Aku memoles
bibirku dengan lipgloss
cair merah muda. Menyesuaikan dengan gaun bertali sphagetti merah
muda yang soft. Kuraih
clutch putihku dan
langsung menuju Honda Jazz Merah milikku. Mang Asep telah siap
mengantarku ke sebuah restaurant—tempat aku dan Mas Andre janji
bertemu.
“Andre
nggak jemput kamu?,” tanya suara.Mbak Niken kaget dari ujung
telpon.
“Aku juga
nggak tahu mbak. Mas Andre bilang, ‘kita ketemu di venue jam 7 ya’
begitu. Dia nggak bilang mau jemput aku. Jadi, aku berangkat sendiri
aja ke venue”
“Aneh
banget sih tuh anak. Masa ngajak cewek ngedate
tapi nggak mau jemput,” gerutu Mbak Niken kesal sendiri.
“Ini cuma
makan malam aja kok, Mbak. Bukan ngedate,”
jawabku malu.
“Apapun
namanya. Kamu harus siap dengan berbagai kemungkinan. Ohya, siapkan
jawaban terbaik juga”
Mas Andre
menungu di meja yang berada di sudut restaruan bergaya Perancis ini.
Interior restaurant ini memang sangat romantis. Cahaya yang ada
nampak redup dan dipenuhi oleh lilin-lilin. Sementara warna yang
mendominasi adalah warna putih.
“Maaf
menunggu lama ya, Mas?,”. tanyaku sambil bersegera duduk.
“Nggak
masalah. Orang yang ingin aku kenalkan ke kamu juga belum datang kok”
Apa
yang kudengar barusan? Orang yang ingin Mas Andre kenalkan padaku?
“Aku
mengundangmu makan malam untuk mengenalkan dengan seseorang.
Seseorang yang pasti akan kamu suka juga.” jelas Mas Andre dengan
senyum merekah. Rasanya aku tidak pernah melihat senyum Mas Andre
sebahagia saat ini.
“Oya,
Olin. Mungkin kamu mau pesan minum duluan?”
“Nggak
perlu, Mas. Kita tunggu teman Mas Andre saja,” jawabku cepat.
“Olin,
sebenarnya yang ingin aku kenalkan ke kamu bukanlah temanku. Tetapi
dia calon tunanganku. Aku berniat melamarnya”
Apa?
Jadi Mas Andre? Selama ini dia sudah memiliki kekasih? Bagaimana
mungkin aku tidak mengetahuinya. Padahal hampir setiap hari
kuhabiskan dengan Mas Andre.
Belum
selesai kekagetanku atas ‘kejutan’ yang dibuat Mas Andre, kini ia
nyaris membuatku tak bisa bernafas.
“Illina,”
panggil Mas Andre pada seseorang sambil melambaikan tangannya.
Meminta orang yang dipanggilnya untuk datang.
Nama itu.
Illina? Benarkah nama itu yang baru saja
keluar dari bibir Mas Andre? Mungkinkah Illina itu adalah…
Illina
yang dimaksud Mas Andre berdiri di hadapanku. Rambutnya panjang
dengan ikal di ujungnya. Hitam pekat. Tubuhnya dibalut dress
hijau dengan cardigan kuning gading. Matanya terbungkus kacamata.
Tetapi dia sangat cantik. Dia lebih cantik dari yang kukenal. Dia
Illina yang kukenal baik selama 7 tahun. Illina, hantu dari masa
laluku.
“Maaf
Mas, aku terlambat. Jalanan macet sekali”
“Nggak
apa kok. Kami belum terlalu lama menunggu, iyakan Olin?”
Aku menelan
ludah. Membasahi tenggorokanku dan mencoba bersuara. Tetapi gagal.
Aku hanya mengangguk.
“Aku
sudah ceritakan banyak tentang kamu ke Illina. Sayangnya, aku nggak
banyak menceritakan tentang Illina ke kamu. Tetapi, malam ini aku
akan mengenalkanmu. Nah Olin, ini Illina. Dia pacarku”
Nafasku
tercekat. Mungkin aku akan segera lupa bagaimana caranya bernafas.
Tetapi nampaknya aku akan lebih senang jika aku lupa dengan siapa itu
Mas Andre. Kalau perlu, seharusnya ia tidak perlu hadir dalam
kehidupanku, jika pada akhirnya menghadirkan Illina kembali dalam
kehidupanku.
“Hai
Olin. Terima kasih sudah meluangkan waktumu yang begitu sibuk sebagai
penulis untuk makan malam ini,” sambut Illina santun dan manis.
Tetapi ucapannya jutru menusuk ke dasar hatiku.
“Hai,”
jawabku pendek.
“Aku
sudah baca cerpenmu yang kemarin dan aku langsung menangis di ujung
cerita. Kok bisa sih kamu sejahat itu membuat ending cerita untuk
pasangan kekasih itu?,” cerocosku panjang lebar kepada Illina di
kantin saat jam istirahat.
“Yaaaa,
aku hanya ingin pasangan kekasih itu berakhir seperti itu,” jawab
Illina menggantung sambil menyedot Jus Stroberri kesukaannya.
“Tetapi
aku sudah menjadi penggemar sekaligus korban cerpen kamu yang overall
sad ending seperti itu”
“Kalau
sudah ngefans, ya terima saja bagaimana ending di setiap cerpenku,”
timpal Illina santai sambil memamerkan lidahnya.
“Lin”
Panggilan
itu sontak membuatku, maupun Illina menoleh ke sumber suara. Irgi.
Illina kembali mengembalikan pandangannya, mengetahui bukan dirinya
yang dimaksud. Uhh. Menyebalkan sekali. Sudah kubilang jangan
menggunakan panggilan itu saat aku sedang bersama Illina.
“Hai,
Olin Sayang,” sapa Irgi ramah. Juga menyebalkan.
“Ini
buat kamu”. Irgi menyodorkan segelas minuman jeruk dingin kepadaku.
“Makasih,”
jawabku tersenyum tipis, namun tulus.
Irgi
adalah pacarku. Sementara, Illina dalah sahabatku sejak kami duduk di
bangku SMP. Sekarang, kami bertiga sama-sama duduk di kelas 2 SMA.
“Lagi
ngobrolin apa nih? Ikutan dong”
“Bukan
ngobrolin game kok, Gi. Jadi kamu pasti nggak akan suka,” jawab
Illina.
“Pasti
ngobrolin cerpen deh. Iyakan?”
“Bingo
! Tahu aja ih kamu, yang”
“Hem
kalo gitu, aku ganggu dong. Yaudah, aku akan segera pergi. Tapi, aku
sempat mikir deh. Kalian berduakan sama-sama suka nulis, kenapa nggak
duet bareng untuk membuat novel. Terus kirim ke penerbit deh. Pasti
diterbitin deh,” usul Irgi sok tahu.
Aku dan
Illina hanya saling berlempar senyum.
Mama
sudah berulang kali meneriakkan namaku, menyuruhku untuk makan malam.
Tetapi, aku masih membaringkan tubuhku di kasur sambil menekuri
notebookku. Seperti biasa, setelah membaca cerpen terbaru Illina di
blog pribadinya, ada saja inspirasi yang merasuki pikiranku. Setiap
detail dalam cerpen milik Illina tersimpan banyak hal yang dapat
kukembangkan. Tidak heran jika cerpen yang kubuat, jumlahnya sudah
menyamai Illina, bahkan telah melebihinya.
“Olin,
telpon dari Illina,” ujar Mama tiba-tiba dengan kepala yang
menyembul dari balik kamar.
Aku baru
teringat. Nada panggilan maupun pesan di ponselku selalu ku set
silent mode, juga tanpa getar. Semua itu kulakukan saat ide untuk
menulis cerpen beterbangan di kepalaku dan memintanya untuk segera
dituangkan ke dalam tulisan. Pasti, Illina sudah mencoba
menghubungiku ke ponselku sejka tadi.
Aku
keluar kamar dan meraih gagang telpon yang teronggok seorang diri.
Tetapi di seberangnya ada sahabatku, Illina, si sumber inspirasi.
“Iya,
Lin ada apa?,” tanyaku langsung.
“Tugas
makalah individu dari Pak Sobri itu dikumpul besok atau minggu depan
sih? Aku belum selesai nih soalnya”, jawab Illina langsung. Ada
nada ketakutan di sana. Illina memang paling takut mengumpulkan tugas
terlambat atau tidak sesuai dengan kehendaknya. Ya, dia adalah Nona
Perfecto.
“Minggu
depan, Sayang. Nggak usah panik gitulah. Lebih baik kamu buat cerpen
baru daripada panik gitu”
“Hffpph”.
Terdengar helaan nafas dari ujung telepon.”Syukur deh kalau gitu.
Duuh istirahat dulu ah buat cerpennya. Lagi banyak tugas nih. Anyway,
aku udah baca cerpen kamu yang terbaru. Nggak nyangka banget deh sama
ending ceritanya. Dasar Miss Unpredictable”
Aku dan
Illina memang saling menulis cerpen dan mempostingnya di blog pribadi
kami masing-masing. . Kami akan saling mengkritik atau memuji satu
sama lain setelah membacanya.
“Haha,
biar saja daripada kamu Miss Sad Ending !”
“Tapi
aku suka dengan jalan ceritanya. Begitu hidup”
“Makasih.
Cerpen aku juga kebanyakan terinspirasi dari kamu, Lin”
“Ohya?
Yang mana?”
“Mana
aja”
Illina
hanya mendengus kesal, lalu kami berdua tertawa seketika. Masih
melalui kabel telpon yang menghubungkan kami. Mama melintas sambil
senyum, memaklumi tingkah dua remaja yang telah 5 tahun bersahabat.
Mas Andre
perlahan menyesap teh hangat yang telah dibuatkan oleh Bi Inah. Mas
Andre sudah berada di ruang tamu rumahku sejak 30 menit yang lalu.
Wajar saja dia langsung datang ke rumah saat aku membatallkan seluruh
agenda hari ini. Mas Andre khawatir dengan keadaanku. Apalagi, aku
pulang duluan sebelum dinner
berakhir dengan alasan tidak enak badan.
“Illina
titip salam buat kamu. Dia berharap kamu segera sembuh. Supaya bisa
produktif lagi menulis”
Wajahku
menegang. Illina. Kenapa harus nama itu lagi yang kudengar. Padahal
aku berniat istirahat hari ini untuk menjauhkan nama itu dari
telingaku. Mas Andre nampaknya merasakan perubahan pada diriku saat
ia mengucapkan nama kekasihnya itu.
“Mas
sudah tahu kalau kamu dan Illina bersahabat sejak SMP. Illina sudah
cerita semuanya”
Semuanya?
Tanyaku dalam hati dengan pandangan bertanya ke arah Mas Andre.
“Kecuali
satu hal. Akibat kerenggangan kalian. Illina tidak menceritakannya,
dia bilang dia tidak tahu mengapa hubungan kalian merenggang. Mas
harap, kamu mau berbagi dengan Mas, Lin. Atau mungkin kamu juga ingin
menceritakan kembali bagaimana persahabatan kamu dengan Illina.”
“Mas
Andre sudah dengar dari Illina, bukan?”
“Iya.
Tetapi bisa saja versinya lain kalau kamu yang bercerita”. Mas
Andre terseyum ramah dan semakin membuat seluruh tubuhku lemas.
“Tidak
ada yang berbeda, Mas. Semua cerita yang akan keluar dari mulutku
pastinya sama dengan apa yang telah diceritakan Illina”
“Baiklah.
Kalau begitu, ceritakan saja apa yang menyebabkan hubungan kalian
merenggang?”
Aku
menyesap teh hangat yang telah dingin buatan Bi Inah. Membasahi
tenggorokanku. Meletakannya kembali, lalu menerawang jauh.
Mengumpulkan kekuatan untuk menceritakan ketakutanku yang tak pernah
kubagi dengan siapapun..
Seorang
gadis berambut panjang ikal duduk manis. Matanya menyapu ke seluruh
penjuru kantin. Mencari seseorang dan orang itu adalah aku.
“Hey
girl. Sendirian aja. Udah lama?,” goku iseng sambil menempelkan
bokongku di kursi kantin kampus.
“Lama
banget. Kemana aja sih Lin?”
“Duuh
biasa deh Dosen kalau udah khotbah, suka lupa berhenti. Maaf ya. Aku
traktir es krim, bagimana?”
Illina
mengangguk. Kini, aku dan Olin telah menjadi mahasisiwi semester 2.
aku mengambil Jurusan Hubungan Internasional, sementara Illina
memilih Sastra Inggris. Kami berkuliah di tempat yang sama, tetapi
tentu saja tidak sering bertemu seperti dulu. Karena gedung tempat
kami bernaung berbeda.
Aku
sudah hampir siap untuk menyuapkan suapan pertama ketoprak
langgananku di kampus, kalau saja handphoneku tidak berdering.
‘Aryani is calling’ tertera di layer handphoneku. Dia adalah
kakak sepupuku.
“Iya,
kenapa mbak?”
“Kemana?”
tanyaku lagi. “Untuk apa?.....Sekarang?....Ya sudah aku ke sana 15
menit lagi”
“Siapa?,”
tanya Illina
“Mbak
Aryani. Aku disuruh ke kantor Penerbit Buku Ilusi. Kamu mau temani
aku?”
Illina
sudah tahu kalau Mbak Aryani adalah kakak sepupuku. Sebagai sahabat
selama 6 tahun, kami sudah sangat saling mengenal.
“Mau
sih, tapi sayangnya aku nggak bisa, Lin. Ada kuliah jam 1. Dosennya
killer, nggak mungkin cabut”
Aku
melirik jam tangan hijau tosca milikku dan mendapati angkanya
menunjukkan pukul 12.30. aku menghembuskan nafas pasrah, karena harus
pergi ke Penerbit Ilusi sendirian dengan tujuan…aku saja tidak tahu
apa tujuanku ke sana. Kecuali satu hal, Mbak Aryani yang memintaku
dengan setengah berteriak bahagia seolah baru saja memenangkan undian
1 Milyar.
Seorang
wanita pertengahan 30 tahun menyalamiku dengan sangat ramah saat aku
baru saja memasuki salah satu ruangan di Kantor Penerbit Ilusi.
“Jadi
ini yang namanya Olin?,” tanya wanita itu sambil melirik ke arah
Mbak Aryani. Mbak Aryani juga ada di ruangan yang nampaknya ruang
kerja si wanita itu. Wanita yang belum kuketahui siapa namanya.
“Iya,
ini Esthyca Violin. Sepupu saya ini sekarang semester 2 Jurusan
Hubungan Internasional. Kisah-kisahnya itu dituliskan semasa dia
masih SMA,” cerocos Mbak Aryani.
Wanita
itu mengangguk. Aku bingung. Kisah apa?
“Olin,
kami suka dengan cerpen-cerpen yang telah sepupumu kirimkan ke
Penerbit Ilusi. Kami ingin membukukannya, bagaimana? Apa kamu
setuju?”
Jantungku
nyaris mencelos. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja
kudengar. Cerpen-cerpenku? Akan dibukukan? Lalu diterbitkan? Ya
Tuhan, benarkah ini? atau hanya mimpi siang bolong saja kah?
Mbak
Aryani menyikut lenganku. Menyadarkanku dari semua ini. menjelaskan
lebih dalam kalau ini bukan mimpi.
Aku
mengangguk cepat. “Setuju. Tentu saya setuju”
Ternyata
Mbak Aryani iseng mengirimkan kumpulan cerpenku yang kusimpan di
notebookku.
Berbagai
proses pengeditan mulai dilakukan dan sekitar 2 minggu setelahnya,
buku pertamaku diterbitkan. Berisi kumpulan cerpen-cerpenku yang
kutulis semasa SMA. Cerpen-cerpen yang kutulis karena terinspirasi
dari cerpen Illina. Buku pertamaku terpajang di berbagai Toko Buku.
Aku merasa bahagia, sekaligus bangga. Juga berterima kasih dengan
Mbak Aryani yang telah membuka semua kesempatan ini.
Beberapa
hari setelah euphoria itu aku menyadari bahwa cerpenku tidak
seutuhnya lahir dari pikiranku. Aku telah banyak mengembangkan semua
cerpen yang lebih dulu dibuat oleh Illina. Aku merasa telah merebut
sesuatu yang seharusnya menjadi milik Illina. Rasa bersalahku semakin
menggunung, terlebih lagi saat mengetahui bahwa cerpen-cerpen milik
Illina ditolak oleh berbagai penerbit karena ceritanya dianggap
hampir sama dengan milikku.
Illina
memang tidak pernah marah atau merasa idenya dicuri atau menjadi
objek plagiat meski tidak secara keseluruhan, tetapi aku tidak lagi
nyaman berada di dekat Illina. Aku merasa sangat berdosa di
hadapannya, tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin Illina juga
merasakan apa yang kurasakan. Mulai melakukan talkshow, bedah buku,
promosi. sayangnya, aku tidak tahu bagaimana caranya agar Illina bisa
merasakan itu semua juga. Aku memutar otak dan mengusulkan ke
Penerbit Ilusi agar menyetujui novel duet antara aku dan Illina. Tapi
pihak penerbit menolaknya, karena aku harus terlebih dahulu fokus
dengan buku pertamaku.
Aku
tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Buku pertamaku yang harus cetak
ulang setelah 3 bulan terbit memaksaku semakin sibuk dan sulit
komunikasi dengan Illina. tetapi inilah kesempatan bagiku, pikirku.
Kesempatan untuk pergi sejauh mungkin dari Illina. aku tidak sanggup
menelan rasa bersalah ini. Illina terlalu baik untukku karena tidak
marah padaku, tetapi aku tidak bisa bertahan dengan semua kebaikan
Illina. aneh! Ya memang. Akhirmya, aku mulai fokus dengan promosi
buku pertamaku dan mulai menulis novel untuk buku selanjutnya.
Keasikan
menulis novel membuatku lupa akan Illina. tetapi tidak pernah
melupakan rasa bersalahku dari Illina. Selama ini, aku hidup dihantui
rasa bersalah. Aku menutup diri dari siapapun. Menulis selalu
membuatku lupa akan Illina, hantu masa lalu bagiku. Meski begitu,
selama 3 tahun ini aku merindukan Illina. Kalau banyak orang
mengatakan kehidupanku begitu sempurna, itu adalah salah. Aku
kehilangan Illina. seorang sahabat yang sangat kucintai dan
mencintaiku.
“Kamu
tidak bersalah atas semua ini, Olin. Berhentilah menghukum dirimu
sendiri dengan semua pikiran buruk itu,” ujar Mas Andre akhirnya.
“Aku
salah,Mas. Jelas-jelas aku salah karena aku adalah sahabat yang
jahat,” jawabku sambil terisak.
“Kamu
tidak jahat. Semua ini sudah ditakdirkan. Kamu sebagi penulis dan
Illina sudah sangat bahagia menjadi seorang penerjemah, karena dia
juga tetap menulis”
Aku
terisak. Penerjemah? Illina menjadi penerjemah
sekarang? Dia pasti senang, karena salah satu cita-citanya tercapai.
Mas Andre
menggenggam tanganku lembut. Ada kehangatan yang mengaliri seluruh
darahku. Dari sinar matanya tersirat ketulusan dan kesungguhan. “Kamu
nggak salah, Olin. Cerpen-cerpen kamu adalah hasil karyamu. Asli buah
pikiranmu. Illina adalah inspirasimu, tapi bukan objek plagiatmu.
Kamu harus percaya itu”
“Nah
sekarang adalah pemakaian kalung yang akan dilakukan oleh Andre
Diraatmadja kepada Putri Illina Kertadjaya sebagai hadiah sekaligus
pemasangan cincin tunangan sebagai pengikat bagi keduanya,” ujar MC
yang disambut dengan tepuk tangan meriah para tamu yang datang.
Termasuk aku.
Mas Andre
memasangkan kalung emas putih dengan liontin bintang di leher Illina
dengan lembut. Setelah itu mereka satu sama lain melingkarkan cincin
tunangan di jari manis satu sama lain. Aku tersenyum bahagia
melihatnya. Meski kutahu, cincin yang melingkar di jari manis Mas
Andre adalah lampu merah bagiku.
Mas Andre
telah membuat hatiku luluh dan akhirnya kembali kepada kehidupanku
yang indah dan kurindukan. Kehidupanku bersama Illina. Ya, aku telah
berbaikan dengannya. Aku tidak tahu kata apa yang tepat, karena
rasanya kami memang tidak bertengkar. Aku melenyapkan semua pikiran
buruk yang menghakimiku selama 3 tahun ini. Semua itu berkat Mas
Andre yang terus mendorongku untuk percaya bahwa aku tidak bersalah.
Illina
menghampiriku dengan kebaya biru lautnya yang sangat cantik.
“Aku
sudah bertunangan, Olin,” ujarnya bahagia. “Aku bahagia”,
tambahnya sambil memelukku.
“Aku juga
bahagia untukmu dan Mas Andre”
“Kamu
tahu, rasanya kebahagiaanku malam ini lengkap karena 2 orang yang
sangat kusayangi berada di sisiku”
Illina
melepaskan pelukannya. “Jangan pergi lagi ya, Olin. Aku nggak bisa
menemukan sahabat seperti kamu di duina ini, karena Olin cuma satu di
hati aku”
Aku nyaris
tersedak mendengar kata-kata puitis dari Illina yang sangat
berlebihan itu. Aku mengangguk pelan dan kembali memeluknya.
Aku
ikhlas melepaskan Mas Andre, tetapi aku nggak akan ikhlas untuk
melepaskan sahabatku yang satu ini. Sekarang, kehidupan Esthyca
Violin, penulis muda berbakat sudah lengkap, karena dia telah
menemukan sahabatnya yang telah lama hilang.
Pergi cinta lupakanlah aku cinta
Ku relakan akan dia.. ada dipelukmu
Pergi cinta.. hapus bayanganku.. cinta
Bahagiakan dia.. cinta
Sampai akhir waktu
Engkau bersamanya
(Pergi Cinta - Audy)
END