunya, karena jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat kami menunggu.

                Aku hanya diam sebagai saksi. Tersenyum dalam hati melihat bagaimana ekspresi Tari selepas mendengar kalimat terakhir Resno. Mukanya pucat pasi dan ketakutan. Jelas saja. Tari, yang merupakan teman sekelas kami—aku dan Resno—juga sekaligus sahabat Elga—si empunya acara—didaulat mengajak Resno ke Ulang tahun Elga. Mengapa? Karena Elga menaruh hati dengan Resno. Sayang, Elga tidak kenal dekat karena bukan anak Teknik.

                Tari menurunkan egonya, demi Elga. Ia melangkah bersamaku menuju Masjid untuk menunaikan Shalat Zuhur. Mulutnya tak henti merutuki Resno. Aku hanya terkekeh sendiri.


                Resno melaksanakan Shalat Zuhur di sebelahku. Jemaah diimami oleh dosen nampaknya.. Setelah usai, kuperhatikan lagi tingkah Resno. Dia merapal doa dengan khusyu tapi saat ritual obrolan dari hati ke hati denganNya, Resno bertingkah aneh. Kakinya diposisikan layaknya pesinden. Kedua telapak tangan Resno mulai dihimpitkan dan disejajarkan dengan dada, tetapi belum sempat ia menengadahklan kepalanya, Resno telah menyudahi aksinya. Ia melenggang pergi. Panggilan alam lagikah? batinku.



                “No, gue denger si Meisya baru putus tuh sama cowoknya,” laporku pada Resno saat kami sedang mencari referensi buku di toko buku bekas langganan kami.

                Meisya adalah mahasiswi jurusan Sastra Korea. Resno naksir Meisya sejak setahun yang lalu, Sayang Resno terlambat bergerak sehingga Meisya keburu direbut cowok lain.

                “Denger darimana lo?,” tanya Resno santai sambil menyapukan matanya ke jajaran buku-buku. Menyortir judul buku mana yang merupakan pilihannya.

                “Sepupu guekan anak Satra Korea juga. Terus pas gue liat di facebooknya, statusnya udah berubah single tuh”

                “Ooh”

                “Kok cuma ’ooh’? Lo udah ada gebetan lain ya?,” tanyaku penasaran sambil membalikkan badannya ke arahku.

                “Ya emangnya gue harus bilang apa?”

                “Gue ingetin aja nih ya, No. Kalo lo beneran suka sama Meisya, lo kejar deh buruan. Jangan sampe kemakan cowok lain untuk kedua kalinya. Gue kasih tau ya, No. Lo itu cowok baik, pinter, rajin sholat…dan semua cewek suka sama cowok kaya lo. Lo nggak usah minder, Man !, ” nasihatku sambil menepuk pundak Resno yang kekar.

                “Ohya, ngomongin sholat, gue belom Shalat Isya nih. Udah jam berapa nih?”

                Resno melirik jam tangan hitamnya tanpa menggubris nasihatku samasekali.

                “Shalat dulu yuk ah, Ndi !,” ajak Resno sambil meninggalkan kios buku bekas.

              Dengan malas, kulirikkan mataku ke jam tangan Swiss hijau army yang melingkar di lengan kiri. Baru jam 8 malam. Bukankah waktu yang disediakan untuk Shalat Isya begitu panjang?

                Aku menghela nafas sendiri dan mengikuti Resno. Mencari Musholla terdekat tentunya.



                Resno merapal doa setelah shalat dan shalawat nabi di sebelahku. Aku mengamatinya lewat ekor mataku. Memerhatikan, apakah ia akan bersikap seperti belakangan ini, tidak ‘berbicara denganNya dari hati ke hati’ ?

                Aku lebih kaget lagi dengan aksi Resno kali ini. Kakinyapun tidak ia posisikan layaknya pesinden, seperti yang biasa ia lakukan. Setelah selesai mengusap wajahnya, Resno segera berdiri dan keluar dari Musholla.

                Tak mungkin ini panggilan alam. Aku sempat melihat Resno masuk ke bilik toilet saat sedang mengambil air wudhu. Ada apa dengan Resno? Kali ini, aku harus bertanya padanya.


                “No, gue perhatiin akhir-akhir ini lo sebentar banget doanya kalo sholat. Udah nggak ada ‘curhat heart to heart’ sama Gusti Allah kayaknya,” bukaku setelah mengikat tali sepatuku.

                Resno hanya mengangkat sudut bibir sebelahnya. Entah apa arti senyumnya itu.

                “Lo nggak minta apa gitu sama Gusti Allah? Biasanya lo kan selalu lama doanya,” tambahku lagi. Mengajak Resno membuka mulut.

                “Emangnya gue mau minta apalagi?”

                Pertanyaan Resno tidak dapat kujawab, karena tentu hanya Resno yang paling tahu jawabannya.

           “Kalau selama ini gue doanya lama, itu karena gue minta kesembuhan buat nyokap gue. Tapi, sekarang nyokap gue udah tenang di sana. Jadi, gue mau minta apalagi?,” papar Resno.

                Aku terpekur. Mama Resno memang telah meninggal sebulan yang lalu karena penyakit jantung. Sementara ayah Resno telah menelantarkan Resno dan ibunya sejak ia berusia 10 tahun.

                “Kenapa nggak minta Meisya jadi pacar lo? Atau supaya lo bisa lulus cepet dan dapet kerjaan keren atau…minta supaya bisa ketemu sama bokap lo?,” tanyaku dengan nada yang diturunkan pada pilihan yang terakhir.

                “Soal Mesiya, kuliah dan kerjaan itu semua cuma duniawi, Ndi. Cuma titipan, nggak akan gue bawa mati. Gue nggak akan minta untuk urusan itu. Soal bokap gue…terserah Gusti Allah aja”

                “Kalo gitu, kenapa lo masih tetap sholat? Rajin banget lagi?”

                “Karena gue butuh, Ndi.”

                Butuh?

                “Shalat itu seperti oksigen buat gue, Ndi. Kalo gue nggak menghirup oksigen, gue bisa mati. Sama aja kaya kalo gue nggak shalat, mungkin gue bisa mati”


End


27 Juli 2012 
            

© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis