February 20, 2014

Abel, Kisah Sewindu #2


cerita sebelumnya
 
“Pulang sekolah. Di belakang green house. Jangan sampai telat. Kalau telat, nanti ada tulang kamu yang patah,” buka Abel tiba-tiba sambil meletakkan sebatang coklat di hadapanku.

Aku hampir saja tersedak saat sedang makan siomay di kantin. Tapi kemudian menyadari apa maksud pembicaraan Abel begitu melihat sebatang coklat di tangannya.

“Kali ini siapa? Tumben berani ketemu langsung?,” tanyaku sambil menyuapkan kentang ke mulut.

Abel yang masih memilih berdiri di hadapanku memasang wajah yang tidak biasa. Ada secercah kemasaman di wajahnya yang selalu terpasang ceria.

“Amanda Kartika. Ketua ekskul karate. Udah, aku mau ke kelas,” pamitnya ketus.

“Bel, tunggu,” panggilku menghentikan langkah Abel yang terlihat kesal. Aku memberikan sebatang coklat yang tadi ia bawa. “Selamat ulang tahun,” ujarku singkat sambil tersenyum.

Abel mengambil coklat itu dengan kasar. “Thanks, Bi.” Kemudian berlalu. Hanya PMS yang membuatnya begitu. Dan aku mencoba mengerti sambil kembali menikmati sepiring siomay yang masih tersaji.
* * *
“Abeeel. Abeeel,” aku memanggil Abel melalui beranda kamarku. Biasanya Abel akan keluar dari kamarnya dan kami akan menghitung bintang bersama.

“Kenapa Bi? Mau cerita kalau kamu abis jadian ya? Jangan lupa traktiran. Secara nggak langsung aku mak comblang kalian lho,” tanya Abel sinis begitu keluar dari peraduannya.

“Idihh siapa yang jadian?”

“Kamu nolak Manda? Diakan bukan cewek tipikal ala princess yang menye-menye. Kenapa ditolak?,” tanya Abel dengan nada kecewa dan kebencian bertubi tubi kepadaku.

“Aku nggak ke green house tadi.”

Hening. “Aku butuh bantuan kamu nih, Bel. Tadi siang ada paket datang buatku. Tapi, aku nggak bisa buka. Kamu kan punya tenaga dalam yang luar biasa. Tolong bantu buka ya”

“Mana paketnya? Cowok macam apa sih kamu Bi. masa buka paket aja nggak bisa. Sini paketnya, serahkan pada Abel yang serba bisa,” jelas Abel sambil menggulung lengan piyamanya.

Aku berhati hati melompat ke beranda kamar Abel yang berjarak cukup dekat dengan beranda kamarku. Ini bukan kali pertama aku melakukannya. Abel juga sering melakukan hal yang sama, yaitu melompat ke beranda kamarku.

Aku meletakkan sebuah kotak berukuran 20 x 20 cm yang berada di genggamanku. Kotak itu terlilit lakban begitu rekat.

“Ini sepertinya mudah, Bi. masa sih kamu nggak bisa buka?,” tanya Abel sambil mulai mencari ujung lakban perekat. Setelah menemukannya, Abel membukanya perlahan dengan tersenyum bangga.

“Nah, bisakan. Ini hal mudah. Payah kamu, Bi nggak bisa buka,” ujar Abel sambil menatapkan mata mencemoohnya kepadaku. Hingga saat matanya kembali pada isi paket itu, maka ia menjerit histeris. Seperti yang telah kuprediksi.

“Albiaaan. Ini apa? Kamu kok….”

Abel menangkupkan kedua tangannya menutupi mulutnya. Beberapa detik yang akan datang, matanya pasti akan berkaca-kaca. Aku berani menjamin.

Tidak ada suara. Abel terisak. Sekarang, aku yang membantu meneruskan mengeluarkan isi paket yang membuat Abel terkejut tadi. “Happy birthday Abel. Happy birthday Abel,” nyanyiku.

“Udah 17 tahun masih aja cengeng,” ujarku sambil menyalakan korek yang kukantongi sejak tadi. Aku memberikan api pada lilin berangka 17 yang tersemat di atas kue.

“Siapa yang nggak terharu dibibuatin surprise seperti ini?,” balas Abel cemberut.

“Ini bukan surprise. Ini pembuktian tenaga dalam”

“Apalah itu pokoknya ini menyentuh perasaanku yang paling dalam tahu, Bi”

“Udah jangan berlebihan. Ambil pisau sana. Laper nih. Ada teman yang ulang tahun tapi nggak ditraktir seharian ini”

Abel hanya mendorong pipiku pertanda kesal kemudian turun menuju dapur. Tak berapa lama Abel kembali dengan sebilah pisau, 2 piring mungil dan 2 minuman kaleng.

“Kenapa kamu nggak datang ke green house tadi?,” tanya Abel pada suapan pertama kue yang kumakan.

“Amanda juga pasti cewek tipikal. Buktinya dia ngasih cokelat. Nggak bedakan sama fans-fans aku yang sebelumnya. Dia pasti cewek ala princess juga,” jelasku santai sambil makan kue lezat yang kubeli dari uang tabunganku.

“Kalau begini terus, kapan punya pacarnya,” gerutu Abel. Ada nafas kelelahan  yang dihembuskan olehnya.

“Datang atau nggaknya aku green house hari ini nggak jadi masalahkan buat kamu, Bel ? Kenapa kamu peduli?”

“Tentu saja aku peduli, Bi. Amanda pasti nunggu kamu di green house tapi kamu justru nggak datang. Amanda bisa aja mengira kalau aku nggak menyampaikan pesannya ke kamu. Terus gimana kalau besok ternyata tulang aku bakal dipatahin sama Ratu Karate sekolah kita?”

“Sudahlah, nggak perlu khawatir. Tadi aku udah ketemu Amanda, tapi bukan di green house. Udah jangan dibahas lagi. Aku males.”

Abel menatapku kosong tanpa bicara. “Bel, kamu kan belum make a wish ?,”

“Astaga. Benar. Aku belum make a wish dan kue ini udah dipotong. Semua gara-gara kamu, Bi,” gerutu Abel sambil memasang wajah jutek.

“Memangnya kalau mau make a wish harus sebelum kue ulang tahunnya dipotong? Memangnya itu waktu yang paling mustajab ? Memangnya…wish kamu apaan Bel di sweet seventeen ini ?,” tanyaku.

Abel meletakkan piring kuenya dan berdiri menuju beranda. Matanya tertuju pada bintang-bintang yang menghias langit malam ini. Aku mengikuti langkah Abel.

“Kalau wish kamu buat aku, apa Bi ?,” tanya Abel ketika aku menyejajarkan posisiku dengannya.

“Aku berharap bisa keliling Eropa sama kamu”

“Itu wish  buat aku atau kamu yang berharap ?,” tanya Abel dengan alis terangkat sebelah.

 “Dua duanya, mungkin”

“Kenapa Eropa ? Aku mau keliling Indonesia dulu. Mau lihat seluruh Indonesia sampai ke pelosok.”

“Kenapa Eropa ? Supaya keren aja sih. Seperti di film-film. Tapi kalau kamu mau keliling Indonesia, nggak masalah buatku. Kemanapun perginya, asalkan sama kamu, its okay aja aku Bel.”

“Janji ya, kita bakalan keliling Indonesia bersama ?,” tanya Abel sambil mengarahkan telunjuknya ke arahku.

Aku hampir menyambutnya dengan jari kelingkingku tapi kemudian Abel menariknya kembali. Tubuhnya juga kembali di hadapkan ke arah langit.

“Ohya, beberapa hari ini ada nomor nggak dikenal yang sering sms aku. Ini semua pasti ulah kamu yang ngasih nomor handphone aku ke Irsan,”

Aku terperanjat dengan ucapan Abel. Benarkah itu Irsan? Soal Irsan, kapten basket sekolah yang meminta nomor handphone Abel kepadaku memang benar. Tetapi, tentu saja aku tidak memberikannya. Lalu mungkinkah Irsan mencari nomor handphone Abel dengan sendirinya. Hal itu mungkin saja terjadi, mengingat Abel yang merupakan kapten cheerleaders di sekolah kami.

Bukan rahasia umum kalau Abel menjadi idola di kalangan pria di sekolah. Sama halnya denganku, Abel juga sering mendapatkan ajakan kencan dari fansnya. Tapi, entah mengapa tak ada satupun yang diterimanya. Abel juga tidak pernah menceritakan apapun soal fansnya itu.  Abel menyimpannya sendiri.

to be continued

0 comments:

© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis