Olin,
penulis muda berbakat yang sedang naik daun memiliki segalanya,
kecuali satu hal.
“Aku suka
banget mbak dengan ilustrasi untuk cover
novel terbaruku. Akhirnya bisa digambarin
juga sama Mbak Niken. Maklum, Mbak Niken kan super sibuk”,
cerocosku setelah menempelkan bokongku di kursi empuk di sebuah kedai
kopi yang berada dalam Mall.
“Aku juga
senang bisa buatin
ilustrasi untuk cover
novelis yang lagi naik daun ini. Maaf ya baru bisa buatin di novel
kelima kamu ini,” balas Mbak Niken dengan senyum lembut dan cantik.
Mbak Niken
adalah ilustrator cover
di Penerbit Ilusi, penerbit tempat aku bernaung.. Aku mengenalnya
sejak novel keduaku terbit. Kami memang dekat, Mbak Niken sudah
kuanggap seperti kakak perempuanku, sekaligus teman curhat, juga
teman berbagi inspirasiku.
“Iya,
Mbak. Terima kasih banyak lho. Nanti buatin
lagi untuk novel-novel selanjutnya ya. hihi,” godaku.
“Sip.
Tenang aja. Omong-omong, Andre kemana? Kamu datang sama dia kan?,”
tanya Mbak Niken dengan celingak celinguk, mencari sosok lelaki yang
bersamaku.
Mas Andre
adalah manajerku setahun belakangan ini.
“Tadi di
acara launching novelku,
Mas Andre ketemu sahabat lamanya. Jadi, dia minta waktu untuk ngobrol
sebentar. Tapi nanti dia kesini kok,” jawabku.
“Ooh
begitu. Ohya, bagaimana hubungan kamu dengan Andre? Sudah sampai
mana?,” tanya Mbak Niken tiba-tiba.
“Yaa,
hubungan layaknya manajer dengan penulis. Memang, maksudnya Mbak
Niken, hubungan yang seperti apa?,” tanyaku menahan wajah yang
sepertinya mulai memerah.
“Olin,
aku tuh tahu lagi kalau kamu sebenarnya suka kan sama Andre? Aku bisa
lihat kok dari tatapan
kamu ke dia,” ungkap Mbak Niken tepat sasaran.
“Duh
susah ya punya teman kayak
Mbak Niken. Jeli banget matanya,” jawabku tak mengelak.
“Jadi?,”
“Aku
nggak tahu gimana
perasaannya Mas Andre ke aku, Mbak,” jawabku sedih.
“Yasudah,
kamu tanyakan saja”
Mataku
langsung melotot. Semudah itukah menurut Mbak
Niken? Tentu saja tidak buatku gerutuku dalam
hati.
“Kamu
beritahu saja bagaimana perasaanmu ke Andre. Nanti dia juga akan
balas memberitahu perasaannya. Jadi kamu tidak akan bertanya-tanya
sendiri seperti inikan?”
“Tapi,
Mbak. Aku kan perempuan….”
“Lho
memangnya kenapa? Nggak salah kok seorang perempuan menyampaikan
perasaannya ke seorang pria yang dia suka.”
Aku
tertunduk. Menerawang ke dalam cangkir berisi coklat panas yang
kupesan. Seolah mencari kebenaran dari perkataan Mbak Niken di dasar
gelas yang terisi gelapnya coklat.
Mbak Niken
menyentuh tanganku lembut. “Ingat, kamu hanya menyampaikan
perasaanmu ke Andre, bukan memintanya untuk menjadi suamimu”
Aku
tersenyum lembut menatap Mbak Niken yang tersenyum hangat. “Akan
kupikirkan, Mbak,” jawabku jujur.
“Halo.
Ladies. Sudah menunggu
lamakah?,” tanya Mas Andre yang memecah keseriusan perbincanganku
tadi dengan Mbak Niken.
Aku
terlonjak kaget. Seperti biasa. Kedatangan Mas Andre selalu memacu
jantungku berdegup lebih cepat.
“Lama
sekali. Seharusnya kamu tidak meninggalkan seorang wanita sendirian,”
cerocos Mbak Niken sambil melirikku.”Untung saja ada aku yang
menemaninya”
Mas Andre
tertawa, memamerkan sederet gigi putihnya yang rapi. Lalu ia
melemparkan matanya ke arahku sambil tersenyum “Maaf ya, Olin”
Aku hanya
mengangguk kecil. Tetapi kakiku lemas setiap melihat senyum itu.
Seperti
biasa, Mas Andre telah berdiri manis dihujani sinar matahari pagi di
depan gerbang rumahnya.
“Selamat
pagi, Mas,” sambutku ceria dari kursi belakang Honda Jazz Merah.
“Selamat
Pagi juga, Olin,” jawabnya dengan senyum yang menghias. Aku
langsung memegangi lututku. Lemas.
“Selamat
Pagi, Mang Asep,” sambut Mas Andre setelah duduk manis di
sebelahku kepada supirku.
Mas Andre
memang ramah. Itu yang membuatku menyukainya.
“Agenda
hari ini adalah siaran di Imagine Radio, bedah buku di Universitas
Harapan Kasih, launching
buku di Senayan City. Well, hari ini agendamu tidak terlalu padat.
Jadi, kalau kamu ingin berjalan-jalan kamu bisa gunakan hari ini.”,
jelas Mas Andre membacakan agendaku seperti biasa.
Aku hanya
menerawang ke luar melalui kaca mobil. Memikirkan seseorang yang
ingin kutemui, tapi tidak tahu dimana keberadaannya.
“Ohya,
ada yang ingin mengajakmu makan siang hari ini”
“Siapa?,”
tanyaku langsung sambil melepas pandanganku dari luar dan menuju ke
Mas Andre.
“Irgi.
Katanya dia teman SMA mu? Ingat?”
Tentu
saja. Dia mantanku
saat SMA. Mau apa dia?
“Aku
nggak mau, Mas”
“Kamu
yakin? Padahal dia sudah menghubungi Mas seminggu terakhir ini.
Meminta Mas untuk menyelipkan jadwal makan siang bersamanya di
agendamu. Sayangnya, seminggu terakhir ini agendamu penuh. Terpaksa
Mas menundanya. Tapi baiklah kalau kamu tidak mau.”
Seminggu
terakhir? Seniat itukah irgi? Terakhir kami bertemu adalah Ramadhan 2
tahun yang lalu. Setelah itu tidak pernah saling kontak.
“Kemarin
Mas ngobrol dengan Dian. Orang dari Air Mineral Tirta, kamu tahukan?”
“Iya,”
anggukku serius. “Air mineral berperisa itukan ? Terus kenapa Mas?”
“Kalau
kamu nggak keberatan, aku ingin menambahkan agendamu dengan
membintangi iklan tersebut. Kemarin Dian kasih tawaran itu. Itu kalau
kamu nggak keberatan, bagaimana?”
“Aku mau
kok, Mas”
“Oke,”
jawab mas Andre dengan senyum merekah. Tangannya menari-nari di buku
agenda biru miliknya.
Apa
Irgi berniat balikan
denganku? Masa iya sih?
“Ohiya.
Prosa Magazine ingin
menyediakan satu rubrik khusus untuk kamu. Rubrik bulanan. Kamu bisa
menuliskan apa saja di dalamnya. Kamu mau memikirkannya terlebih
dahulu?,”
“Hemm…ya
aku aku akan pikirkan, Mas. Mas Andre juga bantu kasih masukan ya”
“Sip,”.
Tangannya kembali menari di agenda biru itu.
Aku selalu
suka bagaimana cara Mas Andre melemparkan berbagai tawaran kepadaku.
Tidak memaksa. Setiap kata yang dipilihnya begitu lembut dan sopan.
Mungkin itulah yang membuatku bertahan selama setahun terakhir
ber-manajerkan Mas Andre. Sebelumnya, manajerku adalah perempuan,
yaitu Mbak Aryani yang merupakan sepupuku. Karena harus menikah, ia
terpaksa melepas jabatannya sebagai manajerku. Lalu, mengenalkanku
dengan temannya, yaitu Mas Andre. Ada banyak keraguan, juga
kecanggungan saat pertama kali bermanajerkan Mas Andre. Pasalnya dia
adalah seorang lelaki. Aku khawatir, ia tidak dapat mengerti aku.
Apalagi dengan kehidupan sosialku saat itu.
“Satu
lagi. Minggu depan, ada undangan makan malam dariku. Bersediakah?”
Aku nyaris
tersedak. Meski tidak sedang makan apapun. Tentu
saja aku bisa. Apa dia akan melamarku?
“Oh pati
bisa kok, Mas,” jawabku dengan senyum sumringah.
“Bagus”
“Mas
Andre, kita mau makan siang dimana?,” tanyaku langsung setelah
keluar dari Imagine Radio.
“Maaf.
Olin, hari ini aku nggak bisa menemani kamu makan siang. Aku ada
janji dengan temanku. Kamu nggak keberatankan? Atau aku minta Niken
untuk temani kamu makan siang?,” jelas Mas Andre. Seperti biasa,
kata-kata yang dipilihnya selalu lembut dan sopan. Dari nada
bicaranya juga tersirat rasa penyesalan.
“Oh oke.
Nggak masalah kok Mas,” jawabku mencoba agak tidak terdengar
kecewa.
Kami hanya
diam di dalam lift
yang mengantarkan ke lantai dasar. Imagine Radio berada di salah satu
Mall besar di Jakarta.
“Mas, aku
ingin makan siang dengan Irgi saja. Bisa tolong beritahu dia?”
Aku
mengaduk orange juice
dengan malas. Isinya tinggal setengah. Kalau tahu Mas Andre, aku
pasti sudah dicekiknya karena telah menghabiskan setengah gelas
orange juice sebelum
makan nasi. Pasalnya, aku memiliki penyakit maag.
Pikiranku melayang ke Mas Andre. Mengapa Mas
Andre tidak memberitahuku terlebih dahulu kalau dia akan makan siang
dengan temannya? Lalu siapakah teman yang dia maksud? Mengapa aku
tidak dikenalkan? Apakah teman yang ditemuinya kemarin di launching
buku?
Aku
menggeleng-gelengkan kepalaku. Mencoba menepis pikiran tentang Mas
Andre. Dia hanya manajerku. Dia juga seorang manusia. Dia butuh
privasi. Sama halnya dengan aku yang butuh privasi, makanya hanya
orang-orang tertentu yang dapat menghubungiku. Sisanya, berurusan
saja dengan Mas Andre. Begitu juga dengan Irgi.
Irgi? Iya
lelaki itu. Aku yakin. Lelaki berkaus kuning dengan jaket putih yang
membungkusnya itu adalah Irgi. Tatapan mencari seseorang dari matanya
itu tak pernah bisa menggantikan Irgi dengan siapapun. Karena
ekspresi bodoh mencari-carinya itulah yang selalu kusuka. Tetapi
5 tahun lalu, gerutuku dalam hati.
Irgi
menangkap mataku dan seketika menghampiri meja—tempat aku menunggu
sejak 30 menit yang lalu.
“Hai
Olin. Maaf udah buat kamu menunggu lama. Masih ingat akukan? Irgi?,”
Irgi
mengawali kalimat pertamanya dengan sangat lancar. Kalimat pertama
yang dia ucapkan padaku sejak 2 tahun tidak bertemu ataupun kontak.
Sementara aku? aku beresi keras menelan ludah dan mengumpulkan sekuat
tenaga membalas pertanyaannya. Harus kuakui, aku merasa gugup.
“Tentu
saja aku ingat. Aku belum menjadi nenek hingga mudah lupa”,
jawabku.
Irgi
tertawa kecil. Aku juga mengikuti. Mencairkan kecanggungan yang
mungkin saja akan datang.
“Anyway,
aku lapar. Bisa kita pesan makan sekarang?,” tanyaku.
“Ohiya.
Pasti,” jawab Irgi salah tingkah.
Waitress
baru saja pergi setelah mencatat pesananku dan Irgi.
“Aku
dapat telepon mendadak dari manajermu untuk makan siang bareng kamu.
Makanya aku sedikit terlambat. Maaf”, ucap Irgi membuka percakapan.
“Its
Okay. Aku juga minta maaf karena telah
mengabarimu mendadak”
“Kamu
nggak perlu minta maaf. Aku mengerti kok, kegiatanmua begitu padat.
Kamu sudah meluangkan waktu untukku saja, rasanya sudah sangat senang
hatiku.”
Ini
gombal, Olin. Ingat itu!
Aku hanya
tersenyum. Tidak tahu atau lebih tepatnya malas harus menimpali apa.
“Kata Mas
Andre, kamu berusaha untuk makan siang bersamaku sejaminggu terakhir
ini. Ada apa memangnya?,” tanyaku sambil mengaduk soto betawi
pesananku yang telah tiba.
“Hanya
ingin melihatmu. Aku…”
Mataku
langsung terangkat dari mangkuk soto betawi saat mendengar ucapan
Irgi yang menggantung. Berharap dia melanjutkan omongannya yang
menggantung.
“Aku
kangen sama kamu, Lin. Sudah 2 tahun lho
kita nggak ketemu”
Aku hanya
tersenyum kecil. Senyum mengejek. Juga benci mendengar pernyataan
Irgi. Khawatir. Kalau-kalau perasaan untuk Irgi kembali muncul
setelah sekian lama dapat kuhapus. Irgi memang pria yang baik. Aku
tahu dia begitu menyayangiku, tetapi aku lebih tahu kalau dia lebih
menyayangi seluruh isi game di pcnya.
Itulah yang membuat aku putus dengan Irgi. Kecintaannya dengan game
tak bisa lagi kumaafkan.
“Kamu
kangen nggak sama aku, Lin?”
“Hmm, aku
kangen sama kamu dan juga teman-teman SMA lainnya. Sayang aku nggak
punya nomor mereka, jadi nggak bisa menghubungi mereka”, jawabku
merekayasa. Tidak ingin Irgi merasa geer
karena aku merindukannya.
“Iya.
Dengan jadwal kamu yang padat, pasti kamu susah untuk bertemu dnegan
mereka ya. Tapi, kamu masih sering ketemu dengan Illina kan?
Kudengar, sekarang dia menjadi penerjemah. Apa itu benar?”
Aku nyaris
tersedak mendengar nama itu. Sebuah nama yang telah kukubur selama 3
tahun terakhir. Nama yang begitu indah, tapi juga menyakitkan jika
harus kuingat, meski tidak benar-benar aku lupakan.
“Sebaiknya
kta makan dulu. Obrolannya kita lanjutkan nanti. Aku lapar sekali”
0 comments:
Post a Comment