February 13, 2014

Abel, Kisah Sewindu



Abel, Kisah Sewindu
Oleh :
Fitria Wardani



“Oke, panggil saja aku Abel kalau begitu,” ujar anak perempuan di hadapanku 5 tahun lalu.
Senyumnya hangat dan mencairkan kesedihanku. Saat itu usiaku 12 tahun saat menempati rumah baru yang berada tepat di sebelah rumah Abel. Aku benci pindah rumah. Apalagi jika seseorang yang kamu cintai tertinggal. Seseorang yang telah mengorbankan nyawanya demi kehidupanku. Aku mengurung diri dan tidak bersosialisasi. Sampai anak perempuan yang periang itu datang dan menjadikan hariku lebih terang.
 Mulai hari itu aku memanggilnya Abel. Meneriakkan namanya di setiap pagi untuk berangkat sekolah ataupun bermain layang-layang. Meneriakkan namanya di setiap siang untuk mengerjakan PR bersama. Meneriakkan namanya di beranda kamar untuk menghitung bintang bersama.


Setiap pagi kumenunggu di depan pintu
Siapkan senyum terbaik ku
Agar cerah harimu

Rutinitas itu sudah berlangsung selama 5 tahun. Tidak pernah terlewatkan satu haripun bersama Abel. Orang tua Abel juga menyambutku dengan sangat hangat. Keluarga kami layaknya saudara.
Abel mengubahku dari seorang anak laki-laki yang diam dan penyendiri menjadi anak lelaki yang periang dan bersikap blak-blakan. Bagiku Abel berbeda dengan gadis lain pada umumnya. Abel tidak keberatan diajak naik pohon untuk membuatkan sarang burung. Abel tidak pernah mengaku lelah mengejar layang-layang putus bersamaku. Abel yang ikut bermain kelereng denganku. Abel yang mampu mengalahkanku dalam racing di play station.
Abel adalah teman segalanya bagiku. Dia selalu hangat saat aku merindukan ibuku yang tertinggal dan tidak ikut pindah dengan kami. Abel juga selalu meyakinkanku kalau wanita yang tidur bersama ayahku saat ini juga menyayangiku. Abel adalah gadis yang berbeda di mataku.
“Sampai kapan sih mau begini, Bi ? Emang nggak ada yang cocok ? Emang nggak ada yang sesuai kriteria?,” tanya Abel pada suatu sore setelah aku selesai main basket.
“Apaan sih Bel ?,” tanyaku sambil menyeka keringat dengan handuk.
“Ini. Surat dari penggemar kamu. Hari ini udah surat ke-5 lho,” ujar Abel sambil menyerahkan sebuah amplop pink kepadaku.
Aku mengambilnya. Menimbang dengan senyum meremehkan.
“Punya saran nggak Bel?,” tanyaku menyipitkan mata.
Abel memicingkan matanya seolah berpikir. “Kamu cari pacar aja, Bi. Trus kamu kenalin ke mereka. Pasti mereka bakalan berhenti ngejar-ngejar kamu. Case closed
Case closed. Itulah yang selalu diungkapkan Abel setiap kali selesai menyampaikan saran.
“Nggak mau ah. Punya pacar itu rempong. Tipikal pacaran anak sekarang itu adalah si cowok harus beliin bunga setiap mereka anniversarry, say good morning setiap pagi, bilang have a nice dream sebelum tidur, nulis nama pacarnya di bio twitter mereka masing-masing. Kalau ada konflik sedikit langsung update di media sosial supaya si cowok ngemis-ngemis minta maaf. Pusing ah, Bel. Cewek sekarang banyak nuntut,” cerocosku panjang lebar.
“Wah nyantai Bi. Nggak perlu sampai keluar api begitu. Anyway, masih normalkan Bi  ? Kok kayanya benci banget sama cewek. Jangan-jangan kamu juga menaruh dendam sama aku sebagai cewek ?”
“Sial. Ya masih normal lah aku, Bel. Aku cuma  nggak mau punya hubungan dengan cewek – cewek yang ingin diperlakukan seperti princess. Semua itu hanya ada di dongeng. Lagipula cewek yang ingin diperlakukan seperti princess pasti bukan cewek yang tough. Aku khawatir cewek seperti mereka nggak bisa bertahan bersamaku di kala kesulitan.”
“Oke itu urusan kamu, Bi. Mau pasang kriteria jodoh yang seperti apa. Yang jelas, aku capek setiap jalan mau ke kantin pasti dicegat sama fans kamu. Entah mau nitip surat cinta, nanya hobi kamu, nomor handphone kamu, warna favorit kamu atau bahkan ukuran boxer kamu. Nggak masuk logika bangetkan, Bi”
Aku terpingkal mendengar penjelasan Abel. “Seriusan Bel ? Tapi kamu tahukan harus jawab apa ?”
“Aku cukup jawab dengan senyuman, seperti yang kamu bilang.”
“Nah ! By the way, Irsan kirim salam tadi buat kamu,” ujarku iseng.
What? Irsan yang badannya gede dan sering keringatan itu?,” tanya Abel dengan mata bulatnya yang terbelalak. Dia semakin terlihat lucu.
“Dia juga minta nomor handphone kamu tuh,” tambahku lagi santai sambil meneguk sebotol air.
“Kamu tahu harus jawab apa kan, Bi?,” tanya Abel sambil berdiri. Kami mulai melangakhkan kaki untuk segera pulang
“Iya dong. Aku sebutin nomor handphone kamu. Itukan jawaban yang benar?”
“Haaah Albiannnn ? Apaan sih? Aku udah bilangkan jangan kasih nomor handphone aku ke siapapun. Awas ya, nanti aku kasih nomor handphone kamu ke semua fans kamu. Aku bocorin semua rahasia kamu. Mulai dari pake lotion sebelum tidur, makan cilok pake nasi, alergi spaghetti, minum susu pake cuka, takut sama kucing, alergi sama bulu ayam….”
Dan sepanjang perjalanan pulang, Abel menyebutkan semua kebiasaanku. Aku tersenyum mendengarnya. Menyadari bahwa Abel mengenal segalanya tentang aku.


to be continued

0 comments:

© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis