January 20, 2014

Querida Ocha #2


Querida Ocha
Oleh :
Fitria Wardani






Sekotak Double Cheesy Pizza terhidang di depanku dan Sandy—yang sedang menggarap laporan keuangan bulanan Querida Ocha.
“Cihuyy Pizza. Tau aja gue lagi laper, Ga,” sambut Sandy segera sambil menjauhkan semua bukti transaksi keuangan yang sedari tadi mengepungnya.
Sementara Arga si pembawa Pizza justru merapat ke jendela. Duduk manis sambil mengamati ponselnya, seolah ponselnya lebih mengenyangkan dibanding Pizza yang terhidang. Aku mengamatinya lekat. Arga memang begitu addicted dengan ponselnya, namun itu semua karena aplikasi game kesayangannya.
Aku masih memandangi Arga lekat-lekat. Mencoba membaca gestur tubuhnya serta menerjemahkan. Barangkali Arga yang duduk di dekat jendela adalah manusia hasil kloning makhluk luar angkasa, pikirku tidak masuk akal. Sementara yang dipandangi sama sekali tidak menyadari tatapan mataku yang tidak lepas darinya sedari tadi.
“Shal, lo nggak doyan Pizza nih? Buat gue semuanya ya kalau gitu,” ujar Sandy menyadarkan lamunanku. Mulutnya terisi penuh gumpalan Pizza. Dia mirip sekali dengan monster jika sedang makan. Menyeramkan.
“Dasar monster rakus. Gue juga mau,” balasku singkat sambil mulai memunggungi posisi Arga dan melahap potongan – potongan pizza.
Sandy melahap potongan pizza itu tanpa ampun. Seakan itu pizza terakhir yang di produksi di dunia. Aku jengah dan kesal melihatnya.
“Jangan dihabisin. Arga belum makan,” ingatku sambil memukul punggung tangan Sandy yang ingin mengambil potongan pizza terakhir.
“Dia nggak mau,” jawabnya singkat.
“Sok tahu!” ujarku kesal sambil kembali memukul punggung tangannya—yang mencoba mengambil potongan pizza terakhir—dengan lebih keras.
Sandy menatapku. Kedua bola matanya seakan menantang dan benci. Mata kami saling mengadu dalam beberapa detik. Lalu, Sandy berdiri dan meninggalkan basecamp. Entah kemana. Arga dengan segera menyadari kepergian Sandy dari basecamp melalui pintu yang dibanting begitu keras.
“Mau kemana Sandy, Shal?,” tanya Arga. Kali ini matanya diarahkan kepadaku. Ponselnya juga entah sejak kapan telah terpisah dari genggamannya. Diam-diam hatiku merasa senang.
“Minum,” jawabku cepat dan asal.
“Minum kok ke café? Minum teh?” tanya Arga sambil berjalan menuju ke arahku.
Pertanyaan Arga seakan menampik kebohongan yang coba kubuat. Basecamp memiliki lemari pendingin yang juga menyimpan minuman. Kami sengaja meletakkannya di basecamp agar tidak perlu repot-repot ke café  untuk mengambil minuman jika sedang haus.
“Iya mungkin, ” jawabku pasrah. Tidak mau menambah kebohongan lagi. “Si Monster Sandy makan pizzanya kalap. Lo cuma disisain satu potong nih, Ga.”
“Udah abisin aja. Pizza nya kan emang gue beli khusus buat kalian.”
Sepotong pizza itu tiba-tiba menyiratkan wajah Sandy dalam benakku.
“Lo nggak nanya kenapa tiba-tiba gue beliin pizza buat kalian?”
“Nanti aja deh gue tanyanya,” ujarku sambil berdiri dan bergegas meninggalkan basecamp membawa sepotong pizza yang tersisa.
Sandy sedang mencuci wajahnya di wastafel café setelah aku menjelajah seisi Querida Ocha hanya untuk mencarinya. Aku berjalan mendekatinya dan menyodorkan sepotong pizza yang tadi begitu ingin dimakannya, namun kuhalang-halangi.
“Arga nggak mau dan gue tahu lo kepengen banget last piece ini,” ujarku dengan nada memelas.
“Apa gue bilang? Kalo Arga yang beli Pizzanya artinya tuh pizza emang buat kita. Udah buat lo aja,” jelas Sandy sambil berlalu menuju kebun belakang.
“Kenapa? Tadi kan lo ngebet banget sama nih pizza. Udah deh jangan ngambek, buruan makan,” ocehku sambil mengikuti Sandy dan menyodorkan pizza potongan terakhir itu.
Sandy terhenti dan duduk menatap langit. “Nggak mau ah. Pizzanya udah terkontaminasi bakteri dari tangan lo sih, Shal”
Aku ikut duduk di sebelahnya sambil mencoba memelototinya.
“Oke gue makan tapi ada syaratnya,” ujarnya luluh.
“Apaan sih? Udah cepetan deh. Satu jam lagi tamu bakalan banyak karena ini malem minggu”
“Tapi lo yang masukin pizzanya ke mulut gue,” pinta Sandy sambil membuka mulut layaknya anak kecil minta disuapi.
Dengan setengah hati, aku menjejalkan potongan pizza terakhir ke mulut Sandy. Dengan sabar menungguinya mengunyah, kemudian memasukannya lagi. Begitu hingga akhirnya potongan pizza itu lenyap dari tanganku.
“Dasar monster manja,” hardikku sambil bangkit dari tempat duduk. Tetapi, tangan Sandy menahanku dan menarikku untuk duduk kembali.
“Sebentar lagi sunset, Shal. Lo  suka sunset kan?”
Aku tidak mengiyakan, juga tidak menolak. Mataku kini kutancapkan pada hamparan langit yang mulai berwarna Oranye. Aku tak pernah bisa melewatkan waktu dimana langit menciptakan keindahannya, karena aku begitu mengaguminya.
“Arga juga suka sama langit, tapi dia lebih suka sunrise
“Ohya, kok gue nggak pernah tahu ya?”
“Lo kan kalo tidur mirip kebo. Jadi nggak pernah kita ajak ngeliat sunrise. Padahal, gue sama Arga sering banget ngeliat sunrise sama-sama”
“Dunia ini memang milik kalian berdua ya,” desahku pelan.
“Setiap gue ngeliat langit, gue pasti selalu berdoa. Dan saat ngeliat sunset bareng lo sekarang, lo tahu nggak apa yang gue doakan?”
“Apa?,” tanyaku pelan.
“Gue berdoa semoga setelah makan pizza terakhir tadi, gue nggak akan mati. Karena pizza yang terakhir masuk perut gue tadi telah bercampur dengan bakteri kecoa dari tangan lo”
“Sial. Itu kejadian seminggu yang lalu. Kenapa disangkut pautin sih?,” cecarku kesal dan sekarang benar-benar berlalu meninggalkan monster bernama Sandy itu.



***
Jarum jam telah menujukkan pukul 23.30 saat Querida Ocha benar-benar bersih dari pengunjung. Malam minggu ini pengunjung benar-benar membludak. Alhasil, aku dan Sandy ikut turun tangan. Sebenarnya bukan hal baru jika kami harus turun tangan melayani konsumen. Tetapi, porsi kerja kami malam ini lebih besar daripada malam-malam sebelumnya, ditambah lagi dengan Arga yang hilang entah kemana.
“Arga kemana sih, Shal? Bisa-bisanya café lagi rame, dia malah kabur.”
“Kabur apaan sih, San. Kalo ngomong nyantai dikit dong. Arga lagi ada urusan mungkin”
“Ada urusan kok ga bilang-bilang sama kita? Handphonenya dihubungin juga nggak aktif. Sengaja bangetkan?,” omel Sandy.
Emosi Sandy memang sering meluap-luap, bahkan untuk hal sepele sekalipun. Sebenarnya aku juga bertanya dalam hati, kemana perginya Arga yang tiba-tiba. Sejak peristiwa sunset tadi, aku tidak menemukan Arga.
“Kayanya gue tahu Arga kemana.”
“Kemana?” sergahku cepat ingin tahu.

0 comments:

© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis