Tuhan
punya banyak cara untuk mempertemukan umatnya. Aku percaya semua skenarioNya
memiliki keindahan, baik secara kasat mata ataupun tersembunyi. Seperti
bagaimana kita dipertemukan saat itu.
Aku
masih ingat dengan jelas bagaimana kamu menangis di sudut shelter TransJakarta tanpa sedikitpun ragu atau malu. Melihatmu
yang berbalut rok mini biru floral
dengan tetesan air mata tiada henti membuatku jatuh cinta seketika.
Aku
tahu siapapun tidak akan pernah mempercayai ini. Logikapun rasanya tidak bisa
menerima. Tetapi, di tengah hiruk pikuknya Jakarta, aku menemukan kesejukan
dalam tangisanmu yang entah karena apa.
“10
menit lagi, kamu akan melihat wajahku yang memerah bagai tomat,” ujarmu di seberang telpon dalam
kencan pertama kita.
Aku
hanya terkekeh kecil dan memandangi
orang yang berlalu lalang. Menyortir satu per satu untuk menemukan wajahmu.
Tepat 10 menit dari ucapanmu lewat telepon, kamupun datang dengan wajah merah
bagaikan kepiting rebus.
“Aku
sudah sering berkonsultasi ke dokter kulit untuk mengatasi alergiku terhadap
panasnya Jakarta, tetapi mereka menyarankanku untuk angkat kaki dari ibukota.
Bukankah kurang ajar, jika ada seorang dokter yang berani mengusirku?”
Lagi-lagi
aku tertawa sambil menelan habis potongan rujak tanpa bumbu di pinggiran jalan
ibukota. Setiap celotehanmu yang mengalir menumbuhkan benih cinta yang semakin
dalam pada diriku.
“Lalu
kenapa kamu masih bertahan di Jakarta, Dine? Kedua orang tuamu berada di Bali
dan kamu justru hanya mengawasi resort
keluarga melalui layar komputer. Adakah yang menahanmu di sini?”
Kamu
berhenti mengunyah buah bengkoang yang ada di mulut. Diam terpaku dengan mata
menerawang jauh, entah kemana. Aku hampir hafal reaksimu yang selalu sama
setiap aku bertanya demikian. Tetapi kali ini di luar dugaanku, kamu
mengucapkan sebuah kalimat yang tidak akan kulupakan seumur hidup.
“Kamu
yang membuat aku bertahan di Jakarta yang berantakan ini. Kamu membuatku
percaya kalau lelaki baik bisa muncul kapanpun di tengah Jakarta yang panas
ini. Jadi, aku akan bertahan bersama kamu, Putra.”
Itu
adalah ucapan serius yang pertama kali keluar dari bibirmu selama mengenalmu
hampir 6 bulan. Kamu terlihat dewasa dan mantap, tanpa ada ragu. Sementara itu,
aku semakin jatuh ke dasar danau cinta yang menenggelamkan segala akal dan
logikaku.
Kamu
wanita baik, cerdas yang apa adanya tanpa pernah berpura-pura. Kamu tak jarang
bersikap kekanak-kanakan, tetapi tetap dewasa dalam memandang permasalahan. Aku
semakin jatuh cinta. Bukan, tetapi aku telah mencintaimu sejak mendengar
tangisanmu di sudut shelter TransJakarta
malam itu.
Bicara
soal tangisanmu di sudut shelter
TransJakarta, maka tepat di 10 bulan aku mengenalmu, kuberanikan untuk
bertanya.
“Satu
hal yang tidak pernah kau bagi padaku adalah penyebab tangisanmu di shelter malam itu. Maukah kau
menceritakannya padaku, Dine ?,” tanyaku hati-hati.
Kamu
menatap tajam ke mataku. Ada keterkejutan yang kamu kirim lewat mata bulatmu
yang lucu. Hampir kubuka mulut untuk membolehkanmu tidak menjawab, jika memang
tidak menginginkanya. Tetapi, Nadine terisak perlahan. Lalu menjadi keras dan
air matanya bercucuran.
Kamu
menangkupkan kedua tanganmu menutupi seluruh wajah. Kamu menangis semakin hebat
dan aku terpaku gagu. Dengan ragu, aku berniat meraihmu agar bersandar di
bahuku untuk menangis sepuasnya. Tetapi, kamu tiba-tiba berdiri dan berlari ke
kamarmu. Meninggalkanku sendiri di ruang tamu apartemenmu yang mewah ini.
Semenit
kemudian, kamu keluar dengan sebuah undangan di tangan. Kamu meletakkannya di
hadapanku dan mulai bercerita.
“Malam
itu, aku menangisi kekasihku yang kabur bersama sahabatku. Mereka lari membawa
cinta dan usaha spa milikku pribadi di Jakarta. Sekretaris pribadiku
memberitahu ketika aku sedang menunggu
bus di shelter. Aku terduduk lemas
dan mulai menangis. Aku tidak peduli dan tak merasa malu harus menangis di
tempat umum, karena di ibukota ini semua rasa peduli telah terkikis. Aku tahu
mereka tidak akan menghiraukanku, maka aku terus menangis. Hingga kamu
menghampiri dan hanya melontarkan senyum sederhana yang menumbuhkan kepercayaan
bagiku.
Setiap
kata yang keluar dari bibirmu mengandung kehangatan bagi diriku. Sejak itu, aku
percaya masih ada lelaki baik yang akan Tuhan kirim untukku. Dan aku yakin,
kalau lelaki itu adalah kekasihku yag telah bersamaku sejak 5 tahun terakhir.
Aku percaya kalau Tuhan akan mengantarkannya kembali kepadaku, layaknya aku
percaya kalau kamu akan terus bertahan menemaniku di panasnya Jakarta. Mungkin
kamu kesal, benci atau juga tidak mengerti. Tetapi, cinta tak punya alasan dan
terus bertahan, meski pernah menyakitimu.”
Hening.
Tidak ada lagi isak atau air matamu yang bercucuran.
“Apakah
Tuhan mengantarkannya kembali untukmu?”
Hening.
Kamu hanya tersenyum dan mendorong undangan hijau army semakin dekat denganku.
Sekarang
aku tahu jawaban dan maksud senyumanmu yang tenang pekan lalu. Hari ini, dari
kejauhan telah kudapati senyumanmu berkibar begitu ceria.
“Tuhan
menjawab doa dan keyakinanmu selama 10 bulan ini, Nadine,” bisikku sambil bercipika
cipiki dengannya di pelaminan.
“Dia
telah mengantarkannya kembali untukmu,” tambahku lagi.
“Dan
membuat kamu bertahan menemaniku di Jakarta yang panas ini. Lusa, aku akan
terbang ke Australia dan menetap di sana. Jangan lupa kirimi aku surat. Kamu
tidak perlu khawatir, suamiku tidak akan marah. Dia telah mengenalmu,” ujarmu
sambil tersenyum.
Aku
pecaya kalau Tuhan akan merancangkan skenario pertemuan umatnya yang begitu
indah, tetapi aku belum yakin kalau Dia juga memiliki scenario perpisahan yang
tak kalah indah.
Tetapi,
Nadine memang benar kalau cinta tak punya alasan dan terus bertahan, meski
pernah menyakitimu. Seperti hatiku yang telah berdarah-darah, tetapi aku tetap
menghadiri pernikahan Nadine dengan kekasih—yang ia tangisi di sheleter malam itu—nya hari ini.
Jawabannya karena aku mencintai Nadine.
0 comments:
Post a Comment