Jika aku
tahu berapa lama waktu yang masih tersisa untuk bersamamu, maka aku
takkan memendam semua perasaanku hingga batas waktu yang tak tentu.
Jika aku
tahu berapa lama waktu yang diberikan Tuhan untukmu, aku tak akan
pernah mengendapkan perasaanku
Kulirik jam
tangan biru metalikku yang menunjukkan tepat pukul 10. Matahari di
hari Sabtu ini bersinar malu-malu. Angin yang berhembus sesekali
menerbangkan rambutku. Hari ini begitu sejuk. Aku berdoa semoga hari
ini tidak hujan. Hari yang akan kulewatkan dengan teman lamaku, Ega.
Ega
berjalan menuju halte tempat aku menunggu dengan langkah pasti.
Seuntai senyumnya yang manis dan khas telah terlihat dari kejauhan.
Ega yang kini telah sampai di hadapanku adalah Ega yang berbeda dari
7 tahun lalu. Ega yang kukenal 7 tahun lalu—tepatnya saat kami
sama-sama berada di bangku Sekolah Menengah Pertama—adalah seorang
anak lelaki yang flamboyan. Ega lebih suka bermain bersamaku serta 2
sahabat perempuanku yang lain. Ega yang tak berjalan tegap, melainkan
gemulai. Ega yang lebih suka warna merah muda daripada biru atau
hitam, layaknya warna favorit anak lelaki. Ega yang perasaannya
begitu sensitive, cepat menangis jika diolok-olok temannya. Ega yang
pernah begitu menyayangiku. Ya, itulah Ega, sahabatku 7 tahun lalu.
Sekarang,
Ega berjalan dengan begitu tegap. Tatapan matanya bisa begitu menusuk
setiap gadis yang diajaknya bicara. Kehadirannya selalu menjadi
pusat perhatian orang di sekitarnya. Tubuhnya nampak atletis dengan
kemeja merah muda dan abu-abu yang membungkus tubuhnya. Kulitnya yang
putih bersih seakan dimandikan susu setiap hari. Senyumnya bagaikan
ombak yang bisa meruntuhkan istana pasir di pantai.
“Hai,
Al”, sambut Ega dengan ramah dan senyumnya yang mempesona.
“Hai Ga.
Masih suka warna pink?”, tanyaku iseng sambil menyapukan
pandanganku menuju ke kemeja pink abu-abu yang dikenakannya.
“Iya,
begitulah”, jawabnya sambil melihat sekilas pada kemeja yang dia
kenakan, lalu pandangannya kembali padaku “Kamu manis sekali hari
ini, Al”, puji Ega sambil menyapukan matanya melihat aku berflat
shoes putih dengan dress
pink selutut bertali sphagetti berbalut blazer putih.
“Terima
kasih”, ujarku manis.
Ega
melempar pandangannya ke arah lain seolah tak sanggup melihat
ekspresiku yang melumatkan dirinya.
“Atas
gombalannya”, sambungku lagi
“Serius
manis, Al. Anyway…kode
alam nih sepertinya kita”
Aku
mengernyitkan dahi. Meminta penjelasan lebih jauh.
“Kita
nggak janjian mau pake baju pink kan? Tapi sama-sama pake baju pink.
Alam seolah menyatukan kita. Itu kode alam”, jelasnya sambil
mencubit hidungku.
Aku
terperangah. Tetapi mencoba untuk biasa saja.
“Siap
untuk hari ini?”, tanya Ega yang berhasil mengakhiri kebisuan
sejenak yang tercipta.
“Pasti
!”, jawabku mantap.
Ega
langsung mencuri telapak tanganku, mengaitkan dengan telapak
tangannya. Kami menumpang bus tua yang hampir termakan usia menuju
sebuah tempat yang menyimpan banyak kenangan diantara kami.
“Wauww
bangunan ini nampak asing buatku. Banyak sekali yang berubah. Kamu
setuju denganku, bukan?”, tanya Ega terkagum. Matanya tak lepas
dari bangunan Sekolah Menengah Pertama kami yang nampak ramai oleh
kegiatan ekstrakurikuler.
Aku
menggeleng dan menyipitkan mata “Nggak juga ah, Ga”, jawabku yang
langsung mematahkan argumen Ega sekaligus berhasil membuat cowok itu
mengalihkan pandangannya padaku.
Mata Ega
menyipit seolah tidak terima argumennya dipatahkan.
“Nggak
ada yang berubah dari bangunan sekolah ini. Masih sama seperti 8
tahun lalu. Masih sama seperti saat aku, Chika, Mia dan teman-teman
yang lainnya meninggalkan sekolah ini”
“Tapi…seingatku
bangunannya berwarna krem, bukan hijau seperti saat ini”
“Iya,
benar. Tapi setelah kamu memutuskan pindah di kenaikan kelas 3,
bangunan ini dicat ulang menjadi hijau.”
“Ohya,
aku pindah. Kenanganku di sini tentunya nggak akan sebanyak yang kamu
miliki.”
“Ya, kamu
pindah…tanpa memberitahuku. Sahabat macam apa itu”, dengusku
kesal mengingat kepindahan Ega yang tiba-tiba dan tak sempat
mengucapkan ‘selamat tinggal’.
“Aku kira
kamu begitu membenciku saat itu dan sudah tak lagi menganggapku
sebagai sahabat.”, jelas Ega dengan suara rendah. “Jadi, aku rasa
aku tidak perlu memberitahumu, karena kamu sudah tidak peduli”. Ada
kesedihan dari nada bicara dan matanya yang menerawang entah kemana.
“Bagaimana
mungkin?”
“Karena
kejadian itu? Bukankah begitu?”, lempar Ega dengan matanya yang
menatapku begitu dalam. Seolah ada perasaan tersakiti dari
tatapannya.
Aku
melepaskan mataku dari Ega dan membiarkan angin menampar wajahku.
Hingga sedetik kemudian, Ega mencengkram tanganku “Ada tempat yang
ingin kukunjungi. Yuuk !”, ajak Ega lembut.
Aku
mematung di depan tembok yang penuh akan berbagai coretan, baik nama,
pesan, nama sekolah kami atau tempat tongkrongan yang terkenal
semasa kami sekolah hingga saat ini.
“Al, sini
deh !”, panggil Ega yang berada di sudut tembok. Wajahnya nampak
sumringah seolah telah menemukan harta Fir’aun yang telah lama
dicarinya.
Aku
menghampirinya dan Ega tersenyum lebar. Ujung telunjuknya mengarah
pada sebuah tulisan yang membuatku nyaris tercekat. Tertulis di sana
Ega ♥ Aldina. Lalu, sebaris angka yang kuduga sebagai waktu
penulisannya 061204.
“Astaga.
Ini kamu yang tulis, Ga?”, tanyaku dengan wajah heran sekaligus
kaget.
Ega
mengangguk. “Kamu, ingat hari apa itu? 6 desember 2004?”
“Entahlah.
Mungkin aku harus cek di kalender ponselku. Yang jelas, hari itu
nggak mungkin Sabtu atau Minggu karena kamu menulis ini saat berada
di sekolah, bukan?”, tanyaku sambil menyapukan pandangan mencari
coretan lain. Manatahu ada namaku lagi di sana.
“Bukan
begitu maksudku, Al. Hari itu…adalah hari dimana aku menyatakan
perasaanku padamu, ingat itu?”, tanya Ega dengan nada yang serius.
Aku
menghentikan pencarian namaku di tembok itu dan menengok ke arah Ega
yang langsung menangkap mataku.
Ohya. Tentu
saja. aku tak pernah sekalipun melupakannya. Karena Ega adalah orang
pertama yang menyatakan cinta padaku dan..memintaku menjadi pacarnya
saat itu.
“Haha
lupa ya Al? Sudah lama juga sih, pantas saja kalau lupa”. Aku
mendengar tawa yang terkesan dipaksakan dari Ega dan dia segera
melepaskan matanya dari mataku.
“Mana
mungkin aku lupa. Aku punya ingatan yang baik kok. Ya, aku ingat hari
itu. Kamu keringat dingin mengucapkannya. Chika dan Mia yang
menyuruhmukan?”
Chika dan
Mia adalah sahabat kami. Kemanapaun kami pergi, bermain dan belajar
selalu berempat. Saat kejadian itu berlangsung, Chika dan Mia yang
membantu dan mendorong-dorong Ega untuk melakukan perbuatan
yang—menurutku—bodoh dan menyebalkan.
“Al,
sudah kubilang dari awal kalau bukan Chika dan Mia yang memaksaku.
Mereka mengetahui kalau aku menyukaimu dan mengusulkan agar aku
menyampaikan perasaanku padamu”
“Dan
memintaku menjadi pacarmu?”, tanyaku dengan nada ketus.
“Ya,
karena mereka bilang kau juga suka padaku…dan mereka adalah
sahabatmu. Kupikir mereka benar, aku mempercayai mereka tetapi
nyatanya..”
“Maafkan
aku, Ga. Saat itu, Chika dan Mia begitu memaksaku yang justru
menjadikanku membenci kamu karena aku merasa mereka lebih
menyayangimu daripada aku. Mereka lebih mementingkan perasaanmu
ketimbang aku. Mereka tidak pernah bertanya bagaimana perasaanku”
Aku menarik
nafas. Mengumpulkan serpihan ingatan dan perasaan 8 tahun lalu.
“Keyakinan
dari Chika dan Mia yang membuatku melambung percaya diri sehingga
menuliskan tanggal ini sebelum tahu akan seperti apa jawabanmu”
“Maafkanku,
Ga. Saat itu, aku hanya menganggapmu sebagai adik sekaligus sahabat
bagiku. Rasanya aku ingin melindungimu dari cercaan teman-teman yang
mengataimu…”
“Banci”,
jawab Ega tanpa ragu.
Aku diam.
Mencoba mencari kata yang pantas untuk menaggapi ucapan terakhir Ega,
tapi kau tak juga menemukannya.
“Sudahlah.
Lupakan saja itu. Mereka pasti sekarang hanya menelan ludah karena
melihat Ega Rivano yang mereka olok-olok banci telah berubah seratus
delapan puluh derajat”, papar Ega dengan bahagia.
“Setuju!”,
jawabku cepat dengan tangan mengepal seolah ingin meninju orang.
Tawa kami
meledak bersama.
“Tapi,
perasaan yang kunyatakan padamu 8 tahun lalu masih sama hingga saat
ini, Al”, ucap Ega menghentikan tawaku seketika.
Aku hanya
terperangah. Meski kurasa aku mulai menyukai Ega, tetapi aku tak mau
memberi harapan besar atau janji yang aku sendiri tidak pernah tahu
apakah dapat kuwujudkan atau tidak nantinya.
“Anyway,
aku lapar, Al. Kantin yuuk!”, ajak Ega memecah kesunyian.
Kami telah
duduk saling berhadapan di salah satu meja yang terdapat di kantin
sambil menunggu pesanan mie ayam favorit kami semasa sekolah dulu.
“Jadi,
kamu pindah sekolah ke Bandung?”, tanyaku mengawali pembicaraan.
“Iya. Aku
nerusin SMP ku yang
tinggal setahun itu di Bandung. Lalu balik lagi ke Jakarta pas SMA”
“Mondar-mandir
aja. Nggak capek tuh?”
“Nggak
kok. Seenggaknya masih lebih capek mengejar kamu”, goda Ega.
“Ih
gombal banget deh”
Mie ayam
yang kami pesan telah datang dan kami melahapnya dengan mantap sambil
sesekali mengobrol.
“kenyanggg”,
ujar Ega menyudahi mie ayam yang mangkoknya telah bersih.
“Rasanya
masih sama ya, Ga”
“Iya,
masih sama. Sama halnya dengan perasaanku ke kamu”
Bisa
kurasakan pipiku bersemu merah mendengar perkataan Ega. Tetapi aku
memilih menyembunyikan wajahku dari tatapan mata Ega.
“Sekarang
kamu sibuk apa Ga? Sepertinya kamu sudah jadi eksekutif muda nih?”,
tanyaku memecah keheningan.
“Haha
bisa aja kamu Al. aku saat ini sedang sibuk kuliah”
“Kudengar
kamu punya usaha rumah makan?”
“Iya.
Bisnis kecil-kecilan yang modalnya kudapat dari setahun bekerja. Kamu
tahukan selepas SMA aku sempat bekerja setahun. Nah setelah mendapat
hasil yang lumayan dari usaha rumah makanku, aku memilih kuliah. Hal
yang sangat kuinginkan sejak dulu”, jelas Ega.
Ya. Ega
memang ingin kuliah sejak awal. Tetapi karena terbentur oleh masalah
biaya, Ega mengikhlaskan dirinya bekerja di sebuah Hotel. Kini, Ega
mewujudkan mimpinya. Berkuliah, bahkan dengan uangnya sendiri. Ega
telah menjadi lelaki mandiri pikirku.
Setelah
hujan sempat mengguyur dan memaksa kami menunggu lebih lama di
sekolah, akhirnya hujan menyudahi aksinya. Bau hujan masih menyeruak
menemani kami berbincang sambil bergegas meninggalkan sekolah.
“Kapan ya
aku melewatkan hujan terakhir di sekolah?”, tanyaku yang lebih
kutujukan pada diriku sendiri.
“Kalau
aku sih ingat betul kapan saat aku melewati hujan terakhir di
sekolah”, balas Ega ringan
Aku
memalingkan kepalaku ke Ega yang bisa diartikan Ega sebagai sebuah
pertanyaan Kapan.
“Saat aku
minta maaf kepadamu untuk yang terakhir kalinya”, jawab Ega
ringan.
Aku
menghentikan langkahku dan memutar kembali hari yang dimaksud Ega.
Aku tak pernah melupakan hari itu. Karena hari itu merupakan hari
terakhir aku melihat Ega.
0 comments:
Post a Comment