February 20, 2014

Abel, Kisah Sewindu #3


cerita sebelumnya



Sudah sewindu ku di dekatmu
Ada di setiap pagi
Di sepanjang harimu

Waktu terus bergulir dan mengantarkan kami menginjakkan kaki pada dunia kampus. Aku dan Abel kembali kuliah di kampus yang sama, hanya jurusannya yang berbeda. Aku memilih Desain sementara Abel meneruskan di hubungan internasional. Semuanya masih berlangsung seperti tahun-tahun sebelumnya. Kebersamaan kami masih terjalin erat hingga pada tahun ke-3 kami  duduk di bangku kuliah, aku menyadari semua perlahan berubah.

“Abeeel…Abeeel,” panggilku dari beranda kamar pada Minggu malam.
“Kenapa Bi?,” tanya Abel yang keluar dari peraduannya dengan buku tebal di tangan.
“Main PS yuk,” ajakku sambil mengerlingkan mata.

“Sorry Bi, aku lagi baca buku tentang Khmer Merah. Lain kali aja atau kamu ajak orang lain aja,” jelas Abel ketus sambil berlalu menuju kamarnya. Menutup jendela kaca dan tirainya.

Itu adalah penolakan pertama Abel kepadaku. Sekaligus gerbang penolakan-penolakan selanjutnya. Sejak itu aku menyadari kalau semuanya tak lagi sama.

“Abeeeel…Abeeel,” teriakku pada Minggu pagi di depan rumahnya.
“Udah jadi mahasiswa masih aja teriak-teriak mirip anak kecil,” balas seorang lelaki yang tiba-tiba muncul dari garasi. Bang Andri, kakak lelaki Abel. Dia sebenarnya ramah kepada semua orang, terkecuali padaku.

“Udah kebiasaan bang. Abel belum bangun, Bang ?,“ tanyaku menyadari ada yang berbeda. Biasanya Abel telah siap dengan celana trainingnya untuk jogging pagi di sekitaran kompleks bersamaku.

 “Coba aja lihat ke kamarnya,” ujar Bang Andri singkat.

Aku mengikuti saran Bang Andri. Ini bukan pertama kali aku masuk ke kamar Abel. Setiap dia sakit, aku selalu mondar-mandir ke kamarnya untuk mengantarkan bubur, obat atau apapun yang Abel butuhkan. Kalau Abel belum bangun, mungkinkah ia sakit ?

“Bel, kok masih tidur ? Udah pagi nih. Ayo jogging,” bujukku sambl menggoyangkan badan Abel.
“Aku libur dulu deh hari ini, Bi. masih ngantuk. Semalam tidur jam 3,” jelas Abel dengan mata terpejam.
“Haah tidur jam 3 ? Abis darimana emangnya?”
“Nggak dari mana-mana kok. Cuma baru selesai telpon jam 3, Bi. Kamu jogging sendiri aja ya hari ini,” jelas Abel dengan suara yang berat dan mata terpejam.

Sejak saat itu aku seakan tak lagi mengenali Abel atau memang aku belum mengenal Abel yang sesungguhnya. Hingga beberapa bulan kemudian, semua menjadi terang perlahan. Saat Abel mengenalkanku pada segalanya.

“Albiaaan,” panggil sebuah suara yang sudah sangat akrab di telingaku.

Tanganku yang tadinya sedang membuka pagar rumah terhenti dan mengarahkan pandangan pada sumber suara. Mataku tertuju pada Ford XLT hitam yang kini terparkir di depan rumahku. Sumber suara berasal dari seorang gadis yang ada di dalam mobil. Abel.

“Darimana Bi ?,” tanya Abel begitu keluar dari mobil. Seorang pria juga keluar dari kursi pengendara kemudian pergi ke belakang mobil.

“Siapa, Bel?,” tanyaku sambil menunjuk pria itu dengan dagu.
“Itu Radit, Bi. kita habis sepedaan santai di Senayan”
“Sejak kapan?, tanyaku kosong”

Abel menatapku dengan raut wajah bertanya. Sementara mataku mengikuti setiap langkah pria metroseksual yang kini hadir diantara kami dengan sepeda di tangan.

“Makasih ya, Dit. Ohiya, kenalkan ini Albi. Albi, ini Radit.”

Sesaat dia datang pesona bagai pangeran
Dan beri kau harapan bualan cinta dan masa depan

Kami berjabat tangan keras, sekeras perasaan kami kepada Abel. Lewat mataya, aku tahu kalau Radit menaruh perasaan kepada Abel. Belakangan aku baru tahu kalau Radit adalah asisten dosen pada salah satu mata kuliah yang diambil Abel. Jelas saja pemampilannya necis. Radit sering datang membawa seikat mawar dan mengajak Abel kencan di Sabtu malam. Radit selalu mengenakan kemeja yang lengannya digulung setengah. Radit telah menggagalkan ritual menghitung bintang antara aku dan Abel. Radit jugalah yang kini menjadi orang pertama yang melihat senyum hangat Abel di setiap paginya.

Aku sendiri tidak menegetahui hubungan jenis apa yang terjalin antara keduanya. Abel tidak pernah menceritakan apapun. Lebih tepatnya intensitas pertemuan kami semakin berkurang.

Dan kau lupakan aku semua usahaku semua pagi kita semua malam kita

 Sampai kabar mengejutkan itu datang melalui ibu tiriku, bukan dari Abel. Tentu saja aku merasa kecewa dan ingin sekali meneriaki Abel. Syukurlah malam itu aku menemukannya di beranda kamarnya. Abel sedang memeluk secangkir the.

“Punya kabar gembira kok disimpan sendiri sih? Lupa kalau punya tetangga ya?,” bukaku  sambil merapatkan diri ke beranda kamarku.

Abel melempar pandangan dan senyumnya ke arahku. Dia bergeser dan mendekat ke ujung beranda kamarnya. “Kamu sudah dengar?”

“Kamu sudah yakin dengan keputusanmu? Lagipula kamu masih kuliah. Kenapa nggak tunggu sampai lulus dulu?,” tanyaku berusaha menahannya. Jika ia mengerti.

“Aku tinggal skripsi aja kok, Bi. Bulan depan datang ya,” ujar Abel sambil berniat berlalu.

“Kenapa nggak tunangan dulu ? Kenapa langsung menikah, Bel? Kenapa bulan depan?,” tanyaku bertubi tubi menghentikan langkahnya. Abel menoleh sambil tersenyum.

“Aku dan Radit sudah memikirkan ini semua sejak lama, Bi. kami juga minta saran dari keluarga kok”

“Bel, kamu masih ingat dengan mimpi kita saat ulang tahun kamu ke-17 kan?,” tanyaku untuk kembali menghentikan langkah Abel ke sekian kalinya.

“Ayo kita keliling Indonesia sebelum kamu married, Bel. Aku yakin kita hanya butuh waktu 1 atau 2 minggu,” pintaku bodoh.

Abel tertawa kecil lalu menggeleng. “Aku harus mempersiapkan pernikahanku sama Radit, Bi. Maaf, tapi aku nggak bisa mewujudkan mimpi kita itu”

Abel kembali melangkahkan kakinya menuju kamar tapi secepat mungkin aku menghentikannya.

“Abeel,” teriakku. Abel berhenti dan menengok.
“Ada yang bisa aku bantu untuk mempersiapkan pernikahanmu? Mungkin aku bisa menemanimu mencari gaun pengantin, catering, mencetak undangan atau mengirimkan undangan ke teman-teman kita. Selama ini kita satu sekolah. Aku yakin kalau aku lebih hafal nama-nama teman kita dibandingkan kamu. Bagaimana?”

tak akan lagi
kumenunggumu di depan pintu
dan.. Tak ada lagi tutur manis merayumu



to be continued

0 comments:

© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis