Merasa setuju dengan pernyataan di atas? Atau sekedar merasakannya? Ya,
saya pernah merasakannya. Mungkin sebagian orang di luar sana juga bisa
mengangguk setuju. Entah dengan cara menyadarinya sendiri sambil tersenyum atau
melalui cuplikan sinetron dimana si kaya dan miskin yang tertukar.
Contoh simple lain adalah
menjadi anak laki laki yang mendapatkan perlindungan berlebihan (overprotektif) dari orang tua. Belum ada
di rumah saat matahari perlahan tergelincir tenggelam, maka puluhan panggilan
telpon dari ibunya akan singgah di ponselnya. Merasa risih, kesal dan
terganggu. Lalu mengeluh.
Sementara ada anak lelaki di luar sana yang sengaja pulang malam. Tidur-tiduran
di kosan temannya sambil menunggu panggilan telopn dari sang ibu yang
memintanya untuk pulang. Atau sekedar menanyakan keeradaannya. Kehidupan yang
kalian pikir tertukar dan kalian harapkan satu sama lain.
Tapi benarkah semua itu?
Benarkah, apa yang kita keluhkan adalah apa yang diinginkan orang lain?
Benarkah kita tidak membutuhkan kehidupan yang kita keluhkan ini? Atau hanya
kehilangan yang nantinya akan menyadarkan apakah kita akan merindukan dan
membutuhkan kehidupan yang kita keluhkan saat ini?
Jawabannya sederhana : Rasa syukur. Kita belum mensyukuri apa yang kita
keluhkan. Kita hanya mengeluh, bukan bersyukur. Sepanjang kita terus berkeluh,
maka kita akan terus menginginkan kehidupan orang lain. Itu yang saya sadari
pada akhirnya.
Bagaimana saya pernah berpikir ingin hidup di tengah gadget terbaru dan menginginkan hidup orang lain di luar sana yang
rasanya lebih beruntung dari saya. Tetapi, apakah semuanya sudah benar? Mengapa
tidak kita syukuri kehidupan yang telah disuguhkan Tuhan kepadamu, mulai dari
kamu membuka mata.
Hal itulah yang kemudian mendasari saya untuk menjalankan sebuah resolusi
yang saya namai #JurnalSyukur. Terinspirasi dari cerita Dian Sastro yang
menuliskan 10 hal yang kamu syukuri setelah bangun tidur dan sebelum pergi
tidur serta seorang wanita yang menuliskan jurnal syukur di tabnya dalam perjalanan pulang kantor di
commuter line. Sayapun membuat
#JurnalSyukur versi saya yang berisi 10 hal yang saya syukuri dalam 1 hari.
Kegiatan ini sudah memasuki bulan ketiga dan jujur saja rasanya semua
begitu dimudahkan. Saya merasa menemukan kemudahan di setiap langkah saya. Di setiap
pengambilan keputusan dan proses mengikhlaskan, Tuhan seakan menggelarkan permadani
yang membawa saya ke jalan lain yang baru saat saya berani melepaskan dan
memilih.
Saat saya mensyukuri setiap kesempatan dan jalan yang disuguhkan Tuhan,
maka saya percaya Dia memiliki rencana tersendiri yang baik bagi saya. Tugas saya
adalah terus mensyukurinya, menjalankan sebaik mungkin dan berpikiran positif
akan setiap rencanaNya. Sekuat itu rasa syukur yang kamu ciptakan dalam dirimu
akan memepengaruhi pikiranmu.
Ingatlah, hal besar tidak akan menjadi besar jika bukan karena sekumpulan
hal kecil yang menjadi satu. Jadi, mulailah bersyukur dari hal hal kecil. Mulai
dari setiap pagi kamu mampu membuka mata dan tetap bisa melihat dunia. Bayangkan,
jika pada suatu hari kamu membuka mata, tapi yang terlihat adalah gelap.
Bersyukur saat kamu mampu menyapukan jemarimu ke layar ponsel untuk
mengecek notification. Bayangkan jika suatu hari tanganmu merasa kram
dan tak mampu digerakkan. Bersyukur saat kamu terbangun di atas kasur yang
empuk dan selimut hangat, sementara ada banyak orang yang harus tidur dalam dinginnya
lantai toko dan bisingnya jalan.
10 hal yang kita syukuri dalam sehari dalam bentuk tulisan sesungguhnya
adalah sedikit. Ada 10x lipat yang seharusnya kita syukuri, tetapi saya rasa
bisa kita pikirkan dalam kepala dan diyakini dalam hati untuk sisanya. Semoga setelah kita mampu bersyukur, maka tidak ada kehidupan orang lain yang kita
inginkan. Kalaupun ada, semoga Tuhan menggelarkan permadani setelah kita
mensyukurinya.
Semoga bermanfaat.
0 comments:
Post a Comment