July 29, 2012

Sahabat (Pena) #2





Aku memoles bibirku dengan lipgloss cair merah muda. Menyesuaikan dengan gaun bertali sphagetti merah muda yang soft. Kuraih clutch putihku dan langsung menuju Honda Jazz Merah milikku. Mang Asep telah siap mengantarku ke sebuah restaurant—tempat aku dan Mas Andre janji bertemu.
“Andre nggak jemput kamu?,” tanya suara.Mbak Niken kaget dari ujung telpon.
“Aku juga nggak tahu mbak. Mas Andre bilang, ‘kita ketemu di venue jam 7 ya’ begitu. Dia nggak bilang mau jemput aku. Jadi, aku berangkat sendiri aja ke venue”
“Aneh banget sih tuh anak. Masa ngajak cewek ngedate tapi nggak mau jemput,” gerutu Mbak Niken kesal sendiri.
“Ini cuma makan malam aja kok, Mbak. Bukan ngedate,” jawabku malu.
“Apapun namanya. Kamu harus siap dengan berbagai kemungkinan. Ohya, siapkan jawaban terbaik juga”


Mas Andre menungu di meja yang berada di sudut restaruan bergaya Perancis ini. Interior restaurant ini memang sangat romantis. Cahaya yang ada nampak redup dan dipenuhi oleh lilin-lilin. Sementara warna yang mendominasi adalah warna putih.
“Maaf menunggu lama ya, Mas?,”. tanyaku sambil bersegera duduk.
“Nggak masalah. Orang yang ingin aku kenalkan ke kamu juga belum datang kok”
Apa yang kudengar barusan? Orang yang ingin Mas Andre kenalkan padaku?
“Aku mengundangmu makan malam untuk mengenalkan dengan seseorang. Seseorang yang pasti akan kamu suka juga.” jelas Mas Andre dengan senyum merekah. Rasanya aku tidak pernah melihat senyum Mas Andre sebahagia saat ini.
“Oya, Olin. Mungkin kamu mau pesan minum duluan?”
“Nggak perlu, Mas. Kita tunggu teman Mas Andre saja,” jawabku cepat.
“Olin, sebenarnya yang ingin aku kenalkan ke kamu bukanlah temanku. Tetapi dia calon tunanganku. Aku berniat melamarnya”
Apa? Jadi Mas Andre? Selama ini dia sudah memiliki kekasih? Bagaimana mungkin aku tidak mengetahuinya. Padahal hampir setiap hari kuhabiskan dengan Mas Andre.
Belum selesai kekagetanku atas ‘kejutan’ yang dibuat Mas Andre, kini ia nyaris membuatku tak bisa bernafas.
“Illina,” panggil Mas Andre pada seseorang sambil melambaikan tangannya. Meminta orang yang dipanggilnya untuk datang.
Nama itu. Illina? Benarkah nama itu yang baru saja keluar dari bibir Mas Andre? Mungkinkah Illina itu adalah…
Illina yang dimaksud Mas Andre berdiri di hadapanku. Rambutnya panjang dengan ikal di ujungnya. Hitam pekat. Tubuhnya dibalut dress hijau dengan cardigan kuning gading. Matanya terbungkus kacamata. Tetapi dia sangat cantik. Dia lebih cantik dari yang kukenal. Dia Illina yang kukenal baik selama 7 tahun. Illina, hantu dari masa laluku.
“Maaf Mas, aku terlambat. Jalanan macet sekali”
“Nggak apa kok. Kami belum terlalu lama menunggu, iyakan Olin?”
Aku menelan ludah. Membasahi tenggorokanku dan mencoba bersuara. Tetapi gagal. Aku hanya mengangguk.
“Aku sudah ceritakan banyak tentang kamu ke Illina. Sayangnya, aku nggak banyak menceritakan tentang Illina ke kamu. Tetapi, malam ini aku akan mengenalkanmu. Nah Olin, ini Illina. Dia pacarku”
Nafasku tercekat. Mungkin aku akan segera lupa bagaimana caranya bernafas. Tetapi nampaknya aku akan lebih senang jika aku lupa dengan siapa itu Mas Andre. Kalau perlu, seharusnya ia tidak perlu hadir dalam kehidupanku, jika pada akhirnya menghadirkan Illina kembali dalam kehidupanku.
“Hai Olin. Terima kasih sudah meluangkan waktumu yang begitu sibuk sebagai penulis untuk makan malam ini,” sambut Illina santun dan manis. Tetapi ucapannya jutru menusuk ke dasar hatiku.
“Hai,” jawabku pendek.



“Aku sudah baca cerpenmu yang kemarin dan aku langsung menangis di ujung cerita. Kok bisa sih kamu sejahat itu membuat ending cerita untuk pasangan kekasih itu?,” cerocosku panjang lebar kepada Illina di kantin saat jam istirahat.
“Yaaaa, aku hanya ingin pasangan kekasih itu berakhir seperti itu,” jawab Illina menggantung sambil menyedot Jus Stroberri kesukaannya.
“Tetapi aku sudah menjadi penggemar sekaligus korban cerpen kamu yang overall sad ending seperti itu”
“Kalau sudah ngefans, ya terima saja bagaimana ending di setiap cerpenku,” timpal Illina santai sambil memamerkan lidahnya.
“Lin”
Panggilan itu sontak membuatku, maupun Illina menoleh ke sumber suara. Irgi. Illina kembali mengembalikan pandangannya, mengetahui bukan dirinya yang dimaksud. Uhh. Menyebalkan sekali. Sudah kubilang jangan menggunakan panggilan itu saat aku sedang bersama Illina.
“Hai, Olin Sayang,” sapa Irgi ramah. Juga menyebalkan.
“Ini buat kamu”. Irgi menyodorkan segelas minuman jeruk dingin kepadaku.
“Makasih,” jawabku tersenyum tipis, namun tulus.
Irgi adalah pacarku. Sementara, Illina dalah sahabatku sejak kami duduk di bangku SMP. Sekarang, kami bertiga sama-sama duduk di kelas 2 SMA.
“Lagi ngobrolin apa nih? Ikutan dong”
“Bukan ngobrolin game kok, Gi. Jadi kamu pasti nggak akan suka,” jawab Illina.
“Pasti ngobrolin cerpen deh. Iyakan?”
“Bingo ! Tahu aja ih kamu, yang”
“Hem kalo gitu, aku ganggu dong. Yaudah, aku akan segera pergi. Tapi, aku sempat mikir deh. Kalian berduakan sama-sama suka nulis, kenapa nggak duet bareng untuk membuat novel. Terus kirim ke penerbit deh. Pasti diterbitin deh,” usul Irgi sok tahu.
Aku dan Illina hanya saling berlempar senyum.


Mama sudah berulang kali meneriakkan namaku, menyuruhku untuk makan malam. Tetapi, aku masih membaringkan tubuhku di kasur sambil menekuri notebookku. Seperti biasa, setelah membaca cerpen terbaru Illina di blog pribadinya, ada saja inspirasi yang merasuki pikiranku. Setiap detail dalam cerpen milik Illina tersimpan banyak hal yang dapat kukembangkan. Tidak heran jika cerpen yang kubuat, jumlahnya sudah menyamai Illina, bahkan telah melebihinya.
“Olin, telpon dari Illina,” ujar Mama tiba-tiba dengan kepala yang menyembul dari balik kamar.
Aku baru teringat. Nada panggilan maupun pesan di ponselku selalu ku set silent mode, juga tanpa getar. Semua itu kulakukan saat ide untuk menulis cerpen beterbangan di kepalaku dan memintanya untuk segera dituangkan ke dalam tulisan. Pasti, Illina sudah mencoba menghubungiku ke ponselku sejka tadi.
Aku keluar kamar dan meraih gagang telpon yang teronggok seorang diri. Tetapi di seberangnya ada sahabatku, Illina, si sumber inspirasi.
“Iya, Lin ada apa?,” tanyaku langsung.
“Tugas makalah individu dari Pak Sobri itu dikumpul besok atau minggu depan sih? Aku belum selesai nih soalnya”, jawab Illina langsung. Ada nada ketakutan di sana. Illina memang paling takut mengumpulkan tugas terlambat atau tidak sesuai dengan kehendaknya. Ya, dia adalah Nona Perfecto.
“Minggu depan, Sayang. Nggak usah panik gitulah. Lebih baik kamu buat cerpen baru daripada panik gitu”
“Hffpph”. Terdengar helaan nafas dari ujung telepon.”Syukur deh kalau gitu. Duuh istirahat dulu ah buat cerpennya. Lagi banyak tugas nih. Anyway, aku udah baca cerpen kamu yang terbaru. Nggak nyangka banget deh sama ending ceritanya. Dasar Miss Unpredictable”
Aku dan Illina memang saling menulis cerpen dan mempostingnya di blog pribadi kami masing-masing. . Kami akan saling mengkritik atau memuji satu sama lain setelah membacanya.
“Haha, biar saja daripada kamu Miss Sad Ending !”
“Tapi aku suka dengan jalan ceritanya. Begitu hidup”
“Makasih. Cerpen aku juga kebanyakan terinspirasi dari kamu, Lin”
“Ohya? Yang mana?”
“Mana aja”
Illina hanya mendengus kesal, lalu kami berdua tertawa seketika. Masih melalui kabel telpon yang menghubungkan kami. Mama melintas sambil senyum, memaklumi tingkah dua remaja yang telah 5 tahun bersahabat.



Mas Andre perlahan menyesap teh hangat yang telah dibuatkan oleh Bi Inah. Mas Andre sudah berada di ruang tamu rumahku sejak 30 menit yang lalu. Wajar saja dia langsung datang ke rumah saat aku membatallkan seluruh agenda hari ini. Mas Andre khawatir dengan keadaanku. Apalagi, aku pulang duluan sebelum dinner berakhir dengan alasan tidak enak badan.
“Illina titip salam buat kamu. Dia berharap kamu segera sembuh. Supaya bisa produktif lagi menulis”
Wajahku menegang. Illina. Kenapa harus nama itu lagi yang kudengar. Padahal aku berniat istirahat hari ini untuk menjauhkan nama itu dari telingaku. Mas Andre nampaknya merasakan perubahan pada diriku saat ia mengucapkan nama kekasihnya itu.
“Mas sudah tahu kalau kamu dan Illina bersahabat sejak SMP. Illina sudah cerita semuanya”
Semuanya? Tanyaku dalam hati dengan pandangan bertanya ke arah Mas Andre.
“Kecuali satu hal. Akibat kerenggangan kalian. Illina tidak menceritakannya, dia bilang dia tidak tahu mengapa hubungan kalian merenggang. Mas harap, kamu mau berbagi dengan Mas, Lin. Atau mungkin kamu juga ingin menceritakan kembali bagaimana persahabatan kamu dengan Illina.”
“Mas Andre sudah dengar dari Illina, bukan?”
“Iya. Tetapi bisa saja versinya lain kalau kamu yang bercerita”. Mas Andre terseyum ramah dan semakin membuat seluruh tubuhku lemas.
“Tidak ada yang berbeda, Mas. Semua cerita yang akan keluar dari mulutku pastinya sama dengan apa yang telah diceritakan Illina”
“Baiklah. Kalau begitu, ceritakan saja apa yang menyebabkan hubungan kalian merenggang?”
Aku menyesap teh hangat yang telah dingin buatan Bi Inah. Membasahi tenggorokanku. Meletakannya kembali, lalu menerawang jauh. Mengumpulkan kekuatan untuk menceritakan ketakutanku yang tak pernah kubagi dengan siapapun..



Seorang gadis berambut panjang ikal duduk manis. Matanya menyapu ke seluruh penjuru kantin. Mencari seseorang dan orang itu adalah aku.
“Hey girl. Sendirian aja. Udah lama?,” goku iseng sambil menempelkan bokongku di kursi kantin kampus.
“Lama banget. Kemana aja sih Lin?”
“Duuh biasa deh Dosen kalau udah khotbah, suka lupa berhenti. Maaf ya. Aku traktir es krim, bagimana?”
Illina mengangguk. Kini, aku dan Olin telah menjadi mahasisiwi semester 2. aku mengambil Jurusan Hubungan Internasional, sementara Illina memilih Sastra Inggris. Kami berkuliah di tempat yang sama, tetapi tentu saja tidak sering bertemu seperti dulu. Karena gedung tempat kami bernaung berbeda.
Aku sudah hampir siap untuk menyuapkan suapan pertama ketoprak langgananku di kampus, kalau saja handphoneku tidak berdering. ‘Aryani is calling’ tertera di layer handphoneku. Dia adalah kakak sepupuku.
“Iya, kenapa mbak?”
“Kemana?” tanyaku lagi. “Untuk apa?.....Sekarang?....Ya sudah aku ke sana 15 menit lagi”
“Siapa?,” tanya Illina
“Mbak Aryani. Aku disuruh ke kantor Penerbit Buku Ilusi. Kamu mau temani aku?”
Illina sudah tahu kalau Mbak Aryani adalah kakak sepupuku. Sebagai sahabat selama 6 tahun, kami sudah sangat saling mengenal.
“Mau sih, tapi sayangnya aku nggak bisa, Lin. Ada kuliah jam 1. Dosennya killer, nggak mungkin cabut”
Aku melirik jam tangan hijau tosca milikku dan mendapati angkanya menunjukkan pukul 12.30. aku menghembuskan nafas pasrah, karena harus pergi ke Penerbit Ilusi sendirian dengan tujuan…aku saja tidak tahu apa tujuanku ke sana. Kecuali satu hal, Mbak Aryani yang memintaku dengan setengah berteriak bahagia seolah baru saja memenangkan undian 1 Milyar.


Seorang wanita pertengahan 30 tahun menyalamiku dengan sangat ramah saat aku baru saja memasuki salah satu ruangan di Kantor Penerbit Ilusi.
“Jadi ini yang namanya Olin?,” tanya wanita itu sambil melirik ke arah Mbak Aryani. Mbak Aryani juga ada di ruangan yang nampaknya ruang kerja si wanita itu. Wanita yang belum kuketahui siapa namanya.
“Iya, ini Esthyca Violin. Sepupu saya ini sekarang semester 2 Jurusan Hubungan Internasional. Kisah-kisahnya itu dituliskan semasa dia masih SMA,” cerocos Mbak Aryani.
Wanita itu mengangguk. Aku bingung. Kisah apa?
“Olin, kami suka dengan cerpen-cerpen yang telah sepupumu kirimkan ke Penerbit Ilusi. Kami ingin membukukannya, bagaimana? Apa kamu setuju?”
Jantungku nyaris mencelos. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Cerpen-cerpenku? Akan dibukukan? Lalu diterbitkan? Ya Tuhan, benarkah ini? atau hanya mimpi siang bolong saja kah?
Mbak Aryani menyikut lenganku. Menyadarkanku dari semua ini. menjelaskan lebih dalam kalau ini bukan mimpi.
Aku mengangguk cepat. “Setuju. Tentu saya setuju”
Ternyata Mbak Aryani iseng mengirimkan kumpulan cerpenku yang kusimpan di notebookku.
Berbagai proses pengeditan mulai dilakukan dan sekitar 2 minggu setelahnya, buku pertamaku diterbitkan. Berisi kumpulan cerpen-cerpenku yang kutulis semasa SMA. Cerpen-cerpen yang kutulis karena terinspirasi dari cerpen Illina. Buku pertamaku terpajang di berbagai Toko Buku. Aku merasa bahagia, sekaligus bangga. Juga berterima kasih dengan Mbak Aryani yang telah membuka semua kesempatan ini.
Beberapa hari setelah euphoria itu aku menyadari bahwa cerpenku tidak seutuhnya lahir dari pikiranku. Aku telah banyak mengembangkan semua cerpen yang lebih dulu dibuat oleh Illina. Aku merasa telah merebut sesuatu yang seharusnya menjadi milik Illina. Rasa bersalahku semakin menggunung, terlebih lagi saat mengetahui bahwa cerpen-cerpen milik Illina ditolak oleh berbagai penerbit karena ceritanya dianggap hampir sama dengan milikku.
Illina memang tidak pernah marah atau merasa idenya dicuri atau menjadi objek plagiat meski tidak secara keseluruhan, tetapi aku tidak lagi nyaman berada di dekat Illina. Aku merasa sangat berdosa di hadapannya, tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin Illina juga merasakan apa yang kurasakan. Mulai melakukan talkshow, bedah buku, promosi. sayangnya, aku tidak tahu bagaimana caranya agar Illina bisa merasakan itu semua juga. Aku memutar otak dan mengusulkan ke Penerbit Ilusi agar menyetujui novel duet antara aku dan Illina. Tapi pihak penerbit menolaknya, karena aku harus terlebih dahulu fokus dengan buku pertamaku.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Buku pertamaku yang harus cetak ulang setelah 3 bulan terbit memaksaku semakin sibuk dan sulit komunikasi dengan Illina. tetapi inilah kesempatan bagiku, pikirku. Kesempatan untuk pergi sejauh mungkin dari Illina. aku tidak sanggup menelan rasa bersalah ini. Illina terlalu baik untukku karena tidak marah padaku, tetapi aku tidak bisa bertahan dengan semua kebaikan Illina. aneh! Ya memang. Akhirmya, aku mulai fokus dengan promosi buku pertamaku dan mulai menulis novel untuk buku selanjutnya.
Keasikan menulis novel membuatku lupa akan Illina. tetapi tidak pernah melupakan rasa bersalahku dari Illina. Selama ini, aku hidup dihantui rasa bersalah. Aku menutup diri dari siapapun. Menulis selalu membuatku lupa akan Illina, hantu masa lalu bagiku. Meski begitu, selama 3 tahun ini aku merindukan Illina. Kalau banyak orang mengatakan kehidupanku begitu sempurna, itu adalah salah. Aku kehilangan Illina. seorang sahabat yang sangat kucintai dan mencintaiku.



“Kamu tidak bersalah atas semua ini, Olin. Berhentilah menghukum dirimu sendiri dengan semua pikiran buruk itu,” ujar Mas Andre akhirnya.
“Aku salah,Mas. Jelas-jelas aku salah karena aku adalah sahabat yang jahat,” jawabku sambil terisak.
“Kamu tidak jahat. Semua ini sudah ditakdirkan. Kamu sebagi penulis dan Illina sudah sangat bahagia menjadi seorang penerjemah, karena dia juga tetap menulis”
Aku terisak. Penerjemah? Illina menjadi penerjemah sekarang? Dia pasti senang, karena salah satu cita-citanya tercapai.
Mas Andre menggenggam tanganku lembut. Ada kehangatan yang mengaliri seluruh darahku. Dari sinar matanya tersirat ketulusan dan kesungguhan. “Kamu nggak salah, Olin. Cerpen-cerpen kamu adalah hasil karyamu. Asli buah pikiranmu. Illina adalah inspirasimu, tapi bukan objek plagiatmu. Kamu harus percaya itu”



“Nah sekarang adalah pemakaian kalung yang akan dilakukan oleh Andre Diraatmadja kepada Putri Illina Kertadjaya sebagai hadiah sekaligus pemasangan cincin tunangan sebagai pengikat bagi keduanya,” ujar MC yang disambut dengan tepuk tangan meriah para tamu yang datang. Termasuk aku.
Mas Andre memasangkan kalung emas putih dengan liontin bintang di leher Illina dengan lembut. Setelah itu mereka satu sama lain melingkarkan cincin tunangan di jari manis satu sama lain. Aku tersenyum bahagia melihatnya. Meski kutahu, cincin yang melingkar di jari manis Mas Andre adalah lampu merah bagiku.
Mas Andre telah membuat hatiku luluh dan akhirnya kembali kepada kehidupanku yang indah dan kurindukan. Kehidupanku bersama Illina. Ya, aku telah berbaikan dengannya. Aku tidak tahu kata apa yang tepat, karena rasanya kami memang tidak bertengkar. Aku melenyapkan semua pikiran buruk yang menghakimiku selama 3 tahun ini. Semua itu berkat Mas Andre yang terus mendorongku untuk percaya bahwa aku tidak bersalah.
Illina menghampiriku dengan kebaya biru lautnya yang sangat cantik.
“Aku sudah bertunangan, Olin,” ujarnya bahagia. “Aku bahagia”, tambahnya sambil memelukku.
“Aku juga bahagia untukmu dan Mas Andre”
“Kamu tahu, rasanya kebahagiaanku malam ini lengkap karena 2 orang yang sangat kusayangi berada di sisiku”
Illina melepaskan pelukannya. “Jangan pergi lagi ya, Olin. Aku nggak bisa menemukan sahabat seperti kamu di duina ini, karena Olin cuma satu di hati aku”
Aku nyaris tersedak mendengar kata-kata puitis dari Illina yang sangat berlebihan itu. Aku mengangguk pelan dan kembali memeluknya.
Aku ikhlas melepaskan Mas Andre, tetapi aku nggak akan ikhlas untuk melepaskan sahabatku yang satu ini. Sekarang, kehidupan Esthyca Violin, penulis muda berbakat sudah lengkap, karena dia telah menemukan sahabatnya yang telah lama hilang.



Pergi cinta lupakanlah aku cinta
Ku relakan akan dia.. ada dipelukmu
Pergi cinta.. hapus bayanganku.. cinta
Bahagiakan dia.. cinta
Sampai akhir waktu
Engkau bersamanya

(Pergi Cinta - Audy)



END
© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis