cerita sebelumnya
Aku dan Sandy menemukan pintu basecamp terbuka ketika kami kembali
dari Monas. Di dalamnya terdapat Arga dan seorang wanita cantik bak supermodel. Aku dan Sandy sama-sama
tercengang. Bukan karena kecantikan wanita itu, tapi karena Arga membawanya
masuk ke dalam area terlarang dimasuki siapapun, kecuali kami bertiga.
“Apa-apaan nih Ga? Ngapain lo bawa
masuk orang lain ke basecamp?.
Ruangan ini cuma boleh dimasuki kita bertiga. Jangan karena mungkin dia cewek
baru lo terus lo seenaknya bawa dia ke sini,” sergap Sandy dengan emosi.
“Vero cuma pake toiletnya sebentar
karena lampu toilet café mati,” jelas Arga Santai.
“Sorry, gue….,”
“Udahlah, gue nggak butuh penjelasan
lo. Udah balik sana, gue mau ngomong sama Arga.” Sandy semakin emosi dan tak
membiarkan wanita supermodel—yang bernama Vero itu menjelaskan. Sandy justru
berubah berang dan mengusirnya.
“Aku pulang naik taksi aja kalau
gitu, Ga. Nanti aku kabari begitu sudah sampai,” jelas Vero sambil berlalu dan
meninggalkan kami bertiga di basecamp
tepat pukul 02.00.
“Puas lo sekarang, San ? Gue nggak
ngerti sahabat macam apa yang nggak mau melihat sahabatnya bahagia,” buka Arga
memecah kesunyian diantara kami.
“Lo kira lo sahabat macam apa yang
pergi malming di saat café rame? Yang asyik having
fun, sementara 2 sahabat lainnya sibuk ngurusin café. Dan lo kira sahabat
macam apa yang nggak menyembunyikan hubungan barunya dari sahabatnya?,” cecar Sandy
dengan nada tinggi.
“Gue mau ngasih tahu kalian tadi
sore. Tapi kalian lagi asyik suap-suapan pizza dan gue nggak mau ngerusak
moment kalian,” jelas Arga dengan nada yang tak kalah tinggi.
“Gue sama Sandy nggak ada apa-apa,
Ga. Lo seharusnya nggak perlu sungkan untuk ngasih tahu tadi,” ujarku ikut
angkat bicara.
“Kalau memang ada apa-apa diantara
kalian juga nggak salah kok, Shal. Gue nggak ada masalah sama sekali,” ba;as
Arga.
“Tapi Shaline ada, Ga,” ungkap Sandy
menggantung. Membulatkan bola mata Arga yang penuh taya. Lalu aku mulai angkat
bicara “Udahlah, San.”
“Biar, Shal. Biar lo dan Arga tahu
yang sebenarnya. Biar Arga tahu kalau apa yang dia lakukan udah melukai hati
kita berdua, Shal,” ujar Sandy dengan setengah berteriak. Lalu dia mulai terisak
dan membuatku tak mengerti.
“Shaline suka sama lo, Ga. Dan gue
juga..,” ujar Sandy menggantung.
Tatapan mata Arga berapi menatap Sandy,
meminta penjelasan lebih lanjut.
“Gue suka sama lo, Ga. Mungkin lo
anggap ini sinting, mungkin lo ingin meninju gue…”
BUUK.
Suara tinjuan keras melayang dari tangan Arga ke wajah Sandy yang langsung
mengucurkan darah di bagian hidungnya. Aku tak kuat lagi menahan kumpulan air
di pelupuk mata. Air mataku meleleh melihat apa yang terjadi di hadapanku.
Arga berlalu dari Sandy dan
melewatiku sambil berbisik “Maafin gue, Shal.”
Tangannya menyentuh bahuku lembut. Lalu
pergi meninggalkan aku dan Sandy, dua orang yang sama-sama mencintainya.
Samar-samar kudengar Sandy berteriak memanggil Arga.
“Argaaaa, gue serius! Gue cinta sama
lo. Shaline juga begitu. Kita berdua cinta sama lo, Ga,” raung Sandy dengan
terisak.
Aku menutup mata dan meneteskan air
mata terakhir pada dini hari yang sunyi di Querida Ocha. Dalam gelap, aku
melihat semut-semut yang menggotong bangkai kecoa.
End
24 Desember 2012
0 comments:
Post a Comment