September 16, 2017

Cerita Apply Visa ke Jepang




Negara matahari terbit yang menjadi dreamlist saya memang sudah membebaskan visa bagi WNI pemegang e-passport yang ingin berkunjung ke sana sejak Desember 2014. Tahun ini, kebetulan saya sudah terlanjur membuat paspor biasa dalam rangka acara kantor di awal tahun. Jadi, untuk rencana liburan ke Jepang yang sangat mendadak ini, saya memutuskan untuk menggunakan paspor biasa dan mengurus visa.

By the way, sedikit info untuk yang (mungkin) masih bingung perbedaan antara visa dan paspor, saya akan share sedikit di sini…

Paspor merupakan identitas kita, sementara visa adalah izin berkunjung yang diberikan oleh sebuah negara. Ibaratnya, paspor merupakan KTP kita yang kita gunakan di luar negeri. Sementara, tanpa visa kita tidak bisa masuk ke negara yang ingin kita kunjungi. Tidak semua negara memberlakukan visa, ada beberpa yang membebaskannya.

Nah, untuk pemegang e-passport, maka kamu tidak perlu repot-repot mengurus visa untuk pergi ke Jepang. Tetapi, cukup merogoh kocek sebesar Rp. 655,000 dengan waktu proses 3 minggu. Sementara untuk paspor biasa, biayanya Rp.355,000 dan waktu proses maksimal seminggu.

Ada beberapa pertimbangan bagi saya untuk akhirnya memilih menggunakan paspor biasa. Pertama, saya baru membuat passpor di Januari 2017 (masih cukup baru) jadi sayang kalu harus keluar uang hampir Rp. 1,000,000 (paspor biasa dan e-passpor) dalam setahun hanya untuk urus-urus dokumen. Kedua, karena sudah booking ticket pesawat dengan nomor paspor biasa. Selain itu, di paspor saya sudah ada satu cap dari sebuah negara hehe. (fakir collecting stamps negara). Alhasil, saya memutuskan untuk mengurus visa. Meski sesungguhnya, bagian terberat dari mengurus visa adalah saldo tabungan di rekening. Maka, saya menabung kilat selama ±6 bulan.

Ohya, visa ada banyak jenisnya, kamu bisa cek di sini

Saya mengurus visa kunjungan sementara untuk kunjungan wisata (biaya sendiri). Berikut dokumen-dokumen yang harus disiapkan
1.       Paspor
2.       Formulir permohonan visa dan pasfoto terbaru (formulir dapat diunduh di sini)
3.       Fotokopi KTP
4.       Bukti pemesanan tiket pesawat (pulang-pergi)
5.       Bukti booking hotel
6.     Jadwal Perjalanan sejak masuk hingga keluar Jepang (formulir dapat diunduh di sini)
7.       Fotokopi bukti keuangan seperti rekening tabungan 3 bulan terakhir

Semua dokumen di atas harus disusun secara urut dan dalam format A4 dan tidak dijepret menggunakan steples. Untuk menyiasati suapaya tidak tercecer, kamu bisa menggunakan klip. Meski saat di loket, toh kamu juga diharuskan melepaskan klip kertas itu. Berikut detail penjelasannya ya
1.      Iya, paspormu nanti akan ditinggal di kedubes untuk sementara, baiknya cover passpornya dilepas saja jika ada.
2.     Formulirnya diisi dengan lengkap dan benar, pasfoto terbaru berukuran 4,5 x 4,5 dengan background putih.
3.      Reminder Again, fotokopi KTP dalam ukuran A4
4.     Bukti booking pesawat harus pulang dan pergi, untuk menunjukkan berapa lama kamu di Jepang, karena visa yang diberikan hanya bersifat sementara sehingga ada jumlah harinya.
5.    Sebenarnya di web kedubes Jepang tidak dicantumkan, tetapi dari beberapa blog yang saya kunjungi, banyak yang mereferensikan bukti pemesanan hotel sebagai persyaratan mengurus visa. Jadi, untuk cari aman, saya melampirkan bukti pemesanan hotel dalam persyaratan apply visa ke Jepang.



Bukti booking Hotel
6.   Itinerary yang saya buat tidak terlalu detail, berikut contohnya. Mungkin bisa jadi referensi kamu.


Contoh Itinerary Saya
7.     Reminder again and again, fotokopi buku tabunganmu dalam format A4. Halaman depan serta saldo tabungan selama 3 bulan terakhir. Untuk jumlah pasti berapa saldo minimal untuk mengurus visa ke Jepang, saya pun tidak tahu. Tetapi, diperhitungkan dengan lamanya waktu kamu tinggal di sana. Untuk amannya, banyak blogger yang mereferensikan 1-1,5 juta/day. Jika kamu berencana tinggal di Jepang selama 6 hari, maka minimal ada 9 juta di saldo tabunganmu.

Karena poin ke 7, maka saya baru memberanikan diri untuk apply visa di H-1 bulan keberangkatan. Saya apply tanggal 31 Juli datang langsung ke Kedubes Jepang yang beralamat di Jl. MH Thamrin No.24, RT.9/RW.5, Gondangdia, Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10350 . Perjalanan ke sana cukup penuh perjuangan jika menggunakan public transportation, karena sedang ada pembangunan tepat di depan Kedubes Jepang. Tetapi kalau kamu memilih menggunakan taxi, tentu saja tidak ada panas-panasan naik turun jembatan penyebarangan dan jalan di bawah terik matahari ataupun menyambung naik kopaja setelah naik TransJakarta demi sampai ke Kedubes sebelum pukul 12.00. FYI, jam pengajuan permohonan visa dari pukul 08.30-12.00 setiap Senin-Jum’at.

Well, Senin, 31 Juli itu adalah kali ketiga saya datang ke Kedubes Jepang, 2 lawatan ke sana sebelumnya sekitar 6 tahun lalu (saat mengambil formulir dan submit berkas beasiswa mongabukasho yang tidak lolos pada akhirnya hehe). Saya sampai pukul 11.50 dan harus menunggu sekitar 28 orang lagi untuk bisa submit dokumennya. Perlu diperhatikan, ternyata kita dilarang menelpon selama berada di ruangan yang disediakan untuk pengajuan visa. Karena, ada ibu-ibu yang ditgeur menggunakan microphone saat menelpon selama berada di ruang tunggu.

Menunggu 28 antrean itu rasanya dag dig dug, khawatir berkas kurang dan sebagainya, khawatir visa ditolak sementara sudah booking tiket pesawat tanggal 31 Agustus. Pokoknya ketar ketir deh. Padahal submitnya hanya beberapa menit. Kekhawatiran saya melahirkan pertanyaan, bagaimana saya tahu kalau visa saya akan ditolak atau diterima. Mbak penjaga loket hanya mengabarkan jika ada berkas yang kurang maka akan ditelpon selama 4 hari menunggu, jika tidak ada telpon, maka saya diminta kembali pada Jumat, 4 Agustus dengan membawa bukti dan biaya pembuatan visa sebesar Rp.370,000.
Loket dan Antrean Apply Visa



Bukti Pengambilan Passpor
Selasa, Rabu, Kamis saya tak bisa jauh dari ponsel, khawatir kalau ada telpon. Hingga akhirnya, Jumat itu datang dan izin setelah makan siang untuk ambil paspor ke kedubes Jepang. Kali ini masih dengan sangat perjuangan, saya sampai di Kedubes Jepang pukl 13.00 dan ternyata sudah penuh dengan manusia-manusia yang mau mengambil paspor mereka. Saya mendapatkan nomor antrean 230 padahal loket saja belum dibuka. FYI : Pengambilan paspor pukul 13.30 – 15.00


Nomor Antrean Ambil Passpor
Baiklah, kekhwatiran itu masih ada. Perasaan ketar ketir, dag dig dug apakah pengajuan visa saya disetujui dan voillaa, allhamdulillah bahagia sekali rasanya melihat foto saya di dalam paspor sendiri dalam bentuk visa ke Jepang. Oiya, biaya Rp. 370,000 itu harus tunai ya. Tidak terima gesek menggesek hehe

Voilaaaa. Japan Visa
Dan begitulah proses apply visa ke Jepang. Cukup membuat dag dig dug  dan ribet mungkin untuk kebanyakan orang. Saya sendiri pun juga merasa begitu, tetapi itu adalah risiko dari sebuah pilihan yang sudah kita pilih. Allhamdulillah, saya dimudahkan dengan Ibu Katsunuma yang membantu untuk proses booking hotel di Shinjuku.

