Do’a
Oleh:
Namanya Kresnoadji, tetapi biasa dipanggil Resno. Pria
tampan nan sederhana yang tak pernah
absen untuk shalat lima
waktu. Bukan itu saja, ia juga tak pernah lelah mengajak dan mengingatkan
teman-temannya, terutama aku.
“Ndi,
mau ikut gue nggak?”
“Kemana?,”
tanyaku balik penasaran.
“Shalat
Ashar,” jawab Resno santai sambil berdiri dari kursi.
“Yee..kirain
mau kemana,” timpalku kesal sambil melemparkan sarung notebook ke arahnya.
“Udahlah,
ayo Ashar dulu kita. Siapa tahu kita dapat pencerahan”
Resno
melenggang santai dari Taman Rindang—tempat kami mengerjakan tugas kuliah yang
begitu menegangkan syaraf otak. Kakinya sudah pasti menuju Musholla di lantai 5
Fakultas Teknik. Aku segera bergegas mengejarnya.
“Assalamualaikum warrahmatullah….
Assalamualaikum warrahmatullah”
Salam
itu mengakhiri shalat yang Resno pimpin. Ia menggeret bokongnya ke belakang
hingga posisinya telah sejajar denganku. Hal yang selalu ia lakukan setelah
menjadi Imam shalat diantara kami. Sore itu, Musholla Fakultas memang sepi.
Hanya ada aku dan Resno di bagian lelaki, sementara di bagian wanita terdengar
kasak-kusuk beberapa wanita.
Aku menunduk memanjatkan doa dan shalawat
sambil sesekali melirik Resno. Hal yang selalu ia lakukan selepas shalat, menundukkan
kepala begitu dalam. Mulutnya akan berkomat-kamit merapal doa dan shalawat.
Lalu, posisi duduknya yang bersila akan dibentuk layaknya seorang pesinden.
Kedua telapak tangannya akan dihimpitkan dan disejajajarkan dengan dada. Resno
mulai menengadahkan kepalanya dan akan berbicara denganNya dari hati ke hati
menggunakan bahasa ibu. Bibirnya hanya
mengatup-ngatup tipis nyaris tak terlihat. Doanya juga tidak terdengar oleh
telinga manusia. Karena Resno hanya ‘berbicara’ dan meminta padaNya, pada Gusti
Allah Yang Maha Kuasa.
Kedua
telapak tangan Resno telah dihimpitkan dan disejajarkan dengan dada. Kepalanya
mulai ia angkat, tetapi belum sampai 5 detik, Resno menurunkan tangannya dan
pergi. Aku kontan melongo. Lima
detik bukanlah waktu yang bisa digunakan untuk berbicara dari hati ke hati
denganNya. Terlalu singkat, bahkan belum apa-apa. Ah mungkin Resno mendapat panggilan alam alias kebelet ke belakang,
pikirku.
Setelah
melaporkan daftar permintaanku kepadaNya, aku keluar dari Musholla dan menemukan
Resno sedang duduk menungguku.
“Buruanlah,
Ndi !,” panggilnya sambil berdiri ketika melihatku keluar dari Musholla..
Sepatunya telah terpasang rapi di kedua kakinya yang jenjang.
“Acaranya
mulai jam 1 dan sekarang udah jam 12. Lo tahukan perjalanan ke Café sekitar 45
menit. Itupun kalau kesananya ngebut.. Tapi lo aja masih di rumah sekarang? Mau
nyampe jam berapa kita?”
Tari,
temanku mengoceh dengan Udin di seberang telpon. Memintanya untuk cepat datang
ke kampus, karena akan menghadiri ulang tahun Elga. Gadis itu memang Miss On Time, sangat tidak suka dengan
segala hal yang terlambat.
Aku
hanya memandanginya sambil menggeleng, lalu mengedarkan pandangan untuk sekedar
cuci mata. Sementara, Resno yang ikut menunggu duduk diam dengan telinga
tersumbat headset. Ide yang baik,
sayang aku tidak membawa headset.
“Zuhur
dulu ah yuk !,” ajak Resno tiba-tiba.
Aku
dan Tari langsung menoleh ke arah Resno yang sedang merapikan headsetnya.
“Duuh,
Resno. Kita tuh udah hampir terlambat, lo malah pake acara shalat segala. Sholatnya
nanti aja di sana .
Lagipula, gue belom denger azan,” ujar Tari dengan nada marah-marah khas wanita
“Iya,
No. emangnya udah azan?”
“Udah
azan, barusan gue denger di radio”
“Terus
nanti, kalo pas lo sholat, si Udin dateng gimana? Tambah lama deh nunggunya.
Tambah telat kita. Kenapa sih orang Indonesia nggak bisa ngehargain
waktu. Hobinya telat melulu”, rutuk Tari kesal dengan muka memberengut.
“Lebih
baik telat ke acara ulang tahun daripada telat menghadap Allah. Kalau si Udin
dateng dan gue belom selesai shalat, yaudah lo duluan aja ke Café,” jawab Resno
pedas.
“Terus
lo ke sananya gimana? Kan
cuma gue penunjuk jalannya,” balas Tari dengan beberapa tarikan urat lehernya.
“Fine ! gue nggak dateng kalo gitu”.
Lalu, Resno melenggang pergi. Menuju Masjid utama kampus tentunya, karena
jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat kami menunggu.
Aku
hanya diam sebagai saksi. Tersenyum dalam hati melihat bagaimana ekspresi Tari
selepas mendengar kalimat terakhir Resno. Mukanya pucat pasi dan ketakutan.
Jelas saja. Tari, yang merupakan teman sekelas kami—aku dan Resno—juga
sekaligus sahabat Elga—si empunya acara—didaulat mengajak Resno ke Ulang tahun
Elga. Mengapa? Karena Elga menaruh hati dengan Resno. Sayang, Elga tidak kenal
dekat karena bukan anak Teknik.
Tari
menurunkan egonya, demi Elga. Ia melangkah bersamaku menuju Masjid untuk
menunaikan Shalat Zuhur. Mulutnya tak henti merutuki Resno. Aku hanya terkekeh
sendiri.
Resno
melaksanakan Shalat Zuhur di sebelahku. Jemaah diimami oleh dosen nampaknya..
Setelah usai, kuperhatikan lagi tingkah Resno. Dia merapal doa dengan khusyu tapi saat ritual obrolan dari
hati ke hati denganNya, Resno bertingkah aneh. Kakinya diposisikan layaknya
pesinden. Kedua telapak tangan Resno mulai dihimpitkan dan disejajarkan dengan
dada, tetapi belum sempat ia menengadahklan kepalanya, Resno telah menyudahi
aksinya. Ia melenggang pergi. Panggilan
alam lagikah? batinku.
“No,
gue denger si Meisya baru putus tuh sama cowoknya,” laporku pada Resno saat
kami sedang mencari referensi buku di toko buku bekas langganan kami.
Meisya
adalah mahasiswi jurusan Sastra Korea .
Resno naksir Meisya sejak setahun
yang lalu, Sayang Resno terlambat bergerak sehingga Meisya keburu direbut cowok lain.
“Denger
darimana lo?,” tanya Resno santai sambil menyapukan matanya ke jajaran
buku-buku. Menyortir judul buku mana yang merupakan pilihannya.
“Sepupu
guekan anak Satra Korea
juga. Terus pas gue liat di facebooknya, statusnya udah berubah single tuh”
“Ooh”
“Kok
cuma ’ooh’? Lo udah ada gebetan lain ya?,” tanyaku penasaran sambil membalikkan
badannya ke arahku.
“Ya
emangnya gue harus bilang apa?”
