July 17, 2012

Sahabat (Pena) #1



Olin, penulis muda berbakat yang sedang naik daun memiliki segalanya, kecuali satu hal.

“Aku suka banget mbak dengan ilustrasi untuk cover novel terbaruku. Akhirnya bisa digambarin juga sama Mbak Niken. Maklum, Mbak Niken kan super sibuk”, cerocosku setelah menempelkan bokongku di kursi empuk di sebuah kedai kopi yang berada dalam Mall.
“Aku juga senang bisa buatin ilustrasi untuk cover novelis yang lagi naik daun ini. Maaf ya baru bisa buatin di novel kelima kamu ini,” balas Mbak Niken dengan senyum lembut dan cantik.
Mbak Niken adalah ilustrator cover di Penerbit Ilusi, penerbit tempat aku bernaung.. Aku mengenalnya sejak novel keduaku terbit. Kami memang dekat, Mbak Niken sudah kuanggap seperti kakak perempuanku, sekaligus teman curhat, juga teman berbagi inspirasiku.
“Iya, Mbak. Terima kasih banyak lho. Nanti buatin lagi untuk novel-novel selanjutnya ya. hihi,” godaku.
“Sip. Tenang aja. Omong-omong, Andre kemana? Kamu datang sama dia kan?,” tanya Mbak Niken dengan celingak celinguk, mencari sosok lelaki yang bersamaku.
Mas Andre adalah manajerku setahun belakangan ini.
“Tadi di acara launching novelku, Mas Andre ketemu sahabat lamanya. Jadi, dia minta waktu untuk ngobrol sebentar. Tapi nanti dia kesini kok,” jawabku.
“Ooh begitu. Ohya, bagaimana hubungan kamu dengan Andre? Sudah sampai mana?,” tanya Mbak Niken tiba-tiba.
“Yaa, hubungan layaknya manajer dengan penulis. Memang, maksudnya Mbak Niken, hubungan yang seperti apa?,” tanyaku menahan wajah yang sepertinya mulai memerah.
“Olin, aku tuh tahu lagi kalau kamu sebenarnya suka kan sama Andre? Aku bisa lihat kok dari tatapan kamu ke dia,” ungkap Mbak Niken tepat sasaran.
“Duh susah ya punya teman kayak Mbak Niken. Jeli banget matanya,” jawabku tak mengelak.
“Jadi?,”
“Aku nggak tahu gimana perasaannya Mas Andre ke aku, Mbak,” jawabku sedih.
“Yasudah, kamu tanyakan saja”
Mataku langsung melotot. Semudah itukah menurut Mbak Niken? Tentu saja tidak buatku gerutuku dalam hati.
“Kamu beritahu saja bagaimana perasaanmu ke Andre. Nanti dia juga akan balas memberitahu perasaannya. Jadi kamu tidak akan bertanya-tanya sendiri seperti inikan?”
“Tapi, Mbak. Aku kan perempuan….”
“Lho memangnya kenapa? Nggak salah kok seorang perempuan menyampaikan perasaannya ke seorang pria yang dia suka.”
Aku tertunduk. Menerawang ke dalam cangkir berisi coklat panas yang kupesan. Seolah mencari kebenaran dari perkataan Mbak Niken di dasar gelas yang terisi gelapnya coklat.
Mbak Niken menyentuh tanganku lembut. “Ingat, kamu hanya menyampaikan perasaanmu ke Andre, bukan memintanya untuk menjadi suamimu”
Aku tersenyum lembut menatap Mbak Niken yang tersenyum hangat. “Akan kupikirkan, Mbak,” jawabku jujur.
“Halo. Ladies. Sudah menunggu lamakah?,” tanya Mas Andre yang memecah keseriusan perbincanganku tadi dengan Mbak Niken.
Aku terlonjak kaget. Seperti biasa. Kedatangan Mas Andre selalu memacu jantungku berdegup lebih cepat.
“Lama sekali. Seharusnya kamu tidak meninggalkan seorang wanita sendirian,” cerocos Mbak Niken sambil melirikku.”Untung saja ada aku yang menemaninya”
Mas Andre tertawa, memamerkan sederet gigi putihnya yang rapi. Lalu ia melemparkan matanya ke arahku sambil tersenyum “Maaf ya, Olin”
Aku hanya mengangguk kecil. Tetapi kakiku lemas setiap melihat senyum itu.


Seperti biasa, Mas Andre telah berdiri manis dihujani sinar matahari pagi di depan gerbang rumahnya.
“Selamat pagi, Mas,” sambutku ceria dari kursi belakang Honda Jazz Merah.
“Selamat Pagi juga, Olin,” jawabnya dengan senyum yang menghias. Aku langsung memegangi lututku. Lemas.
“Selamat Pagi, Mang Asep,” sambut Mas Andre setelah duduk manis di sebelahku kepada supirku.
Mas Andre memang ramah. Itu yang membuatku menyukainya.
“Agenda hari ini adalah siaran di Imagine Radio, bedah buku di Universitas Harapan Kasih, launching buku di Senayan City. Well, hari ini agendamu tidak terlalu padat. Jadi, kalau kamu ingin berjalan-jalan kamu bisa gunakan hari ini.”, jelas Mas Andre membacakan agendaku seperti biasa.
Aku hanya menerawang ke luar melalui kaca mobil. Memikirkan seseorang yang ingin kutemui, tapi tidak tahu dimana keberadaannya.
“Ohya, ada yang ingin mengajakmu makan siang hari ini”
“Siapa?,” tanyaku langsung sambil melepas pandanganku dari luar dan menuju ke Mas Andre.
“Irgi. Katanya dia teman SMA mu? Ingat?”
Tentu saja. Dia mantanku saat SMA. Mau apa dia?
“Aku nggak mau, Mas”
“Kamu yakin? Padahal dia sudah menghubungi Mas seminggu terakhir ini. Meminta Mas untuk menyelipkan jadwal makan siang bersamanya di agendamu. Sayangnya, seminggu terakhir ini agendamu penuh. Terpaksa Mas menundanya. Tapi baiklah kalau kamu tidak mau.”
Seminggu terakhir? Seniat itukah irgi? Terakhir kami bertemu adalah Ramadhan 2 tahun yang lalu. Setelah itu tidak pernah saling kontak.
“Kemarin Mas ngobrol dengan Dian. Orang dari Air Mineral Tirta, kamu tahukan?”
“Iya,” anggukku serius. “Air mineral berperisa itukan ? Terus kenapa Mas?”
“Kalau kamu nggak keberatan, aku ingin menambahkan agendamu dengan membintangi iklan tersebut. Kemarin Dian kasih tawaran itu. Itu kalau kamu nggak keberatan, bagaimana?”
“Aku mau kok, Mas”
“Oke,” jawab mas Andre dengan senyum merekah. Tangannya menari-nari di buku agenda biru miliknya.
Apa Irgi berniat balikan denganku? Masa iya sih?
“Ohiya. Prosa Magazine ingin menyediakan satu rubrik khusus untuk kamu. Rubrik bulanan. Kamu bisa menuliskan apa saja di dalamnya. Kamu mau memikirkannya terlebih dahulu?,”
“Hemm…ya aku aku akan pikirkan, Mas. Mas Andre juga bantu kasih masukan ya”
“Sip,”. Tangannya kembali menari di agenda biru itu.
Aku selalu suka bagaimana cara Mas Andre melemparkan berbagai tawaran kepadaku. Tidak memaksa. Setiap kata yang dipilihnya begitu lembut dan sopan. Mungkin itulah yang membuatku bertahan selama setahun terakhir ber-manajerkan Mas Andre. Sebelumnya, manajerku adalah perempuan, yaitu Mbak Aryani yang merupakan sepupuku. Karena harus menikah, ia terpaksa melepas jabatannya sebagai manajerku. Lalu, mengenalkanku dengan temannya, yaitu Mas Andre. Ada banyak keraguan, juga kecanggungan saat pertama kali bermanajerkan Mas Andre. Pasalnya dia adalah seorang lelaki. Aku khawatir, ia tidak dapat mengerti aku. Apalagi dengan kehidupan sosialku saat itu.
“Satu lagi. Minggu depan, ada undangan makan malam dariku. Bersediakah?”
Aku nyaris tersedak. Meski tidak sedang makan apapun. Tentu saja aku bisa. Apa dia akan melamarku?
“Oh pati bisa kok, Mas,” jawabku dengan senyum sumringah.
“Bagus”



“Mas Andre, kita mau makan siang dimana?,” tanyaku langsung setelah keluar dari Imagine Radio.
“Maaf. Olin, hari ini aku nggak bisa menemani kamu makan siang. Aku ada janji dengan temanku. Kamu nggak keberatankan? Atau aku minta Niken untuk temani kamu makan siang?,” jelas Mas Andre. Seperti biasa, kata-kata yang dipilihnya selalu lembut dan sopan. Dari nada bicaranya juga tersirat rasa penyesalan.
“Oh oke. Nggak masalah kok Mas,” jawabku mencoba agak tidak terdengar kecewa.
Kami hanya diam di dalam lift yang mengantarkan ke lantai dasar. Imagine Radio berada di salah satu Mall besar di Jakarta.
“Mas, aku ingin makan siang dengan Irgi saja. Bisa tolong beritahu dia?”



