December 24, 2010

IMO (Sinema Elektronik)

Astaga kenapa jadi begini ya?
Virus apa sih yang merasuki keluarga gue ?
Mereka jadi kecanduan…mereka jadi korban SINETRON.

Sinema Elektronik yang udah ada dari zaman kapan tau, yang ceritanya berkisar realita kehidupan sehari-hari, lalu kalau ratingnya tinggi akan dibuat berlapis-lapis episode, lalu ceritanya nggak akan habis karena selalu ada pemain baru yang ditambahkan di tengah episode. Iya itulah potret sinetron di era gue yang menginjak dewasa (cailah bahasa gue)

Sinetron yang telah berlapis episode dibuat sequelnya, jilid 2 lah, session ramadhan lah yang ceritanya…gue nggak tahu apa..karena gue nggak pernah nonton sinetron zaman sekarang.

Atau sinetron yang telah berlapis episodenya akhirnya tamat tapi ada sinetron baru yang pemain utamanya tidak lain tidak bukan adalah si pemeran utama sinetron sebelumnya, hanya saja dengan kisah yang berbeda tapi intinya sama, si tokoh itu teraniaya.

Dan yang paling gue benci adalah model cerita yang awalnya si tokoh telah mati karena kecelakaan lalu tiba-tiba di tengah episode si tokoh ternyata belum mati. Bukankah ini nggak mungkin, contoh ya : si A naik mobil yang ternyata di tengah jalan mobilnya meledak karena diletakkan bom di dalamnya. Dalam keadaan seperti itu mungkinkah si A masih hidup? Kan imposibble banget, readers. Kalaupun masih badannya pasti tecerai berai, telinganya copotlah, kakinya patah, perutnya bolong. Tapi untuk sinetron yang pernah gue tahu si A ini hidup, seluruh tubuhnya masih utuh hanya saja si A lupa ingatan.

Ada juga sinetron yang dimana cowoknya itu rela menyelamatkan jepitan Rp. 1000an milik cewek pujaan hatinya, dengan resiko hampir ketiban semen. Ya sodara sodara, apakah ada yang mau melakukan hal yang sama dengan si cowok ini?

Ok, selain itu gue nggak suka dengan pemilihan pemain. Salah satu sinetron favorit bokap gue…Oh My Godness, bokap gue nonton sinetron..sejak kapan Ya Tuhan..gue shock dengan reaksi bokap gue memanggil “Rindu…rindu…mana Rindu? Ganti Rindu, lagi tegang, mau ketauan!” saat gue mengganti channel berita favorit gue.
Iya pemeran yang diidolakan bokap gue itu, kok tampangnya masih kaya anak SMP disuruh jadi pekerja kantoran yang lalu jadi tukang pecel,

Ada lagi….kalo yang ini idola nyokap gue. Tampangnya aja masih anak SMA (dan realitanya emang gitu) tapi perannya membuat dia harus memikirkan beban berat yang ditanggung orang lain dan kesedihan orang lain seolah kesalahannya. Ohhh anehnya readers.

Terus yang paling nggak catching di mata adalah sinetron yang zoom in satu-satu, nggak disorot seluruh badan. Itu membuat gue pusing ngeliatnya.

Dan semua orang di rumah gue…nyokap…bokap…MPC (adek gue yang cewek)…semuuanya begitu terhipnotis dengan sinema elektronik yang ada di 2 channel TV Swasta tersohor di negeri kita ini.

Fiuhhh…BT banget makanya kalau keluar kamar berkisar jam 7-10 malam, gue lebih memilih nonton berita setelah mandi (berkisar jam 5 sore sampe magrib) dan keluar lagi buat nonton acara jam 10 malem sejenis talkshow gitu, sementara jam nonton sinetronnya keluarga gue, gue pake buat dengerin radio di kamar sambil ber-sing a long.


Nggak pernah nonton sinetron kok tahu banyak tapinya ? haha iya, soalnya pas nyokap bokap gue nonton sinetron gue juga ada di situ terkadang, gue nggak nonton melainkan memperhatikan..mengkritik di setiap kejadian yang imposibble.

Dan gue nggak habis pikir dengan keluhan-keluhan yang disampaikan berkaitan dengan sinetron yang ditonton ortu gue itu.
Contoh ya :
Ortu : “Aduh kenapa si A nyamperin si B diakan mau dibunuh padahal. Bodoh banget sih”.
Gue : “Udah tahu bodoh, masih aja ditonton”

Gue nggak habis pikir, yaudahan aja nontonnya menurut gue.

Jadi gue nggak suka nonton sinetron? Lebih tepatnya sinetron zaman sekarang, karena sinetron yang sebenarnya berbalut realita kehisupan justru jadi imposibble dan berlebihan, semuanya seolah hanya mendongkrak popularitas si artis tanpa memperhatikan kualitas aktingnya. Ya meskipun ada beberapa artis yang kualitas aktingnya bagus kok. Selain itu semua tidak lain tidak bukan adalah tujuan komersil tapi padahal sih cerita yang kaya begitu (yang gue jelasin contoh-contohnya) nggak punya nilai jual menurut gue.

Ya tapi begitulah potret kehidupan dalam per-sinetron-an (apa coba), berlapis episode karena banyak ratingnya, banyak ratingnya karena banyak yang nonton, sementara yang nonton pasti menganggap sinetron adalah hiburan bukan menilai dari kualitasnya.
Hiburan, pengalih perhatian dari hiruk pikuk kekacauan yang ada di negeri ini.

Mungkin mereka lelah melihat—yang namanya saja—wakil rakyat, tetapi tidak sepenuhnya mewakili aspirasi rakyat.

Mungkin mereka lelah dengan otoritas sang penguasa yang terus menaikkan harga kebutuhan pokok tanpa melirik lebih jauh kemampuan daya beli si rakyat.

Mungkin mereka lelah dengan kebijakan-kebijakan baru yang dibuat pemerintah yang bagikan anget anget tahi ayam

Atau mungkin mereka lelah melihat sidang yang tak pernah usai terhadap orang yang sudah jelas menelan uang rakyat atau menyebabkan kekacauan dimana-mana.

Mungkin mereka menganggap sinema elektronik lebih baik dari itu semua, sinema elektronik adalah hiburan atas kejenuhan yang ada. Mungkin…entahlah

0 comments:

© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis