Museum Bahari tampak dari lantai 2 |
Finally, my small bucketlist has been
checklisted yesterday. That was
Maritime Museum a.k.a Museum Bahari, a
place that I wanna visit for long time ago. Kenapa ingin ke Museum Bahari ?
Simple aja sih, karena letaknya yang
berada di ujung Jakarta jadi semakin penasaran. Ditambah lagi, salah satu web series yang pernah bekerjasama
dengan salah satu browser sempat
mengangkat Museum Bahari sebagai tema dan settingnya.
Dan sisa libur lebaran kemarin menjadi pilihan kami untuk berkunjung ke sana.
Museum
Bahari terletak di Penjaringan, Jakarta Utara, tepatnya di Jl. Pasar Ikan No.1.
Sebagai anak kereta, saya dan teman saya (yang juga anak kereta) memilih commuter line sebagai moda transportasi
kami ke sana. Kami turun di Stasiun Jakarta Kota, kemudian naik kopami 02
(seperti metromini tetapi warnanya biru) dan turun di Museum Bahari. Perjalanan
dari Stasiun Kota Tua menuju Museum Bahari menggunakan Kopami ini sebenarnya
hanya memakan waktu kurang dari 10 menit (tidak termasuk bus yang menunggu
penumpang alias ngetem).
Untuk
sampai ke Museum Bahari, kita harus berjalan sekitar 50 meter dari jalan raya.
Saat kami berkunjung, keadaan Museum sangat sepi. Mungkin karena efek libur
lebaran atau karena hari Jumat sehingga orang-orang shalat Jumat. Anyway, untuk ticketing, Museum Bahari bekerjasama dengan Bank DKI. Menurut saya,
hal ini cukup menunjukkan kemajuan dan bentuk peduli pemda Jakarta terhadap
museum yang ada di Jakarta. Ya, even
bentuk tiketnya jadi sangat nggak menarik sih, kalau dibandingkan dengan tiket
Museum Nasional misalnya.
Museum
Bahari awalnya digunakan sebagai tempat untuk menyimpan rempah-rempah pada
zaman Belanda, lalu pada tahun 1977 diresmikan sebagai Museum Bahari.
Bangunannya terletak 2 lantai dan sudah banyak yang menggunakan mesin pendingin
(air conditioner). Sehingga
pengunjung dapat menikmati sejarah di dalamnya dengan nyaman. Meski di beberapa
lorong belum ada dan juga terdapat perbaikan.
Perjalanan
pertama saya ‘tawaf’ di Museum Bahari disambut oleh lorong berisikan maneken
Pelaut Internasional dari berbagai belahan dunia. Mulai dari Ibn Batuta,
Laksmana Chengho, Cornelis De Houtman hingga Pangeran Fatahilah . Selanjutnya
ada juga lorong legenda laut yang menampilkan maneken beserta infokus yang
berisi penjelasan ceritanya. Diantaranya adalah kisah flying dutchmann, Poseidon, Malin Kundang, Ratu Pantai Selatan (Nyi
Roro Kidul), The Mermaid, Putri Mandalika, dsb.
Ibn Batuta |
Pangeran Fatahilah |
Cornelis de Houtman |
Poseidon |
Beberapa poster zaman penjajahan Jepang |
Sayangnya di lorong legenda laut tersebut, pencahayaannya sangat kurang. Sehingga lorong terlihat menyeramkan (apalagi saat hanya berdua dengan teman saya yang berada di lorong tersebut) sulitnya membaca sejarah tentang legenda tersebut. Di lorong lain, terdapat maneken tentang pelaut wanita. Mulai dari Laksmana Malahayati, hingga Mazu, The Godess of Sea .
Di
lantai dasar, Museum Bahari lebih berisikan kapal-kapal yang digunakan oleh
masyarakat Indonesia dan miniature beberapa kapal, seperti kapal pinisi dan
kapal Belanda.
Kecantikan Museum Bahari justru terletak di halamannya menurut saya. Dengan barisan jendela tua yang cukup berat untuk dibuka dan kursi kursi batu yang asyik sebagai tempat untuk bercengkrama. Bagi generasi millenialls, halaman Museum Bahari ini justru berisi spot-spot yang instagramable banget. For photo hunter, you really have to visiting this place. Bersyukurnya kami, saat kesana tidak dalam keadaan yang crowded.
with Radini |
Yang
jelas, Museum Bahari ini menyimpan kecantikan yang sunyi. Halamannya entah
kenapa menginspirasi untuk menjadi spot
gardening wedding yang intimate and
private. Okay, untuk yang
terakhir abaikan saja.
Terima kasih sudah
membaca
Cost :
Tarif Kopami : Rp. 5.000 (1x perjalanan)
0 comments:
Post a Comment