Mencari Resolusi
by
Fitria Wardani
Jam dinding di kamar bertembok coklat tua itu telah menunjukkan pukul 2
dini hari. Suara kebatan kertas yang disibak keras dan cepat masih mengisi
ruangan. Gadis itu tidak sedang membaca, tetapi mencari. Ia terus mencari sebuah
halaman yang tergambar jelas di dalam kepalanya saat ini. Sebuah halaman yang
menuliskan daftar resolusi tahun 2013 miliknya.
Sembilan buku jilid spiral yang
diklaim sebagai buku hariannya bertebaran di atas meja. Buku-buku harian
tersebut merekam lengkap kehidupannya selama 3 tahun terakhir. Hobinya
melaporkan setiap peristiwa dalam hidupnya—kepada secarik kertas—membuatnya
menghabiskan 3 buku harian dalam setahun.
Setiap tahunnya pula, ia tak pernah lupa untuk menyisipkan daftar
resolusi serta daftar pencapaiannya di akhir tahun. Malam ini adalah minggu
ke-40 di tahun 2013. Tidak ada seorangpun yang memerintahnya untuk menengok
kembali isi daftar resousinya itu, kecuali pikirannya. Ia ingin melihat kembali
daftar resolusinya dan menuliskan beberapa pencapaiannya pada 2013 yang telah
menginjak bulan ke-10 ini.
Tetapi, meski telah berkutik pada 9 buku hariannya selama 2 jam, ia masih
belum menemukannya. Ia terus membuka setiap halaman semakin kencang dan cepat.
Kebatannnya jelas melukiskan kekesalannya atas pencarian yang tak juga ia
temukan. Berulang kali ia merapal sendiri akan keyakinannya menuliskan di
lembar sebelah kanan. Tetapi, ia tak juga menemukannya.
Tiba-tiba matanya menyala dan mulutnya berujar “Adakah seseorang yang
mencuri daftar resolusiku?.” Sinar matanya yang menyala perlahan meredup saat secercah
pemikiran hinggap di dalam logikanya “Seseorang
tidak akan memperoleh manfaat dari daftar resolusimu, jadi tak mungkin jika ada
yang mencurinya.”
Ia terus mencarinya. Terus berkutik pada 9 buku jilid spiral yang jika
bisa bicara mungkin mereka akan mengerang kesakitan karena disibak begitu
keras. Sementara yang jelas ia temui adalah daftar resolusi dan pencapaiannya
di tahun 2012.
Ia lelah dan menyerah. Matanya perlahan tertutup, meski isi kepalanya
masih terus membayangkan sebuah halaman berisi penuh daftar resolusinya untuk
tahun 2013. Bayangan yang begitu jelas, ia hanya lupa menuliskan di buku
hariannya yang mana.
* * *
Ulasan senyum menghias secercah wajah yang asyik dengan kertas di hadapannya.
Tangannya menari setelah diperintahkan oleh kerja otak membuat daftar resolusi
yang ingin ia capai di 2013 nanti. Sesekali ia mencoret atau memperbaiki setiap
poin di dalam daftar resolusinya jika dinilai lebih besar dari kapabilitasnya.
Setelah dirasa cukup, maka ia menempelkan daftar resolusi itu pada sebuah
halaman di buku harian jilid spiralnya itu. Senyumnya kembali merekah. Senyum
yang sama di setiap tahunnya saat ia mengantarkan daftar resolusinya memasuki
gerbang kehidupan di tahun yang baru.
Tetapi, sedetik kemudian matanya yang berbinar meredup. Senyumnya hilang
perlahan saat melihat sebuah halaman berisi pencapaiannya di 2012. Hanya ada
dua poin pencapaian dari 15 daftar resolusi yang telah ia buat. Sementara di
tahun sebelumnya, ada 3 poin pencapaian dari 20 poin daftar resolusi yang ia
buat.
Gadis itu berang. Daftar resolusi yang ia buat tiap tahun tak memuaskan
secara kuantitatif, apalagi kualitatif. Seketika ia muak membuat sebuah
resolusi dan sedetik kemudian merobek sebuah halaman yang baru saja ia
hadirkan.
Robekan sebuah halaman daftar resolusinya untuk tahun 2013 kini telah
menjadi gulungan yang bersarang indah di dalam tong smaapah kecil kamarnya.
“Persetan dengan resolusi,” ujarnya sambil berlalu. Tembok coklat tua
kamarnya menjadi saksi.
End
26 September 2013
00.30 WIB
0 comments:
Post a Comment