Abel,
Kisah Sewindu
Oleh
:
Fitria
Wardani
“Oke,
panggil saja aku Abel kalau begitu,” ujar anak perempuan di hadapanku 5 tahun
lalu.
Senyumnya
hangat dan mencairkan kesedihanku. Saat itu usiaku 12 tahun saat menempati
rumah baru yang berada tepat di sebelah rumah Abel. Aku benci pindah rumah.
Apalagi jika seseorang yang kamu cintai tertinggal. Seseorang yang telah
mengorbankan nyawanya demi kehidupanku. Aku mengurung diri dan tidak
bersosialisasi. Sampai anak perempuan yang periang itu datang dan menjadikan
hariku lebih terang.
Mulai hari itu aku memanggilnya Abel.
Meneriakkan namanya di setiap pagi untuk berangkat sekolah ataupun bermain
layang-layang. Meneriakkan namanya di setiap siang untuk mengerjakan PR
bersama. Meneriakkan namanya di beranda kamar untuk menghitung bintang bersama.
Setiap pagi kumenunggu
di depan pintu
Siapkan senyum terbaik
ku
Agar cerah harimu
Rutinitas
itu sudah berlangsung selama 5 tahun. Tidak pernah terlewatkan satu haripun
bersama Abel. Orang tua Abel juga menyambutku dengan sangat hangat. Keluarga
kami layaknya saudara.
Abel
mengubahku dari seorang anak laki-laki yang diam dan penyendiri menjadi anak
lelaki yang periang dan bersikap blak-blakan. Bagiku Abel berbeda dengan gadis
lain pada umumnya. Abel tidak keberatan diajak naik pohon untuk membuatkan
sarang burung. Abel tidak pernah mengaku lelah mengejar layang-layang putus
bersamaku. Abel yang ikut bermain kelereng denganku. Abel yang mampu
mengalahkanku dalam racing di play station.
Abel
adalah teman segalanya bagiku. Dia selalu hangat saat aku merindukan ibuku yang
tertinggal dan tidak ikut pindah dengan kami. Abel juga selalu meyakinkanku
kalau wanita yang tidur bersama ayahku saat ini juga menyayangiku. Abel adalah
gadis yang berbeda di mataku.
“Sampai
kapan sih mau begini, Bi ? Emang nggak ada yang cocok ? Emang nggak ada yang
sesuai kriteria?,” tanya Abel pada suatu sore setelah aku selesai main basket.
“Apaan
sih Bel ?,” tanyaku sambil menyeka keringat dengan handuk.
“Ini.
Surat dari penggemar kamu. Hari ini udah surat ke-5 lho,” ujar Abel sambil
menyerahkan sebuah amplop pink kepadaku.
Aku
mengambilnya. Menimbang dengan senyum meremehkan.
“Punya
saran nggak Bel?,” tanyaku menyipitkan mata.
Abel
memicingkan matanya seolah berpikir. “Kamu cari pacar aja, Bi. Trus kamu
kenalin ke mereka. Pasti mereka bakalan berhenti ngejar-ngejar kamu. Case closed”
Case closed.
Itulah yang selalu diungkapkan Abel setiap kali selesai menyampaikan saran.
“Nggak
mau ah. Punya pacar itu rempong. Tipikal pacaran anak sekarang itu adalah si
cowok harus beliin bunga setiap mereka anniversarry,
say good morning setiap pagi, bilang have a nice dream sebelum tidur, nulis
nama pacarnya di bio twitter mereka
masing-masing. Kalau ada konflik sedikit langsung update di media sosial supaya si cowok ngemis-ngemis minta maaf.
Pusing ah, Bel. Cewek sekarang banyak nuntut,” cerocosku panjang lebar.
“Wah
nyantai Bi. Nggak perlu sampai keluar api begitu. Anyway, masih normalkan Bi ?
Kok kayanya benci banget sama cewek. Jangan-jangan kamu juga menaruh dendam
sama aku sebagai cewek ?”
“Sial.
Ya masih normal lah aku, Bel. Aku cuma
nggak mau punya hubungan dengan cewek – cewek yang ingin diperlakukan
seperti princess. Semua itu hanya ada
di dongeng. Lagipula cewek yang ingin diperlakukan seperti princess pasti bukan cewek yang tough.
Aku khawatir cewek seperti mereka nggak bisa bertahan bersamaku di kala kesulitan.”
“Oke
itu urusan kamu, Bi. Mau pasang kriteria jodoh yang seperti apa. Yang jelas,
aku capek setiap jalan mau ke kantin pasti dicegat sama fans kamu. Entah mau
nitip surat cinta, nanya hobi kamu, nomor handphone
kamu, warna favorit kamu atau bahkan ukuran boxer
kamu. Nggak masuk logika bangetkan, Bi”
Aku
terpingkal mendengar penjelasan Abel. “Seriusan Bel ? Tapi kamu tahukan harus
jawab apa ?”
“Aku
cukup jawab dengan senyuman, seperti yang kamu bilang.”
“Nah
! By the way, Irsan kirim salam tadi buat
kamu,” ujarku iseng.
“What?
Irsan yang badannya gede dan sering keringatan itu?,” tanya Abel dengan mata
bulatnya yang terbelalak. Dia semakin terlihat lucu.
“Dia
juga minta nomor handphone kamu tuh,”
tambahku lagi santai sambil meneguk sebotol air.
“Kamu
tahu harus jawab apa kan, Bi?,” tanya Abel sambil berdiri. Kami mulai
melangakhkan kaki untuk segera pulang
“Iya
dong. Aku sebutin nomor handphone
kamu. Itukan jawaban yang benar?”
“Haaah
Albiannnn ? Apaan sih? Aku udah bilangkan jangan kasih nomor handphone aku ke siapapun. Awas ya,
nanti aku kasih nomor handphone kamu
ke semua fans kamu. Aku bocorin semua rahasia kamu. Mulai dari pake lotion sebelum tidur, makan cilok pake
nasi, alergi spaghetti, minum susu
pake cuka, takut sama kucing, alergi sama bulu ayam….”
Dan
sepanjang perjalanan pulang, Abel menyebutkan semua kebiasaanku. Aku tersenyum
mendengarnya. Menyadari bahwa Abel mengenal segalanya tentang aku.
to be continued
0 comments:
Post a Comment