March 27, 2013

Jakarta, Aku Bertahan









Tuhan punya banyak cara untuk mempertemukan umatnya. Aku percaya semua skenarioNya memiliki keindahan, baik secara kasat mata ataupun tersembunyi. Seperti bagaimana kita dipertemukan saat itu.
Aku masih ingat dengan jelas bagaimana kamu menangis di sudut shelter TransJakarta tanpa sedikitpun ragu atau malu. Melihatmu yang berbalut rok mini biru floral dengan tetesan air mata tiada henti membuatku jatuh cinta seketika.
Aku tahu siapapun tidak akan pernah mempercayai ini. Logikapun rasanya tidak bisa menerima. Tetapi, di tengah hiruk pikuknya Jakarta, aku menemukan kesejukan dalam tangisanmu yang entah karena apa.
“10 menit lagi, kamu akan melihat wajahku yang memerah bagai  tomat,” ujarmu di seberang telpon dalam kencan pertama kita.
Aku hanya terkekeh  kecil dan memandangi orang yang berlalu lalang. Menyortir satu per satu untuk menemukan wajahmu. Tepat 10 menit dari ucapanmu lewat telepon, kamupun datang dengan wajah merah bagaikan kepiting rebus.
“Aku sudah sering berkonsultasi ke dokter kulit untuk mengatasi alergiku terhadap panasnya Jakarta, tetapi mereka menyarankanku untuk angkat kaki dari ibukota. Bukankah kurang ajar, jika ada seorang dokter yang berani mengusirku?”
Lagi-lagi aku tertawa sambil menelan habis potongan rujak tanpa bumbu di pinggiran jalan ibukota. Setiap celotehanmu yang mengalir menumbuhkan benih cinta yang semakin dalam pada diriku.
“Lalu kenapa kamu masih bertahan di Jakarta, Dine? Kedua orang tuamu berada di Bali dan kamu justru hanya mengawasi resort keluarga melalui layar komputer. Adakah yang menahanmu di sini?”
Kamu berhenti mengunyah buah bengkoang yang ada di mulut. Diam terpaku dengan mata menerawang jauh, entah kemana. Aku hampir hafal reaksimu yang selalu sama setiap aku bertanya demikian. Tetapi kali ini di luar dugaanku, kamu mengucapkan sebuah kalimat yang tidak akan kulupakan seumur hidup.
“Kamu yang membuat aku bertahan di Jakarta yang berantakan ini. Kamu membuatku percaya kalau lelaki baik bisa muncul kapanpun di tengah Jakarta yang panas ini. Jadi, aku akan bertahan bersama kamu, Putra.”
Itu adalah ucapan serius yang pertama kali keluar dari bibirmu selama mengenalmu hampir 6 bulan. Kamu terlihat dewasa dan mantap, tanpa ada ragu. Sementara itu, aku semakin jatuh ke dasar danau cinta yang menenggelamkan segala akal dan logikaku.
Kamu wanita baik, cerdas yang apa adanya tanpa pernah berpura-pura. Kamu tak jarang bersikap kekanak-kanakan, tetapi tetap dewasa dalam memandang permasalahan. Aku semakin jatuh cinta. Bukan, tetapi aku telah mencintaimu sejak mendengar tangisanmu di sudut shelter TransJakarta malam itu.
Bicara soal tangisanmu di sudut shelter TransJakarta, maka tepat di 10 bulan aku mengenalmu, kuberanikan untuk bertanya.
“Satu hal yang tidak pernah kau bagi padaku adalah penyebab tangisanmu di shelter malam itu. Maukah kau menceritakannya padaku, Dine ?,” tanyaku hati-hati.
Kamu menatap tajam ke mataku. Ada keterkejutan yang kamu kirim lewat mata bulatmu yang lucu. Hampir kubuka mulut untuk membolehkanmu tidak menjawab, jika memang tidak menginginkanya. Tetapi, Nadine terisak perlahan. Lalu menjadi keras dan air matanya bercucuran.
Kamu menangkupkan kedua tanganmu menutupi seluruh wajah. Kamu menangis semakin hebat dan aku terpaku gagu. Dengan ragu, aku berniat meraihmu agar bersandar di bahuku untuk menangis sepuasnya. Tetapi, kamu tiba-tiba berdiri dan berlari ke kamarmu. Meninggalkanku sendiri di ruang tamu apartemenmu yang mewah ini.
Semenit kemudian, kamu keluar dengan sebuah undangan di tangan. Kamu meletakkannya di hadapanku dan mulai bercerita.
“Malam itu, aku menangisi kekasihku yang kabur bersama sahabatku. Mereka lari membawa cinta dan usaha spa milikku pribadi di Jakarta. Sekretaris pribadiku memberitahu ketika aku  sedang menunggu bus di shelter. Aku terduduk lemas dan mulai menangis. Aku tidak peduli dan tak merasa malu harus menangis di tempat umum, karena di ibukota ini semua rasa peduli telah terkikis. Aku tahu mereka tidak akan menghiraukanku, maka aku terus menangis. Hingga kamu menghampiri dan hanya melontarkan senyum sederhana yang menumbuhkan kepercayaan bagiku.
Setiap kata yang keluar dari bibirmu mengandung kehangatan bagi diriku. Sejak itu, aku percaya masih ada lelaki baik yang akan Tuhan kirim untukku. Dan aku yakin, kalau lelaki itu adalah kekasihku yag telah bersamaku sejak 5 tahun terakhir. Aku percaya kalau Tuhan akan mengantarkannya kembali kepadaku, layaknya aku percaya kalau kamu akan terus bertahan menemaniku di panasnya Jakarta. Mungkin kamu kesal, benci atau juga tidak mengerti. Tetapi, cinta tak punya alasan dan terus bertahan, meski pernah menyakitimu.”
Hening. Tidak ada lagi isak atau air matamu yang bercucuran.
“Apakah Tuhan mengantarkannya kembali untukmu?”
Hening. Kamu hanya tersenyum dan mendorong undangan hijau army semakin dekat denganku.
Sekarang aku tahu jawaban dan maksud senyumanmu yang tenang pekan lalu. Hari ini, dari kejauhan telah kudapati senyumanmu berkibar begitu ceria.
“Tuhan menjawab doa dan keyakinanmu selama 10 bulan ini, Nadine,” bisikku sambil bercipika cipiki dengannya di pelaminan.
“Dia telah mengantarkannya kembali untukmu,” tambahku lagi.
“Dan membuat kamu bertahan menemaniku di Jakarta yang panas ini. Lusa, aku akan terbang ke Australia dan menetap di sana. Jangan lupa kirimi aku surat. Kamu tidak perlu khawatir, suamiku tidak akan marah. Dia telah mengenalmu,” ujarmu sambil tersenyum.
Aku pecaya kalau Tuhan akan merancangkan skenario pertemuan umatnya yang begitu indah, tetapi aku belum yakin kalau Dia juga memiliki scenario perpisahan yang tak kalah indah.
Tetapi, Nadine memang benar kalau cinta tak punya alasan dan terus bertahan, meski pernah menyakitimu. Seperti hatiku yang telah berdarah-darah, tetapi aku tetap menghadiri pernikahan Nadine dengan kekasih—yang ia tangisi di sheleter malam itu—nya hari ini. Jawabannya karena aku mencintai Nadine.  



0 comments:

© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis