July 29, 2012

Dua Belas Jam Aldina #1




Jika aku tahu berapa lama waktu yang masih tersisa untuk bersamamu, maka aku takkan memendam semua perasaanku hingga batas waktu yang tak tentu.
Jika aku tahu berapa lama waktu yang diberikan Tuhan untukmu, aku tak akan pernah mengendapkan perasaanku

Kulirik jam tangan biru metalikku yang menunjukkan tepat pukul 10. Matahari di hari Sabtu ini bersinar malu-malu. Angin yang berhembus sesekali menerbangkan rambutku. Hari ini begitu sejuk. Aku berdoa semoga hari ini tidak hujan. Hari yang akan kulewatkan dengan teman lamaku, Ega.
Ega berjalan menuju halte tempat aku menunggu dengan langkah pasti. Seuntai senyumnya yang manis dan khas telah terlihat dari kejauhan. Ega yang kini telah sampai di hadapanku adalah Ega yang berbeda dari 7 tahun lalu. Ega yang kukenal 7 tahun lalu—tepatnya saat kami sama-sama berada di bangku Sekolah Menengah Pertama—adalah seorang anak lelaki yang flamboyan. Ega lebih suka bermain bersamaku serta 2 sahabat perempuanku yang lain. Ega yang tak berjalan tegap, melainkan gemulai. Ega yang lebih suka warna merah muda daripada biru atau hitam, layaknya warna favorit anak lelaki. Ega yang perasaannya begitu sensitive, cepat menangis jika diolok-olok temannya. Ega yang pernah begitu menyayangiku. Ya, itulah Ega, sahabatku 7 tahun lalu.
Sekarang, Ega berjalan dengan begitu tegap. Tatapan matanya bisa begitu menusuk setiap gadis yang diajaknya bicara. Kehadirannya selalu menjadi pusat perhatian orang di sekitarnya. Tubuhnya nampak atletis dengan kemeja merah muda dan abu-abu yang membungkus tubuhnya. Kulitnya yang putih bersih seakan dimandikan susu setiap hari. Senyumnya bagaikan ombak yang bisa meruntuhkan istana pasir di pantai.
“Hai, Al”, sambut Ega dengan ramah dan senyumnya yang mempesona.
“Hai Ga. Masih suka warna pink?”, tanyaku iseng sambil menyapukan pandanganku menuju ke kemeja pink abu-abu yang dikenakannya.
“Iya, begitulah”, jawabnya sambil melihat sekilas pada kemeja yang dia kenakan, lalu pandangannya kembali padaku “Kamu manis sekali hari ini, Al”, puji Ega sambil menyapukan matanya melihat aku berflat shoes putih dengan dress pink selutut bertali sphagetti berbalut blazer putih.
“Terima kasih”, ujarku manis.
Ega melempar pandangannya ke arah lain seolah tak sanggup melihat ekspresiku yang melumatkan dirinya.
“Atas gombalannya”, sambungku lagi
“Serius manis, Al. Anyway…kode alam nih sepertinya kita”
Aku mengernyitkan dahi. Meminta penjelasan lebih jauh.
“Kita nggak janjian mau pake baju pink kan? Tapi sama-sama pake baju pink. Alam seolah menyatukan kita. Itu kode alam”, jelasnya sambil mencubit hidungku.
Aku terperangah. Tetapi mencoba untuk biasa saja.
“Siap untuk hari ini?”, tanya Ega yang berhasil mengakhiri kebisuan sejenak yang tercipta.
“Pasti !”, jawabku mantap.
Ega langsung mencuri telapak tanganku, mengaitkan dengan telapak tangannya. Kami menumpang bus tua yang hampir termakan usia menuju sebuah tempat yang menyimpan banyak kenangan diantara kami.
“Wauww bangunan ini nampak asing buatku. Banyak sekali yang berubah. Kamu setuju denganku, bukan?”, tanya Ega terkagum. Matanya tak lepas dari bangunan Sekolah Menengah Pertama kami yang nampak ramai oleh kegiatan ekstrakurikuler.
Aku menggeleng dan menyipitkan mata “Nggak juga ah, Ga”, jawabku yang langsung mematahkan argumen Ega sekaligus berhasil membuat cowok itu mengalihkan pandangannya padaku.
Mata Ega menyipit seolah tidak terima argumennya dipatahkan.
“Nggak ada yang berubah dari bangunan sekolah ini. Masih sama seperti 8 tahun lalu. Masih sama seperti saat aku, Chika, Mia dan teman-teman yang lainnya meninggalkan sekolah ini”
“Tapi…seingatku bangunannya berwarna krem, bukan hijau seperti saat ini”
“Iya, benar. Tapi setelah kamu memutuskan pindah di kenaikan kelas 3, bangunan ini dicat ulang menjadi hijau.”
“Ohya, aku pindah. Kenanganku di sini tentunya nggak akan sebanyak yang kamu miliki.”
“Ya, kamu pindah…tanpa memberitahuku. Sahabat macam apa itu”, dengusku kesal mengingat kepindahan Ega yang tiba-tiba dan tak sempat mengucapkan ‘selamat tinggal’.
“Aku kira kamu begitu membenciku saat itu dan sudah tak lagi menganggapku sebagai sahabat.”, jelas Ega dengan suara rendah. “Jadi, aku rasa aku tidak perlu memberitahumu, karena kamu sudah tidak peduli”. Ada kesedihan dari nada bicara dan matanya yang menerawang entah kemana.
“Bagaimana mungkin?”
“Karena kejadian itu? Bukankah begitu?”, lempar Ega dengan matanya yang menatapku begitu dalam. Seolah ada perasaan tersakiti dari tatapannya.
Aku melepaskan mataku dari Ega dan membiarkan angin menampar wajahku. Hingga sedetik kemudian, Ega mencengkram tanganku “Ada tempat yang ingin kukunjungi. Yuuk !”, ajak Ega lembut.
Aku mematung di depan tembok yang penuh akan berbagai coretan, baik nama, pesan, nama sekolah kami atau tempat tongkrongan yang terkenal semasa kami sekolah hingga saat ini.
“Al, sini deh !”, panggil Ega yang berada di sudut tembok. Wajahnya nampak sumringah seolah telah menemukan harta Fir’aun yang telah lama dicarinya.
Aku menghampirinya dan Ega tersenyum lebar. Ujung telunjuknya mengarah pada sebuah tulisan yang membuatku nyaris tercekat. Tertulis di sana Ega ♥ Aldina. Lalu, sebaris angka yang kuduga sebagai waktu penulisannya 061204.
“Astaga. Ini kamu yang tulis, Ga?”, tanyaku dengan wajah heran sekaligus kaget.
Ega mengangguk. “Kamu, ingat hari apa itu? 6 desember 2004?”
“Entahlah. Mungkin aku harus cek di kalender ponselku. Yang jelas, hari itu nggak mungkin Sabtu atau Minggu karena kamu menulis ini saat berada di sekolah, bukan?”, tanyaku sambil menyapukan pandangan mencari coretan lain. Manatahu ada namaku lagi di sana.
“Bukan begitu maksudku, Al. Hari itu…adalah hari dimana aku menyatakan perasaanku padamu, ingat itu?”, tanya Ega dengan nada yang serius.
Aku menghentikan pencarian namaku di tembok itu dan menengok ke arah Ega yang langsung menangkap mataku.
Ohya. Tentu saja. aku tak pernah sekalipun melupakannya. Karena Ega adalah orang pertama yang menyatakan cinta padaku dan..memintaku menjadi pacarnya saat itu.
“Haha lupa ya Al? Sudah lama juga sih, pantas saja kalau lupa”. Aku mendengar tawa yang terkesan dipaksakan dari Ega dan dia segera melepaskan matanya dari mataku.
“Mana mungkin aku lupa. Aku punya ingatan yang baik kok. Ya, aku ingat hari itu. Kamu keringat dingin mengucapkannya. Chika dan Mia yang menyuruhmukan?”
Chika dan Mia adalah sahabat kami. Kemanapaun kami pergi, bermain dan belajar selalu berempat. Saat kejadian itu berlangsung, Chika dan Mia yang membantu dan mendorong-dorong Ega untuk melakukan perbuatan yang—menurutku—bodoh dan menyebalkan.
“Al, sudah kubilang dari awal kalau bukan Chika dan Mia yang memaksaku. Mereka mengetahui kalau aku menyukaimu dan mengusulkan agar aku menyampaikan perasaanku padamu”
“Dan memintaku menjadi pacarmu?”, tanyaku dengan nada ketus.
“Ya, karena mereka bilang kau juga suka padaku…dan mereka adalah sahabatmu. Kupikir mereka benar, aku mempercayai mereka tetapi nyatanya..”
“Maafkan aku, Ga. Saat itu, Chika dan Mia begitu memaksaku yang justru menjadikanku membenci kamu karena aku merasa mereka lebih menyayangimu daripada aku. Mereka lebih mementingkan perasaanmu ketimbang aku. Mereka tidak pernah bertanya bagaimana perasaanku”
Aku menarik nafas. Mengumpulkan serpihan ingatan dan perasaan 8 tahun lalu.
“Keyakinan dari Chika dan Mia yang membuatku melambung percaya diri sehingga menuliskan tanggal ini sebelum tahu akan seperti apa jawabanmu”
“Maafkanku, Ga. Saat itu, aku hanya menganggapmu sebagai adik sekaligus sahabat bagiku. Rasanya aku ingin melindungimu dari cercaan teman-teman yang mengataimu…”
“Banci”, jawab Ega tanpa ragu.
Aku diam. Mencoba mencari kata yang pantas untuk menaggapi ucapan terakhir Ega, tapi kau tak juga menemukannya.
“Sudahlah. Lupakan saja itu. Mereka pasti sekarang hanya menelan ludah karena melihat Ega Rivano yang mereka olok-olok banci telah berubah seratus delapan puluh derajat”, papar Ega dengan bahagia.
“Setuju!”, jawabku cepat dengan tangan mengepal seolah ingin meninju orang.
Tawa kami meledak bersama.
“Tapi, perasaan yang kunyatakan padamu 8 tahun lalu masih sama hingga saat ini, Al”, ucap Ega menghentikan tawaku seketika.
Aku hanya terperangah. Meski kurasa aku mulai menyukai Ega, tetapi aku tak mau memberi harapan besar atau janji yang aku sendiri tidak pernah tahu apakah dapat kuwujudkan atau tidak nantinya.
Anyway, aku lapar, Al. Kantin yuuk!”, ajak Ega memecah kesunyian.
Kami telah duduk saling berhadapan di salah satu meja yang terdapat di kantin sambil menunggu pesanan mie ayam favorit kami semasa sekolah dulu.
“Jadi, kamu pindah sekolah ke Bandung?”, tanyaku mengawali pembicaraan.
“Iya. Aku nerusin SMP ku yang tinggal setahun itu di Bandung. Lalu balik lagi ke Jakarta pas SMA”
“Mondar-mandir aja. Nggak capek tuh?”
“Nggak kok. Seenggaknya masih lebih capek mengejar kamu”, goda Ega.
“Ih gombal banget deh”
Mie ayam yang kami pesan telah datang dan kami melahapnya dengan mantap sambil sesekali mengobrol.
“kenyanggg”, ujar Ega menyudahi mie ayam yang mangkoknya telah bersih.
“Rasanya masih sama ya, Ga”
“Iya, masih sama. Sama halnya dengan perasaanku ke kamu”
Bisa kurasakan pipiku bersemu merah mendengar perkataan Ega. Tetapi aku memilih menyembunyikan wajahku dari tatapan mata Ega.
“Sekarang kamu sibuk apa Ga? Sepertinya kamu sudah jadi eksekutif muda nih?”, tanyaku memecah keheningan.
“Haha bisa aja kamu Al. aku saat ini sedang sibuk kuliah”
“Kudengar kamu punya usaha rumah makan?”
“Iya. Bisnis kecil-kecilan yang modalnya kudapat dari setahun bekerja. Kamu tahukan selepas SMA aku sempat bekerja setahun. Nah setelah mendapat hasil yang lumayan dari usaha rumah makanku, aku memilih kuliah. Hal yang sangat kuinginkan sejak dulu”, jelas Ega.
Ya. Ega memang ingin kuliah sejak awal. Tetapi karena terbentur oleh masalah biaya, Ega mengikhlaskan dirinya bekerja di sebuah Hotel. Kini, Ega mewujudkan mimpinya. Berkuliah, bahkan dengan uangnya sendiri. Ega telah menjadi lelaki mandiri pikirku.
Setelah hujan sempat mengguyur dan memaksa kami menunggu lebih lama di sekolah, akhirnya hujan menyudahi aksinya. Bau hujan masih menyeruak menemani kami berbincang sambil bergegas meninggalkan sekolah.
“Kapan ya aku melewatkan hujan terakhir di sekolah?”, tanyaku yang lebih kutujukan pada diriku sendiri.
“Kalau aku sih ingat betul kapan saat aku melewati hujan terakhir di sekolah”, balas Ega ringan
Aku memalingkan kepalaku ke Ega yang bisa diartikan Ega sebagai sebuah pertanyaan Kapan.
“Saat aku minta maaf kepadamu untuk yang terakhir kalinya”, jawab Ega ringan.
Aku menghentikan langkahku dan memutar kembali hari yang dimaksud Ega. Aku tak pernah melupakan hari itu. Karena hari itu merupakan hari terakhir aku melihat Ega.




0 comments:

© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis