Querida
Ocha
Oleh :
Fitria Wardani
Sekotak
Double Cheesy Pizza terhidang di
depanku dan Sandy—yang sedang menggarap laporan keuangan bulanan Querida Ocha.
“Cihuyy
Pizza. Tau aja gue lagi laper, Ga,” sambut Sandy segera sambil menjauhkan semua
bukti transaksi keuangan yang sedari tadi mengepungnya.
Sementara
Arga si pembawa Pizza justru merapat ke jendela. Duduk manis sambil mengamati
ponselnya, seolah ponselnya lebih mengenyangkan dibanding Pizza yang terhidang.
Aku mengamatinya lekat. Arga memang begitu addicted
dengan ponselnya, namun itu semua karena aplikasi game kesayangannya.
Aku
masih memandangi Arga lekat-lekat. Mencoba membaca gestur tubuhnya serta menerjemahkan. Barangkali Arga yang duduk di dekat
jendela adalah manusia hasil kloning makhluk luar angkasa, pikirku tidak masuk
akal. Sementara yang dipandangi sama sekali tidak menyadari tatapan mataku yang
tidak lepas darinya sedari tadi.
“Shal,
lo nggak doyan Pizza nih? Buat gue semuanya ya kalau gitu,” ujar Sandy
menyadarkan lamunanku. Mulutnya terisi penuh gumpalan Pizza. Dia mirip sekali
dengan monster jika sedang makan. Menyeramkan.
“Dasar
monster rakus. Gue juga mau,” balasku singkat sambil mulai memunggungi posisi
Arga dan melahap potongan – potongan pizza.
Sandy
melahap potongan pizza itu tanpa ampun. Seakan itu pizza terakhir yang di
produksi di dunia. Aku jengah dan kesal melihatnya.
“Jangan
dihabisin. Arga belum makan,” ingatku sambil memukul punggung tangan Sandy yang
ingin mengambil potongan pizza terakhir.
“Dia
nggak mau,” jawabnya singkat.
“Sok
tahu!” ujarku kesal sambil kembali memukul punggung tangannya—yang mencoba
mengambil potongan pizza terakhir—dengan lebih keras.
Sandy
menatapku. Kedua bola matanya seakan menantang dan benci. Mata kami saling
mengadu dalam beberapa detik. Lalu, Sandy berdiri dan meninggalkan basecamp. Entah kemana. Arga dengan
segera menyadari kepergian Sandy dari basecamp
melalui pintu yang dibanting begitu keras.
“Mau
kemana Sandy, Shal?,” tanya Arga. Kali ini matanya diarahkan kepadaku.
Ponselnya juga entah sejak kapan telah terpisah dari genggamannya. Diam-diam
hatiku merasa senang.
“Minum,”
jawabku cepat dan asal.
“Minum
kok ke café? Minum teh?” tanya Arga sambil berjalan menuju ke arahku.
Pertanyaan
Arga seakan menampik kebohongan yang coba kubuat. Basecamp memiliki lemari pendingin yang juga menyimpan minuman.
Kami sengaja meletakkannya di basecamp
agar tidak perlu repot-repot ke café
untuk mengambil minuman jika sedang haus.
“Iya
mungkin, ” jawabku pasrah. Tidak mau menambah kebohongan lagi. “Si Monster Sandy
makan pizzanya kalap. Lo cuma disisain satu potong nih, Ga.”
“Udah
abisin aja. Pizza nya kan emang gue beli khusus buat kalian.”
Sepotong
pizza itu tiba-tiba menyiratkan wajah Sandy dalam benakku.
“Lo
nggak nanya kenapa tiba-tiba gue beliin pizza buat kalian?”
“Nanti
aja deh gue tanyanya,” ujarku sambil berdiri dan bergegas meninggalkan basecamp membawa sepotong pizza yang
tersisa.
Sandy
sedang mencuci wajahnya di wastafel café setelah aku menjelajah seisi Querida
Ocha hanya untuk mencarinya. Aku berjalan mendekatinya dan menyodorkan sepotong
pizza yang tadi begitu ingin dimakannya, namun kuhalang-halangi.
“Arga
nggak mau dan gue tahu lo kepengen banget last
piece ini,” ujarku dengan nada memelas.
“Apa
gue bilang? Kalo Arga yang beli Pizzanya artinya tuh pizza emang buat kita.
Udah buat lo aja,” jelas Sandy sambil berlalu menuju kebun belakang.
“Kenapa?
Tadi kan lo ngebet banget sama nih pizza. Udah deh jangan ngambek, buruan
makan,” ocehku sambil mengikuti Sandy dan menyodorkan pizza potongan terakhir
itu.
Sandy
terhenti dan duduk menatap langit. “Nggak mau ah. Pizzanya udah terkontaminasi
bakteri dari tangan lo sih, Shal”
Aku
ikut duduk di sebelahnya sambil mencoba memelototinya.
“Oke
gue makan tapi ada syaratnya,” ujarnya luluh.
“Apaan
sih? Udah cepetan deh. Satu jam lagi tamu bakalan banyak karena ini malem
minggu”
“Tapi
lo yang masukin pizzanya ke mulut gue,” pinta Sandy sambil membuka mulut
layaknya anak kecil minta disuapi.
Dengan
setengah hati, aku menjejalkan potongan pizza terakhir ke mulut Sandy. Dengan sabar
menungguinya mengunyah, kemudian memasukannya lagi. Begitu hingga akhirnya
potongan pizza itu lenyap dari tanganku.
“Dasar
monster manja,” hardikku sambil bangkit dari tempat duduk. Tetapi, tangan Sandy
menahanku dan menarikku untuk duduk kembali.
“Sebentar
lagi sunset, Shal. Lo suka sunset
kan?”
Aku
tidak mengiyakan, juga tidak menolak. Mataku kini kutancapkan pada hamparan
langit yang mulai berwarna Oranye. Aku tak pernah bisa melewatkan waktu dimana
langit menciptakan keindahannya, karena aku begitu mengaguminya.
“Arga
juga suka sama langit, tapi dia lebih suka sunrise”
“Ohya,
kok gue nggak pernah tahu ya?”
“Lo
kan kalo tidur mirip kebo. Jadi nggak pernah kita ajak ngeliat sunrise. Padahal, gue sama Arga sering
banget ngeliat sunrise sama-sama”
“Dunia
ini memang milik kalian berdua ya,” desahku pelan.
“Setiap
gue ngeliat langit, gue pasti selalu berdoa. Dan saat ngeliat sunset bareng lo sekarang, lo tahu nggak
apa yang gue doakan?”
“Apa?,”
tanyaku pelan.
“Gue
berdoa semoga setelah makan pizza terakhir tadi, gue nggak akan mati. Karena
pizza yang terakhir masuk perut gue tadi telah bercampur dengan bakteri kecoa
dari tangan lo”
“Sial.
Itu kejadian seminggu yang lalu. Kenapa disangkut pautin sih?,” cecarku kesal
dan sekarang benar-benar berlalu meninggalkan monster bernama Sandy itu.
***
Jarum
jam telah menujukkan pukul 23.30 saat Querida Ocha benar-benar bersih dari
pengunjung. Malam minggu ini pengunjung benar-benar membludak. Alhasil, aku dan
Sandy ikut turun tangan. Sebenarnya bukan hal baru jika kami harus turun tangan
melayani konsumen. Tetapi, porsi kerja kami malam ini lebih besar daripada malam-malam
sebelumnya, ditambah lagi dengan Arga yang hilang entah kemana.
“Arga
kemana sih, Shal? Bisa-bisanya café lagi rame, dia malah kabur.”
“Kabur
apaan sih, San. Kalo ngomong nyantai dikit dong. Arga lagi ada urusan mungkin”
“Ada
urusan kok ga bilang-bilang sama kita? Handphonenya dihubungin juga nggak
aktif. Sengaja bangetkan?,” omel Sandy.
Emosi
Sandy memang sering meluap-luap, bahkan untuk hal sepele sekalipun. Sebenarnya
aku juga bertanya dalam hati, kemana perginya Arga yang tiba-tiba. Sejak
peristiwa sunset tadi, aku tidak
menemukan Arga.
“Kayanya
gue tahu Arga kemana.”
“Kemana?”
sergahku cepat ingin tahu.
0 comments:
Post a Comment