cerita sebelumnya
Sudah sewindu ku di
dekatmu
Ada di setiap pagi
Di sepanjang harimu
Waktu
terus bergulir dan mengantarkan kami menginjakkan kaki pada dunia kampus. Aku
dan Abel kembali kuliah di kampus yang sama, hanya jurusannya yang berbeda. Aku
memilih Desain sementara Abel meneruskan di hubungan internasional. Semuanya
masih berlangsung seperti tahun-tahun sebelumnya. Kebersamaan kami masih
terjalin erat hingga pada tahun ke-3 kami duduk di bangku kuliah, aku menyadari semua
perlahan berubah.
“Abeeel…Abeeel,”
panggilku dari beranda kamar pada Minggu malam.
“Kenapa
Bi?,” tanya Abel yang keluar dari peraduannya dengan buku tebal di tangan.
“Main
PS yuk,” ajakku sambil mengerlingkan mata.
“Sorry
Bi, aku lagi baca buku tentang Khmer Merah. Lain kali aja atau kamu ajak orang
lain aja,” jelas Abel ketus sambil berlalu menuju kamarnya. Menutup jendela
kaca dan tirainya.
Itu
adalah penolakan pertama Abel kepadaku. Sekaligus gerbang penolakan-penolakan
selanjutnya. Sejak itu aku menyadari kalau semuanya tak lagi sama.
“Abeeeel…Abeeel,”
teriakku pada Minggu pagi di depan rumahnya.
“Udah
jadi mahasiswa masih aja teriak-teriak mirip anak kecil,” balas seorang lelaki
yang tiba-tiba muncul dari garasi. Bang Andri, kakak lelaki Abel. Dia
sebenarnya ramah kepada semua orang, terkecuali padaku.
“Udah
kebiasaan bang. Abel belum bangun, Bang ?,“ tanyaku menyadari ada yang berbeda.
Biasanya Abel telah siap dengan celana trainingnya
untuk jogging pagi di sekitaran
kompleks bersamaku.
“Coba aja lihat ke kamarnya,” ujar Bang Andri
singkat.
Aku
mengikuti saran Bang Andri. Ini bukan pertama kali aku masuk ke kamar Abel.
Setiap dia sakit, aku selalu mondar-mandir ke kamarnya untuk mengantarkan
bubur, obat atau apapun yang Abel butuhkan. Kalau Abel belum bangun, mungkinkah
ia sakit ?
“Bel,
kok masih tidur ? Udah pagi nih. Ayo jogging,”
bujukku sambl menggoyangkan badan Abel.
“Aku
libur dulu deh hari ini, Bi. masih ngantuk. Semalam tidur jam 3,” jelas Abel
dengan mata terpejam.
“Haah
tidur jam 3 ? Abis darimana emangnya?”
“Nggak
dari mana-mana kok. Cuma baru selesai telpon jam 3, Bi. Kamu jogging sendiri aja ya hari ini,” jelas
Abel dengan suara yang berat dan mata terpejam.
Sejak
saat itu aku seakan tak lagi mengenali Abel atau memang aku belum mengenal Abel
yang sesungguhnya. Hingga beberapa bulan kemudian, semua menjadi terang
perlahan. Saat Abel mengenalkanku pada segalanya.
“Albiaaan,”
panggil sebuah suara yang sudah sangat akrab di telingaku.
Tanganku
yang tadinya sedang membuka pagar rumah terhenti dan mengarahkan pandangan pada
sumber suara. Mataku tertuju pada Ford
XLT hitam yang kini terparkir di depan rumahku. Sumber suara berasal dari
seorang gadis yang ada di dalam mobil. Abel.
“Darimana
Bi ?,” tanya Abel begitu keluar dari mobil. Seorang pria juga keluar dari kursi
pengendara kemudian pergi ke belakang mobil.
“Siapa,
Bel?,” tanyaku sambil menunjuk pria itu dengan dagu.
“Itu
Radit, Bi. kita habis sepedaan santai di Senayan”
“Sejak
kapan?, tanyaku kosong”
Abel
menatapku dengan raut wajah bertanya. Sementara mataku mengikuti setiap langkah
pria metroseksual yang kini hadir diantara kami dengan sepeda di tangan.
“Makasih
ya, Dit. Ohiya, kenalkan ini Albi. Albi, ini Radit.”
Sesaat dia datang
pesona bagai pangeran
Dan beri kau harapan
bualan cinta dan masa depan
Kami
berjabat tangan keras, sekeras perasaan kami kepada Abel. Lewat mataya, aku
tahu kalau Radit menaruh perasaan kepada Abel. Belakangan aku baru tahu kalau
Radit adalah asisten dosen pada salah satu mata kuliah yang diambil Abel. Jelas
saja pemampilannya necis. Radit sering datang membawa seikat mawar dan mengajak
Abel kencan di Sabtu malam. Radit selalu mengenakan kemeja yang lengannya
digulung setengah. Radit telah menggagalkan ritual menghitung bintang antara
aku dan Abel. Radit jugalah yang kini menjadi orang pertama yang melihat senyum
hangat Abel di setiap paginya.
Aku
sendiri tidak menegetahui hubungan jenis apa yang terjalin antara keduanya.
Abel tidak pernah menceritakan apapun. Lebih tepatnya intensitas pertemuan kami
semakin berkurang.
Dan kau lupakan aku
semua usahaku semua pagi kita semua malam kita
Sampai kabar mengejutkan itu datang melalui
ibu tiriku, bukan dari Abel. Tentu saja aku merasa kecewa dan ingin sekali
meneriaki Abel. Syukurlah malam itu aku menemukannya di beranda kamarnya. Abel
sedang memeluk secangkir the.
“Punya
kabar gembira kok disimpan sendiri sih? Lupa kalau punya tetangga ya?,”
bukaku sambil merapatkan diri ke beranda
kamarku.
Abel
melempar pandangan dan senyumnya ke arahku. Dia bergeser dan mendekat ke ujung
beranda kamarnya. “Kamu sudah dengar?”
“Kamu
sudah yakin dengan keputusanmu? Lagipula kamu masih kuliah. Kenapa nggak tunggu
sampai lulus dulu?,” tanyaku berusaha menahannya. Jika ia mengerti.
“Aku
tinggal skripsi aja kok, Bi. Bulan depan datang ya,” ujar Abel sambil berniat
berlalu.
“Kenapa
nggak tunangan dulu ? Kenapa langsung menikah, Bel? Kenapa bulan depan?,”
tanyaku bertubi tubi menghentikan langkahnya. Abel menoleh sambil tersenyum.
“Aku
dan Radit sudah memikirkan ini semua sejak lama, Bi. kami juga minta saran dari
keluarga kok”
“Bel,
kamu masih ingat dengan mimpi kita saat ulang tahun kamu ke-17 kan?,” tanyaku
untuk kembali menghentikan langkah Abel ke sekian kalinya.
“Ayo
kita keliling Indonesia sebelum kamu married,
Bel. Aku yakin kita hanya butuh waktu 1 atau 2 minggu,” pintaku bodoh.
Abel
tertawa kecil lalu menggeleng. “Aku harus mempersiapkan pernikahanku sama
Radit, Bi. Maaf, tapi aku nggak bisa mewujudkan mimpi kita itu”
Abel
kembali melangkahkan kakinya menuju kamar tapi secepat mungkin aku menghentikannya.
“Abeel,”
teriakku. Abel berhenti dan menengok.
“Ada
yang bisa aku bantu untuk mempersiapkan pernikahanmu? Mungkin aku bisa
menemanimu mencari gaun pengantin, catering, mencetak undangan atau mengirimkan
undangan ke teman-teman kita. Selama ini kita satu sekolah. Aku yakin kalau aku
lebih hafal nama-nama teman kita dibandingkan kamu. Bagaimana?”
tak akan lagi
kumenunggumu di depan
pintu
dan.. Tak ada lagi
tutur manis merayumu
to be continued
0 comments:
Post a Comment