Sandy
menggigit jagung bakarnya dengan kasar. Sudah menjadi pemandangan biasa bagiku
melihat cara makan Sandy yang begitu kalap. Baik lapar atau tidak, cara makan Sandy
memang menyerupai monster. Tidak heran jika tubuhnya begitu kekar. Berbeda
dengan Arga yang makan dengan begitu rapi dan elegan.
Aku cemberut duduk di sebelah Sandy.
Jagung bakar yang dipesankannya untukku belum juga kusentuh. Udara malam begitu
menusuk tulangku, tetapi hanya lewat di sela sela tulang Sandy yang begitu
kekar.
“San, katanya lo tahu Arga kemana.
Terus Arga dimana sekarang? Kenapa kita justru makan jagung bakar malam – malam
begini di Monas?,” omelku kesal sambil merapatkan varsity biru kesayanganku.
“Arga tuh pasti lagi melakukan hal
yang sama dengan apa yang kita lakukan sekarang. Tempatnya aja yang berbeda”
Aku mengerutkan dahi bingung yang
diartikan Sandy sebagai pertanyaan lebih lanjut untuknya.
“Arga sedang menikmati malam minggu.
Mirip sama kita sekarang. Bedanya, kita di Monas dan Arga entah dimana dan
bareng siapa”
Aku kesal dan tidak mengerti atas
ulah Sandy. Kalau hanya jawaban itu yang ingin dia berikan, mengapa harus repot membawaku ke Monas semalam ini.
Dia telah mempersingkat waktu istirahatku malam ini.
“Arga udah punya pacar baru, Shal.
Lo ngerasa nggak sih? Akhir – akhir ini dia kelihatan bedakan? Jadi lebih
penyendiri,” jelas Sandy serius.
Aku yang tadinya hampir beranjak dan
pergi akhirnya mengurungkan niat.
“Kok Arga nggak ngasih tahu gue? Kenapa dia
cuma ngasih tahu lo?” tanyaku pelan. Nyaris tak terdengar. Dadaku terasa sesak,
tenggorokanku juga tercekat sehingga sepatah kata rasanya sulit keluar dari
mulut.
“Dia juga nggak ngasih tahu gue. Itu
cuma perkiraan gue, tapi lo juga pasti ngerasa kan Shal dengan gerak-gerik Arga
akhir-akhir ini?”
Aku tidak mengiyakan meski apa yag
dikatakan Sandy sebenarnya berdasarkan fakta. Setitik air bening justru
meluncur dari pelupuk mataku, tak bisa lagi kubendung.
“Shal, lo kenapa? Kok malah
nangis?,” Sandy kebingungan dan meraih wajahku.
Aku tak menjawab dan justru semakin
terisak. Aku tak sepenuhnya sadar apa yang kulakukan dan mengapa, yang kutahu
aku hanya ingin menangis sampai terisak.
“Shal, lo suka sama Arga ya?”
Aku masih terisak dan tak mencoba
memberikan jawaban. Sandy memberikan waktu pada angin yang mengisi kesunyian
diantara kami. Hingga kemudian, Sandy merenguhku ke dalam pelukannya.
“Gue nggak tahu kenapa gue nangis, San.
Entah karena Arga nggak ngasih tahu kalau dia punya pacar baru atau karena gue
suka sama dia. Gue nggak tahu, San. Yang gue tahu, rasanya sakit, San. Sakiiit
banget,” jelasku di sela tangis dan dinginnya malam.
Sandy semakin merengkuhku ke dalam
pelukannya. “Gue tahu yang lo rasain, Shal. Gue juga ngerasa sakit. Sakiit
banget”
0 comments:
Post a Comment