 Jadi, semua kembali kepada dirimu sendiri, apakah akan menggunakan paspor biasa dan mengurus visa atau menggunakan e-passport dan tidak perlu ribet menyiapkan berkas untuk apply visa. Tetapi, kalau kamu masih punya waktu panjang, maka saya merekomendasikan untuk mengurus e-passport. Fyi, meski kamu sudah menggunakan e-passport kamu juga harus datang ke kedubes Jepang untuk mengurus visa waiver dan free. Baru-baru ini, kedubes Jepang juga memudahkan untuk pengurusan visa tidak lagi harus datang ke Kedubes, tetapi bisa di Kuningan City. For futher information, mungkin bisa googling masing-masing (karena saya lupa linknya. Maafkan )

Terima kasih sudah membaca. Semoga bermanfaat


Dan percayalah di balik setiap foto-foto liburan yang indah, ada perjuangan di baliknya yang mungkin cukup kamu sendiri yang tahu.






August 12, 2017

Adhitia Sofyan - (review) 8 Tahun 'Cooling Down'

Image result for 8 tahun adhitia sofyan





Pertama kali jatuh cinta dengan Adhitia Sofyan lewat lagu After The Rain di sekitar tahun 2012. Selanjutnya, lagu-lagu Adhitia Sofyan, baik dari album How to Stop Time, Quiet Down, hingga Forget our Plan adalah ‘teman’ bagi saya untuk menghasilkan postingan-postingan di 2012 hingga 2013 (jumlah postingan produktif).

Ya, musisi yang memiliki bedtime song dan rekaman di kamar tidur ini memang karyanya pas banget untuk menemani saya menulis. Rentetan album terdahulunya justru dibagikan secara gratis di websitenya, makanya saya lengkap mendengarkan. Nah untuk yang Silver Painted Radiance, sejujurnya baru dengar beberapa kali dan belum ada yang sungguh ‘nyangkut’ di kepala.

But well, kali ini saya akan mereview mini album ‘Adhitia Sofyan 8 Tahun.’ Album yang rilis di Youtube 10 July ini terdiri dari 5 lagu (Seniman, Naik Kereta Saja, Dan Ternyata, Sesuatu di Joga, dan 8 Tahun). Album ini terkesan berbeda dari album-album Adhitia Sofyan yang sebelumnya, karena di mini album ini kita tidak akan menemukan lagu Adhitia dengan lirik bahasa Inggris, tetapi bahasa Jawa.

Yup, dari 8 lagu yang mengisi mini album ini, lagu berjudul ‘Dan Ternyata’ adalah lagu dengan lirik bahasa Jawa. Dunno why, but that’s my favourite song in this album. No, bukan karena saya orang Jawa. Tetapi, seriouslyDan Ternyata’ tetap eargasm dan ‘Adhitia banget’ meski liriknya bahasa Jawa. After effect setelah mendengarkan ‘Dan Ternyata’ adalah “Kenapa Adhitia Sofyan bisa bikin lagu seenak ini?”

Lagu ini bercerita tentang seseorang yang masih mengharapkan kekasihnya untuk kembali. Berlaku seperti orang gila setiap malam karena resah dan gelisah, terus berharap kekasihnya akan kembali dan memberinya kabar. Sounds manja sih, tapi for me di lagu ini tetap ada optimisme dari lirik Adhitia Sofyan.

Dan ternyata, kowe ijik tak enteni (dan ternyata, kamu masih kutunggu)
Dan ternyata, aku ndak kemana mana
(Dan Ternyata – Adhitia Sofyan)

I love that simple opening lyrics but have means a lot. Dan part lain di lagu ini yang juga jadi favourite

Nek kowe bali jo lali (Kalau kamu kembali, jangan lupa)
Nek kowe mulih kandhani (Kalau kamu pulang, katakan)
Nek kowe eling kabari (Kalau kamu ingat, beritahu aku)
(Dan Ternyata – Adhitia Sofyan)


Lagu lain yang menjadi favorit adalah ‘Sesuatu di Jogja.’ Iramanya eargasm and I bet, everyone will love this song. Try to listen, readers. Liriknya juga simple tapi kaya akan kosakata.
Terbawa lagi langkahku ke sana
Mantra apa entah yang istimewa
Ku percaya selalu ada sesuatu di Jogja

Dan Jakarta muram kehilanganmu
Terang lampu kota tak lagi sama
Sudah saatnya kau tengok puing yang tertinggal
Sampai kapan akan selalu berlari
Hingga kini masih selalu ku nanti-nanti
(Sesuatu di Jogja – Adhitia Sofyan)

Lagu ini seolah mewakili setiap orang yang tak pernah bosan dengan Jogja dan selalu ingin kembali. Kalian setuju ? (left on comment)

Tiga lagu lain di album ini juga tidak kalah cocok untuk menjadi lagu pengantar tidur atau teman cooling down di ujung hari yang melelahkan (ini sebenarnya curhatan pribadi sih, karena mendengarkan album ini setiap pulang kerja hingga jatuh ketiduran). Mereka adalah ‘Seniman’, ‘Naik Kereta Saja’, dan ‘8 Tahun’.

Seniman lebih awal mengudara di radio-radio dan liriknya penuh keberanian juga puitis tentunya.

Kubilang ku tak bangun terlalu pagi
Ku tahu, ku kan besar jadi seniman

Memandangi hujan berkawankan sepi
Mencari-cari jawaban dunia
Mari duduk, kawan
Secangkir kopi, pinjam apimu
Kita rayakan kesunyian
(Seniman – Adhitia Sofyan)

Untuk lagu ‘Naik Kereta Saja’, taste nya seperti lagu yang harus kamu dengarkan bersama orang tersayang di penguhujung usia. Dan cocok didengarkan sambil naik kereta di perjalanan yang penuh sawah membentang.
Naik kereta saja aku lebih tenang
Memandangi jendela waktu yang terhenti
Mengutuk keinginan yang tak terpenuhi
(Naik Kereta Saja – Adhitia Sofyan)

The last song, ‘8 Tahun’ adalah lagu yang pastinya sarat makna secara personal bagi Adhitia Sofyan, karena personally saya tidak dapat menghubungkan antara judul 8 Tahun dengan lirik yang ada di dalamnya. Mungkin ini semacam perjalanan bermusik Adhitia Sofyan selama 8 tahun ini. Yang pasti, sulit rasanya memilih lagu Adhitia Sofyan yang nggak eargasm, semuanya asyik didengar dan sukses menghantarkanmu tidur atau setidaknya cooling down dari lelah dan penat ibukota. Dan satu lagi, lirik-lirik yang ditulis Adhitia Sofyan selalu penuh makna (cek di sini salah satunya)

Selamat mendengarkan

Ketika angin bicara
Tunjukkan arah titik bertemu
Maukah, kau simpan waktu
Lupakan dunia, temui aku di sana

(8 Tahun – Adhitia Sofyan)


July 22, 2017

Fight the Future



Kekasih, benarkah kita ingin berjuang untuk orang lain yang kita cintai?
Cinta sebesar apakah yang mengantarkan kita memercayakan dia untuk kita perjuangkan ?
Kekasih, aku telah ditenggelamkan oleh keegoisan yang terus menggerogotiku. Hingga aku tak mampu mengantarkan keberanian untuk berjuang bersamamu. Jika suatu hari, kamu adalah orang yang akan kupilih untuk berjuang bersama maka berbahagialah. Meski aku tak pernah tahu, kapan hari itu akan tiba.



Dengan penuh tanda tanya ditemani alunan Fight the Future – The Trees and The Wild,
 1 Juli 2017

  

July 16, 2017

Dua Digit Angka Bernama Usia

Image result for AGE




We were sad of getting old
It made us restless
(When we’re Young – Adele)



Angka adalah segalanya. Hampir di seluruh aspek kehidupan. Dari barisan 26 huruf yang membentuk kata hingga paragraf, maka beberapa digit angka selalu menarik matamu terlebih dahulu dibandingkan yang lainnya. Bahkan dua digit angka masih selalu menarik untuk ditanyakan dan selalu menjadi momok.

Namanya ‘usia’, yang sudah pasti seringnya hanya terdiri dari dua digit angka. Tapi, tak pernah gagal mengantarkan sebuah pemikiran dan asumsi. Bukankah banyak keputusan yang sering diambil hanya karena usia?

Contoh kecil adalah “Tahun depan saya sudah 27 tahun, sudah seharusnya saya menikah” atau “Umur saya sudah menginjak kepala tiga lho, sudah seharusnya saya berhenti main game online” atau “Saya akan belajar memasak tahun ini, karena usia saya sudah menginjak kepala dua” atau “Saya akan mulai hemat setelah melewati masa muda saya, sekarang ingin menikmati hidup dulu” atau mungkin kamu punya contoh lain, tinggalkan di komen ya.

Banyak hal yang baru akan kita lakukan berdasarkan dua digit angka—yang sebenarnya tidak ada aturan bakunya. Harusnya semua orang bebas untuk melakukan apa yang dia inginkan karena sebuah keharusan, kesiapan dan keinginan yang kuat dari dalam dirinya, bukan karena usia. Kenapa harus menunggu umur 30 untuk berhenti main game? Kenapa tidak mulai hari ini?

Mengapa kita terlalu tenggelam dalam sebuah pemikian general akan sebuah usia? Mengapa kita tidak melakukan hal tersebut karena diri kita sendiri? Bukan karena pemikiran dan momok dua digit angka bernama usia.

Meski memang tidak dapat dipungkiri, kalau usia adalah perjalanan waktu yang mendewasakan setiap manusia. Tetapi, jika bisa mempersingkat perjalanan waktu melalui sikap dan pemikiran, haruskah kita menggantungkannya pada dua digit angka bernama usia?



July 1, 2017

Museum Bahari - Kecantikan yang Sunyi di Ujung Jakarta

Museum Bahari tampak dari lantai 2


Finally, my small bucketlist has been checklisted yesterday. That was Maritime Museum a.k.a Museum Bahari, a place that I wanna visit for long time ago. Kenapa ingin ke Museum Bahari ? Simple aja sih, karena letaknya yang berada di ujung Jakarta jadi semakin penasaran. Ditambah lagi, salah satu web series yang pernah bekerjasama dengan salah satu browser sempat mengangkat Museum Bahari sebagai tema dan settingnya. Dan sisa libur lebaran kemarin menjadi pilihan kami untuk berkunjung ke sana.

Museum Bahari terletak di Penjaringan, Jakarta Utara, tepatnya di Jl. Pasar Ikan No.1. Sebagai anak kereta, saya dan teman saya (yang juga anak kereta) memilih commuter line sebagai moda transportasi kami ke sana. Kami turun di Stasiun Jakarta Kota, kemudian naik kopami 02 (seperti metromini tetapi warnanya biru) dan turun di Museum Bahari. Perjalanan dari Stasiun Kota Tua menuju Museum Bahari menggunakan Kopami ini sebenarnya hanya memakan waktu kurang dari 10 menit (tidak termasuk bus yang menunggu penumpang alias ngetem).   

Museum Bahari tampak dari jalan raya
Untuk sampai ke Museum Bahari, kita harus berjalan sekitar 50 meter dari jalan raya. Saat kami berkunjung, keadaan Museum sangat sepi. Mungkin karena efek libur lebaran atau karena hari Jumat sehingga orang-orang shalat Jumat. Anyway, untuk ticketing, Museum Bahari bekerjasama dengan Bank DKI. Menurut saya, hal ini cukup menunjukkan kemajuan dan bentuk peduli pemda Jakarta terhadap museum yang ada di Jakarta. Ya, even bentuk tiketnya jadi sangat nggak menarik sih, kalau dibandingkan dengan tiket Museum Nasional misalnya.

Museum Bahari awalnya digunakan sebagai tempat untuk menyimpan rempah-rempah pada zaman Belanda, lalu pada tahun 1977 diresmikan sebagai Museum Bahari. Bangunannya terletak 2 lantai dan sudah banyak yang menggunakan mesin pendingin (air conditioner). Sehingga pengunjung dapat menikmati sejarah di dalamnya dengan nyaman. Meski di beberapa lorong belum ada dan juga terdapat perbaikan.

Perjalanan pertama saya ‘tawaf’ di Museum Bahari disambut oleh lorong berisikan maneken Pelaut Internasional dari berbagai belahan dunia. Mulai dari Ibn Batuta, Laksmana Chengho, Cornelis De Houtman hingga Pangeran Fatahilah . Selanjutnya ada juga lorong legenda laut yang menampilkan maneken beserta infokus yang berisi penjelasan ceritanya. Diantaranya adalah kisah flying dutchmann, Poseidon, Malin Kundang, Ratu Pantai Selatan (Nyi Roro Kidul), The Mermaid, Putri Mandalika, dsb.


Laksamana Cheng Ho

Ibn Batuta
Pangeran Fatahilah
Cornelis de Houtman

Poseidon

Beberapa poster zaman penjajahan Jepang

Sayangnya di lorong legenda laut tersebut, pencahayaannya sangat kurang. Sehingga lorong terlihat menyeramkan (apalagi saat hanya berdua dengan teman saya yang berada di lorong tersebut) sulitnya membaca sejarah tentang legenda tersebut. Di lorong lain, terdapat maneken tentang pelaut wanita. Mulai dari Laksmana Malahayati, hingga Mazu, The Godess of Sea .

Ruang Penyimpanan Rempah-Rempah
Di lantai dasar, Museum Bahari lebih berisikan kapal-kapal yang digunakan oleh masyarakat Indonesia dan miniature beberapa kapal, seperti kapal pinisi dan kapal Belanda.

Salah satu miniatur Kapal Belanda
Kapal Pinisi




Kecantikan Museum Bahari justru terletak di halamannya menurut saya. Dengan barisan jendela tua yang cukup berat untuk dibuka dan kursi kursi batu yang asyik sebagai tempat untuk bercengkrama. Bagi generasi millenialls, halaman Museum Bahari ini justru berisi spot-spot yang instagramable banget. For photo hunter, you really have to visiting this place.  Bersyukurnya kami, saat kesana tidak dalam keadaan yang crowded.

with Radini














Overall berkunjung ke Museum Bahari agak menyedihkan bagi saya. Karena rasanya sangat jauh tertinggal  oleh Negara tetangga (Malaysia) dengan Museum Samuderanya (baca di sini). Terlebih lagi, kita sebagai negeri kepulauan—yang katanya nenek moyangnya adalah seorang pelaut—masih sangatlah kurang untuk pelestarian dan perawatan Museum Bahari. Mungkinkah karena berada di ujung, jadi kurang terperhatikan? Semoga bukan itu alasannya.

Yang jelas, Museum Bahari ini menyimpan kecantikan yang sunyi. Halamannya entah kenapa menginspirasi untuk menjadi spot gardening wedding yang intimate and private. Okay, untuk yang terakhir abaikan saja.




For once time in your life, take your time to visit Maritime Museum, readers.

Terima kasih sudah membaca

Cost :
Tarif Kopami       : Rp. 5.000 (1x perjalanan)
Ticket Museum    : Rp. 5.000

More photo :
NB : Thanks to my friend, who took a pict for us






































© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis