“Aku
lagi nggak mood keluar nih, Van. Lagi kurang enak badan. Malam ini kita off dulu ya, Saturday night nya”
“Yaudah,
kalau gitu aku bawain bubur kacang ijo kesukaan kamu ya ke rumah”
“Nggak
perlu, Van. Nggak perlu, makasih ya. Aku mau istirahat aja”
Anggiena
lagsung menutup telepon di seberang sana. Tak biasanya Anggiena mengemukakan
kalau ia tidak enak badan. Biasanya, ia selalu menyimpannya rapat. Tapi,
baiklah Anggiena butuh istirahat. Ya, aku mengenal hatinya. Sangat mengenal,
sampai-sampai kebohongan Anggiena malam ini tercium hebat dalam diriku. Namun,
aku bergeming.
“Kalau
menurut elo Giena nggak sakit, kenapa nggak dateng ke rumahnya aja?”
“Giena
bilang, dia mau istirahat”
Tyo
memeberengut kesal begitu melihatku datang di Sabtu malam ini. Pintu kamarnya
memang selalu terbuka untukku kapan saja, baik ada Tyo maupun tidak. Namun,
Sabtu malam bukanlah waktu yang tepat untuk curhat dengan Tyo, nampaknya.
“Yodahlah,
ikut gue aja sekarang”
Tanpa
banyak tanya, aku ikut melesat bersama Tyo menuju sebuah kafe. Live Music yang
sering digelar di Sabtu malam ini semakin memeriahkan pengunjung. Dahulu, aku
dan Anggiena sering berkunjung ke Kafe ini sekedar utuk menikmati permainan
piano solo ataupun band indie favorit kami.
Camelion,
band indie favorit aku dan Giena sedang memainkan Come Home milik One Republic.
Ingatanku bermain mengenang sekotak tissue yang dihabiskan Giena setiap
mendengarkan lagu ini. Giena mengaku selalu mengingat Barry setiap kali
mendengarkan lagu ini. Dan hatinya belum bisa melepaskan Barry. Tetapi itu 2
tahun lalu, aku percaya saat ini hati Giena hanya milikku. Meski dalam palung
hatiku, aku seperti mendengar sebuah suara yang berusaha ku lenyapkan.
“Van,
tadi gue ketemu cewek mirip sama Giena masa,” tutur Tyo tiba-tiba begitu
sekembali dari toilet.
“Dimana?
Jangan ngaco ah. Giena di rumahnya lagi istirahat. Nggak mungkin banget ke
sini”
“Iya
juga ya. Mirip aja mungkin. Tapi, nggak ada salahnya elo hubungin Anggiena”
“Nggak
ah. Gue nggak mau ganggu istirahatnya Giena”
Saat
Tyo lengah memerhatikan performance Camelion,
aku menyempatkan menghubungi ponsel Giena, tetapi tidak aktif. Berbagai
pemikiran muncul dalam kepalaku. Sebuah nama yang menggaung dari palung hati,
tetapi kembali kucoba untuk kulenyapkan.
*
* *
“Barry,”
ujar lelaki bertubuh tegap dengan rambut coklat lurus bagai wanita.
Aku menjabat tangannya sambil
menyebutkan namaku dengan mantap “Revan. Cowoknya Giena, udah tahukan?”
“Iya. Giena udah cerita kok”
Aku melirik Giena minta penjelasan,
meski kutahu tidaklah mungkin dalam situasi seperti ini. Setelah tidak sengaja
bertemu dengan Barry saat aku dan Giena berkeliling toko buku, maka kami bertiga
memutuskan untuk minum kopi bersama.
Giena menyeruput vanilla latte miliknya tanpa menyadari
kalau dirinya telah menjadi objek penglihatan Barry sekitar 5 menit. Kami
bertiga tidak banyak bicara. Selain karena aku memang belum mengenal Barry,
Giena tidak mencoba untuk membuka pembicaraan lebih dulu.
Setelah terjebak basa basi singkat
yang tak bermakna, maka kuputuskan untuk mengajak Giena pulang.
“Kamu bilang, Barry pindah ke
Bandung. Kenapa justru ada si Jakarta?,” tanyaku langsung begitu sampai di
teras rumah Giena.
“Iya. Barry lagi promo bisnisnya yang di Bandung ke
Jakarta. Semacam buka cabang gitulah”
“Kok bisa ketemu sama kamu lagi?
Jakarta kan luas”
“Barry yang hubungin aku, Van. Kamu
ingatkan nomor nggak dikenal yang telpon aku terus? Itu ternyata Barry. Kalau
kamu nggak nyuruh aku buat tanya itu siapa, mungkin aku nggak akan bisa ketemu
Barry lagi”
“Kamu masih sayang ya sama Barry?”
“Lho, kok nanyanya begitu?”
Aku terdiam dan menatap berapi ke
mata Anggiena.
“Kamu
sendirikan yang bilang kalau kita nggak boleh putus silaturahim sama teman.
Barry itu kan teman aku, Van”
“Sekaligus mantan. Mantan yang sulit
banget kamu lupain”
To be continued
0 comments:
Post a Comment