Aku mengaduk orange juice dengan malas. Isinya tinggal setengah. Kalau tahu Mas Andre, aku pasti sudah dicekiknya karena telah menghabiskan setengah gelas orange juice sebelum makan nasi. Pasalnya, aku memiliki penyakit maag. Pikiranku melayang ke Mas Andre. Mengapa Mas Andre tidak memberitahuku terlebih dahulu kalau dia akan makan siang dengan temannya? Lalu siapakah teman yang dia maksud? Mengapa aku tidak dikenalkan? Apakah teman yang ditemuinya kemarin di launching buku?
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Mencoba menepis pikiran tentang Mas Andre. Dia hanya manajerku. Dia juga seorang manusia. Dia butuh privasi. Sama halnya dengan aku yang butuh privasi, makanya hanya orang-orang tertentu yang dapat menghubungiku. Sisanya, berurusan saja dengan Mas Andre. Begitu juga dengan Irgi.
Irgi? Iya lelaki itu. Aku yakin. Lelaki berkaus kuning dengan jaket putih yang membungkusnya itu adalah Irgi. Tatapan mencari seseorang dari matanya itu tak pernah bisa menggantikan Irgi dengan siapapun. Karena ekspresi bodoh mencari-carinya itulah yang selalu kusuka. Tetapi 5 tahun lalu, gerutuku dalam hati.
Irgi menangkap mataku dan seketika menghampiri meja—tempat aku menunggu sejak 30 menit yang lalu.
“Hai Olin. Maaf udah buat kamu menunggu lama. Masih ingat akukan? Irgi?,”
Irgi mengawali kalimat pertamanya dengan sangat lancar. Kalimat pertama yang dia ucapkan padaku sejak 2 tahun tidak bertemu ataupun kontak. Sementara aku? aku beresi keras menelan ludah dan mengumpulkan sekuat tenaga membalas pertanyaannya. Harus kuakui, aku merasa gugup.
“Tentu saja aku ingat. Aku belum menjadi nenek hingga mudah lupa”, jawabku.
Irgi tertawa kecil. Aku juga mengikuti. Mencairkan kecanggungan yang mungkin saja akan datang.
Anyway, aku lapar. Bisa kita pesan makan sekarang?,” tanyaku.
“Ohiya. Pasti,” jawab Irgi salah tingkah.
Waitress baru saja pergi setelah mencatat pesananku dan Irgi.
“Aku dapat telepon mendadak dari manajermu untuk makan siang bareng kamu. Makanya aku sedikit terlambat. Maaf”, ucap Irgi membuka percakapan.
Its Okay. Aku juga minta maaf karena telah mengabarimu mendadak”
“Kamu nggak perlu minta maaf. Aku mengerti kok, kegiatanmua begitu padat. Kamu sudah meluangkan waktu untukku saja, rasanya sudah sangat senang hatiku.”
Ini gombal, Olin. Ingat itu!
Aku hanya tersenyum. Tidak tahu atau lebih tepatnya malas harus menimpali apa.
“Kata Mas Andre, kamu berusaha untuk makan siang bersamaku sejaminggu terakhir ini. Ada apa memangnya?,” tanyaku sambil mengaduk soto betawi pesananku yang telah tiba.
“Hanya ingin melihatmu. Aku…”
Mataku langsung terangkat dari mangkuk soto betawi saat mendengar ucapan Irgi yang menggantung. Berharap dia melanjutkan omongannya yang menggantung.
“Aku kangen sama kamu, Lin. Sudah 2 tahun lho kita nggak ketemu”
Aku hanya tersenyum kecil. Senyum mengejek. Juga benci mendengar pernyataan Irgi. Khawatir. Kalau-kalau perasaan untuk Irgi kembali muncul setelah sekian lama dapat kuhapus. Irgi memang pria yang baik. Aku tahu dia begitu menyayangiku, tetapi aku lebih tahu kalau dia lebih menyayangi seluruh isi game di pcnya. Itulah yang membuat aku putus dengan Irgi. Kecintaannya dengan game tak bisa lagi kumaafkan.
“Kamu kangen nggak sama aku, Lin?”
“Hmm, aku kangen sama kamu dan juga teman-teman SMA lainnya. Sayang aku nggak punya nomor mereka, jadi nggak bisa menghubungi mereka”, jawabku merekayasa. Tidak ingin Irgi merasa geer karena aku merindukannya.
“Iya. Dengan jadwal kamu yang padat, pasti kamu susah untuk bertemu dnegan mereka ya. Tapi, kamu masih sering ketemu dengan Illina kan? Kudengar, sekarang dia menjadi penerjemah. Apa itu benar?”
Aku nyaris tersedak mendengar nama itu. Sebuah nama yang telah kukubur selama 3 tahun terakhir. Nama yang begitu indah, tapi juga menyakitkan jika harus kuingat, meski tidak benar-benar aku lupakan.
“Sebaiknya kta makan dulu. Obrolannya kita lanjutkan nanti. Aku lapar sekali” 



0 comments:

© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis