January 29, 2014

Querida Ocha #3



Sandy menggigit jagung bakarnya dengan kasar. Sudah menjadi pemandangan biasa bagiku melihat cara makan Sandy yang begitu kalap. Baik lapar atau tidak, cara makan Sandy memang menyerupai monster. Tidak heran jika tubuhnya begitu kekar. Berbeda dengan Arga yang makan dengan begitu rapi dan elegan.
            Aku cemberut duduk di sebelah Sandy. Jagung bakar yang dipesankannya untukku belum juga kusentuh. Udara malam begitu menusuk tulangku, tetapi hanya lewat di sela sela tulang Sandy yang begitu kekar.
            “San, katanya lo tahu Arga kemana. Terus Arga dimana sekarang? Kenapa kita justru makan jagung bakar malam – malam begini di Monas?,” omelku kesal sambil merapatkan varsity biru kesayanganku.
            “Arga tuh pasti lagi melakukan hal yang sama dengan apa yang kita lakukan sekarang. Tempatnya aja yang berbeda”
            Aku mengerutkan dahi bingung yang diartikan Sandy sebagai pertanyaan lebih lanjut untuknya.
            “Arga sedang menikmati malam minggu. Mirip sama kita sekarang. Bedanya, kita di Monas dan Arga entah dimana dan bareng siapa”
            Aku kesal dan tidak mengerti atas ulah Sandy. Kalau hanya jawaban itu yang ingin dia berikan, mengapa  harus repot membawaku ke Monas semalam ini. Dia telah mempersingkat waktu istirahatku malam ini.
            “Arga udah punya pacar baru, Shal. Lo ngerasa nggak sih? Akhir – akhir ini dia kelihatan bedakan? Jadi lebih penyendiri,” jelas Sandy serius.
            Aku yang tadinya hampir beranjak dan pergi akhirnya mengurungkan niat.
 “Kok Arga nggak ngasih tahu gue? Kenapa dia cuma ngasih tahu lo?” tanyaku pelan. Nyaris tak terdengar. Dadaku terasa sesak, tenggorokanku juga tercekat sehingga sepatah kata rasanya sulit keluar dari mulut.
            “Dia juga nggak ngasih tahu gue. Itu cuma perkiraan gue, tapi lo juga pasti ngerasa kan Shal dengan gerak-gerik Arga akhir-akhir ini?”
            Aku tidak mengiyakan meski apa yag dikatakan Sandy sebenarnya berdasarkan fakta. Setitik air bening justru meluncur dari pelupuk mataku, tak bisa lagi kubendung.
            “Shal, lo kenapa? Kok malah nangis?,” Sandy kebingungan dan meraih wajahku.
            Aku tak menjawab dan justru semakin terisak. Aku tak sepenuhnya sadar apa yang kulakukan dan mengapa, yang kutahu aku hanya ingin menangis sampai terisak.
            “Shal, lo suka sama Arga ya?”
            Aku masih terisak dan tak mencoba memberikan jawaban. Sandy memberikan waktu pada angin yang mengisi kesunyian diantara kami. Hingga kemudian, Sandy merenguhku ke dalam pelukannya.
            “Gue nggak tahu kenapa gue nangis, San. Entah karena Arga nggak ngasih tahu kalau dia punya pacar baru atau karena gue suka sama dia. Gue nggak tahu, San. Yang gue tahu, rasanya sakit, San. Sakiiit banget,” jelasku di sela tangis dan dinginnya malam.
            Sandy semakin merengkuhku ke dalam pelukannya. “Gue tahu yang lo rasain, Shal. Gue juga ngerasa sakit. Sakiit banget”
            Tangan Sandy yang kekar terasa hangat, bahkan kehangatannya melebihi varsity kesayanganku.



0 comments:

© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis