January 29, 2014

Querida Ocha #4


cerita sebelumnya




            Aku dan Sandy menemukan pintu basecamp terbuka ketika kami kembali dari Monas. Di dalamnya terdapat Arga dan seorang wanita cantik bak supermodel. Aku dan Sandy sama-sama tercengang. Bukan karena kecantikan wanita itu, tapi karena Arga membawanya masuk ke dalam area terlarang dimasuki siapapun, kecuali kami bertiga.
            “Apa-apaan nih Ga? Ngapain lo bawa masuk orang lain ke basecamp?. Ruangan ini cuma boleh dimasuki kita bertiga. Jangan karena mungkin dia cewek baru lo terus lo seenaknya bawa dia ke sini,” sergap Sandy dengan emosi.
            “Vero cuma pake toiletnya sebentar karena lampu toilet café mati,” jelas Arga Santai.
            “Sorry, gue….,”
            “Udahlah, gue nggak butuh penjelasan lo. Udah balik sana, gue mau ngomong sama Arga.” Sandy semakin emosi dan tak membiarkan wanita supermodel—yang bernama Vero itu menjelaskan. Sandy justru berubah berang dan mengusirnya.
            “Aku pulang naik taksi aja kalau gitu, Ga. Nanti aku kabari begitu sudah sampai,” jelas Vero sambil berlalu dan meninggalkan kami bertiga di basecamp tepat pukul 02.00.
            “Puas lo sekarang, San ? Gue nggak ngerti sahabat macam apa yang nggak mau melihat sahabatnya bahagia,” buka Arga memecah kesunyian diantara kami.
            “Lo kira lo sahabat macam apa yang pergi malming di saat café rame? Yang asyik having fun, sementara 2 sahabat lainnya sibuk ngurusin café. Dan lo kira sahabat macam apa yang nggak menyembunyikan hubungan barunya dari sahabatnya?,” cecar Sandy dengan nada tinggi.
            “Gue mau ngasih tahu kalian tadi sore. Tapi kalian lagi asyik suap-suapan pizza dan gue nggak mau ngerusak moment kalian,” jelas Arga dengan nada yang tak kalah tinggi.
            “Gue sama Sandy nggak ada apa-apa, Ga. Lo seharusnya nggak perlu sungkan untuk ngasih tahu tadi,” ujarku ikut angkat bicara.
            “Kalau memang ada apa-apa diantara kalian juga nggak salah kok, Shal. Gue nggak ada masalah sama sekali,” ba;as Arga.
            “Tapi Shaline ada, Ga,” ungkap Sandy menggantung. Membulatkan bola mata Arga yang penuh taya. Lalu aku mulai angkat bicara “Udahlah, San.”
            “Biar, Shal. Biar lo dan Arga tahu yang sebenarnya. Biar Arga tahu kalau apa yang dia lakukan udah melukai hati kita berdua, Shal,” ujar Sandy dengan setengah berteriak. Lalu dia mulai terisak dan membuatku tak mengerti.
            “Shaline suka sama lo, Ga. Dan gue juga..,” ujar Sandy menggantung.
            Tatapan mata Arga berapi menatap Sandy, meminta penjelasan lebih lanjut.
            “Gue suka sama lo, Ga. Mungkin lo anggap ini sinting, mungkin lo ingin meninju gue…”
            BUUK. Suara tinjuan keras melayang dari tangan Arga ke wajah Sandy yang langsung mengucurkan darah di bagian hidungnya. Aku tak kuat lagi menahan kumpulan air di pelupuk mata. Air mataku meleleh melihat apa yang terjadi di hadapanku.
            Arga berlalu dari Sandy dan melewatiku sambil berbisik “Maafin gue, Shal.”
            Tangannya menyentuh bahuku lembut. Lalu pergi meninggalkan aku dan Sandy, dua orang yang sama-sama mencintainya. Samar-samar kudengar Sandy berteriak memanggil Arga.
            “Argaaaa, gue serius! Gue cinta sama lo. Shaline juga begitu. Kita berdua cinta sama lo, Ga,” raung Sandy dengan terisak.
            Aku menutup mata dan meneteskan air mata terakhir pada dini hari yang sunyi di Querida Ocha. Dalam gelap, aku melihat semut-semut yang menggotong bangkai kecoa.

End
24 Desember 2012

0 comments:

© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis