“Pulang
sekolah. Di belakang green house. Jangan
sampai telat. Kalau telat, nanti ada tulang kamu yang patah,” buka Abel
tiba-tiba sambil meletakkan sebatang coklat di hadapanku.
Aku
hampir saja tersedak saat sedang makan siomay di kantin. Tapi kemudian
menyadari apa maksud pembicaraan Abel begitu melihat sebatang coklat di
tangannya.
“Kali
ini siapa? Tumben berani ketemu langsung?,” tanyaku sambil menyuapkan kentang
ke mulut.
Abel
yang masih memilih berdiri di hadapanku memasang wajah yang tidak biasa. Ada
secercah kemasaman di wajahnya yang selalu terpasang ceria.
“Amanda
Kartika. Ketua ekskul karate. Udah, aku mau ke kelas,” pamitnya ketus.
“Bel,
tunggu,” panggilku menghentikan langkah Abel yang terlihat kesal. Aku
memberikan sebatang coklat yang tadi ia bawa. “Selamat ulang tahun,” ujarku
singkat sambil tersenyum.
Abel
mengambil coklat itu dengan kasar. “Thanks, Bi.” Kemudian berlalu. Hanya PMS
yang membuatnya begitu. Dan aku mencoba mengerti sambil kembali menikmati
sepiring siomay yang masih tersaji.
* * *
“Abeeel.
Abeeel,” aku memanggil Abel melalui beranda kamarku. Biasanya Abel akan keluar
dari kamarnya dan kami akan menghitung bintang bersama.
“Kenapa
Bi? Mau cerita kalau kamu abis jadian ya? Jangan lupa traktiran. Secara nggak
langsung aku mak comblang kalian lho,” tanya Abel sinis begitu keluar dari
peraduannya.
“Idihh
siapa yang jadian?”
“Kamu
nolak Manda? Diakan bukan cewek tipikal ala princess
yang menye-menye. Kenapa ditolak?,”
tanya Abel dengan nada kecewa dan kebencian bertubi tubi kepadaku.
“Aku
nggak ke green house tadi.”
Hening.
“Aku butuh bantuan kamu nih, Bel. Tadi siang ada paket datang buatku. Tapi, aku
nggak bisa buka. Kamu kan punya tenaga dalam yang luar biasa. Tolong bantu buka
ya”
“Mana
paketnya? Cowok macam apa sih kamu Bi. masa buka paket aja nggak bisa. Sini
paketnya, serahkan pada Abel yang serba bisa,” jelas Abel sambil menggulung
lengan piyamanya.
Aku
berhati hati melompat ke beranda kamar Abel yang berjarak cukup dekat dengan
beranda kamarku. Ini bukan kali pertama aku melakukannya. Abel juga sering
melakukan hal yang sama, yaitu melompat ke beranda kamarku.
Aku
meletakkan sebuah kotak berukuran 20 x 20 cm yang berada di genggamanku. Kotak
itu terlilit lakban begitu rekat.
“Ini
sepertinya mudah, Bi. masa sih kamu nggak bisa buka?,” tanya Abel sambil mulai
mencari ujung lakban perekat. Setelah menemukannya, Abel membukanya perlahan
dengan tersenyum bangga.
“Nah,
bisakan. Ini hal mudah. Payah kamu, Bi nggak bisa buka,” ujar Abel sambil
menatapkan mata mencemoohnya kepadaku. Hingga saat matanya kembali pada isi
paket itu, maka ia menjerit histeris. Seperti yang telah kuprediksi.
“Albiaaan.
Ini apa? Kamu kok….”
Abel
menangkupkan kedua tangannya menutupi mulutnya. Beberapa detik yang akan
datang, matanya pasti akan berkaca-kaca. Aku berani menjamin.
Tidak
ada suara. Abel terisak. Sekarang, aku yang membantu meneruskan mengeluarkan
isi paket yang membuat Abel terkejut tadi. “Happy birthday Abel. Happy birthday
Abel,” nyanyiku.
“Udah
17 tahun masih aja cengeng,” ujarku sambil menyalakan korek yang kukantongi sejak
tadi. Aku memberikan api pada lilin berangka 17 yang tersemat di atas kue.
“Siapa
yang nggak terharu dibibuatin surprise seperti ini?,” balas Abel cemberut.
“Ini
bukan surprise. Ini pembuktian tenaga dalam”
“Apalah
itu pokoknya ini menyentuh perasaanku yang paling dalam tahu, Bi”
“Udah
jangan berlebihan. Ambil pisau sana. Laper nih. Ada teman yang ulang tahun tapi
nggak ditraktir seharian ini”
Abel
hanya mendorong pipiku pertanda kesal kemudian turun menuju dapur. Tak berapa
lama Abel kembali dengan sebilah pisau, 2 piring mungil dan 2 minuman kaleng.
“Kenapa
kamu nggak datang ke green house
tadi?,” tanya Abel pada suapan pertama kue yang kumakan.
“Amanda
juga pasti cewek tipikal. Buktinya dia ngasih cokelat. Nggak bedakan sama
fans-fans aku yang sebelumnya. Dia pasti cewek ala princess juga,” jelasku santai sambil makan kue lezat yang kubeli
dari uang tabunganku.
“Kalau
begini terus, kapan punya pacarnya,” gerutu Abel. Ada nafas kelelahan yang dihembuskan olehnya.
“Datang
atau nggaknya aku green house hari
ini nggak jadi masalahkan buat kamu, Bel ? Kenapa kamu peduli?”
“Tentu
saja aku peduli, Bi. Amanda pasti nunggu kamu di green house tapi kamu justru nggak datang. Amanda bisa aja mengira
kalau aku nggak menyampaikan pesannya ke kamu. Terus gimana kalau besok
ternyata tulang aku bakal dipatahin sama Ratu Karate sekolah kita?”
“Sudahlah,
nggak perlu khawatir. Tadi aku udah ketemu Amanda, tapi bukan di green house. Udah jangan dibahas lagi.
Aku males.”
Abel
menatapku kosong tanpa bicara. “Bel, kamu kan belum make a wish ?,”
“Astaga.
Benar. Aku belum make a wish dan kue
ini udah dipotong. Semua gara-gara kamu, Bi,” gerutu Abel sambil memasang wajah
jutek.
“Memangnya
kalau mau make a wish harus sebelum
kue ulang tahunnya dipotong? Memangnya itu waktu yang paling mustajab ?
Memangnya…wish kamu apaan Bel di sweet seventeen ini ?,” tanyaku.
Abel
meletakkan piring kuenya dan berdiri menuju beranda. Matanya tertuju pada
bintang-bintang yang menghias langit malam ini. Aku mengikuti langkah Abel.
“Kalau
wish kamu buat aku, apa Bi ?,” tanya
Abel ketika aku menyejajarkan posisiku dengannya.
“Aku
berharap bisa keliling Eropa sama kamu”
“Itu
wish buat aku atau kamu yang berharap ?,” tanya
Abel dengan alis terangkat sebelah.
“Dua duanya, mungkin”
“Kenapa
Eropa ? Aku mau keliling Indonesia dulu. Mau lihat seluruh Indonesia sampai ke
pelosok.”
“Kenapa
Eropa ? Supaya keren aja sih. Seperti di film-film. Tapi kalau kamu mau
keliling Indonesia, nggak masalah buatku. Kemanapun perginya, asalkan sama
kamu, its okay aja aku Bel.”
“Janji
ya, kita bakalan keliling Indonesia bersama ?,” tanya Abel sambil mengarahkan
telunjuknya ke arahku.
Aku
hampir menyambutnya dengan jari kelingkingku tapi kemudian Abel menariknya
kembali. Tubuhnya juga kembali di hadapkan ke arah langit.
“Ohya,
beberapa hari ini ada nomor nggak dikenal yang sering sms aku. Ini semua pasti
ulah kamu yang ngasih nomor handphone
aku ke Irsan,”
Aku
terperanjat dengan ucapan Abel. Benarkah itu Irsan? Soal Irsan, kapten basket
sekolah yang meminta nomor handphone
Abel kepadaku memang benar. Tetapi, tentu saja aku tidak memberikannya. Lalu
mungkinkah Irsan mencari nomor handphone
Abel dengan sendirinya. Hal itu mungkin saja terjadi, mengingat Abel yang
merupakan kapten cheerleaders di
sekolah kami.
Bukan
rahasia umum kalau Abel menjadi idola di kalangan pria di sekolah. Sama halnya
denganku, Abel juga sering mendapatkan ajakan kencan dari fansnya. Tapi, entah
mengapa tak ada satupun yang diterimanya. Abel juga tidak pernah menceritakan
apapun soal fansnya itu. Abel
menyimpannya sendiri.
to be continued
0 comments:
Post a Comment