“Gue
ingetin aja nih ya, No. Kalo lo beneran suka sama Meisya, lo kejar deh buruan.
Jangan sampe kemakan cowok lain untuk kedua kalinya. Gue kasih tau ya, No. Lo
itu cowok baik, pinter, rajin sholat…dan semua cewek suka sama cowok kaya lo.
Lo nggak usah minder, Man !, ” nasihatku sambil menepuk pundak Resno yang
kekar.
“Ohya,
ngomongin sholat, gue belom Shalat Isya nih. Udah jam berapa nih?”
Resno
melirik jam tangan hitamnya tanpa menggubris nasihatku samasekali.
“Shalat
dulu yuk ah, Ndi !,” ajak Resno sambil meninggalkan kios buku bekas.
Dengan
malas, kulirikkan mataku ke jam tangan Swiss hijau army yang melingkar di lengan kiri. Baru jam 8 malam. Bukankah waktu yang disediakan untuk Shalat
Isya begitu panjang?
Aku
menghela nafas sendiri dan mengikuti Resno. Mencari Musholla terdekat tentunya.
Resno
merapal doa setelah shalat dan shalawat nabi di sebelahku. Aku mengamatinya
lewat ekor mataku. Memerhatikan, apakah ia akan bersikap seperti belakangan
ini, tidak ‘berbicara denganNya dari hati ke hati’ ?
Aku
lebih kaget lagi dengan aksi Resno kali ini. Kakinyapun tidak ia posisikan
layaknya pesinden, seperti yang biasa ia lakukan. Setelah selesai mengusap
wajahnya, Resno segera berdiri dan keluar dari Musholla.
Tak
mungkin ini panggilan alam. Aku sempat melihat Resno masuk ke bilik toilet saat
sedang mengambil air wudhu. Ada apa dengan Resno? Kali ini, aku harus
bertanya padanya.
“No,
gue perhatiin akhir-akhir ini lo sebentar banget doanya kalo sholat. Udah nggak
ada ‘curhat heart to heart’ sama Gusti Allah kayaknya,” bukaku setelah mengikat
tali sepatuku.
Resno
hanya mengangkat sudut bibir sebelahnya. Entah apa arti senyumnya itu.
“Lo
nggak minta apa gitu sama Gusti Allah? Biasanya lo kan selalu lama doanya,” tambahku lagi.
Mengajak Resno membuka mulut.
“Emangnya
gue mau minta apalagi?”
Pertanyaan
Resno tidak dapat kujawab, karena tentu hanya Resno yang paling tahu
jawabannya.
“Kalau
selama ini gue doanya lama, itu karena gue minta kesembuhan buat nyokap gue.
Tapi, sekarang nyokap gue udah tenang di sana .
Jadi, gue mau minta apalagi?,” papar Resno.
Aku
terpekur. Mama Resno memang telah meninggal sebulan yang lalu karena penyakit
jantung. Sementara ayah Resno telah menelantarkan Resno dan ibunya sejak ia
berusia 10 tahun.
“Kenapa
nggak minta Meisya jadi pacar lo? Atau supaya lo bisa lulus cepet dan dapet
kerjaan keren atau…minta supaya bisa ketemu sama bokap lo?,” tanyaku dengan
nada yang diturunkan pada pilihan yang terakhir.
“Soal
Mesiya, kuliah dan kerjaan itu semua cuma duniawi, Ndi. Cuma titipan, nggak
akan gue bawa mati. Gue nggak akan minta untuk urusan itu. Soal bokap
gue…terserah Gusti Allah aja”
“Kalo
gitu, kenapa lo masih tetap sholat? Rajin banget lagi?”
“Karena
gue butuh, Ndi.”
Butuh?
“Shalat
itu seperti oksigen buat gue, Ndi. Kalo gue nggak menghirup oksigen, gue bisa
mati. Sama aja kaya kalo gue nggak shalat, mungkin gue bisa mati”
End
0 comments:
Post a Comment