Aku menggeser posisi dudukku mendekati jendela dalam sebuah bus kota yang semakin termakan usia. Seorang gadis cantik dengan skinny jeans dan kemeja kotak-kotak perpaduan warna pink dan coklat itu duduk di sebelahku kini.
“Terima kasih”, ujarnya dengan seulas senyum manis menatapku.
Aku membalasnya dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Tak peduli.
Kondektur bus kota itu menghampiri gadis skinny jeans untuk memintai ongkos. Gadis itu nampak kesulitan mengambil uangnya di saku. Tangannya memegangi sekeranjang penuh berisikan mawar merah—yang telah dipisahkan tiap tangkainya oleh plastik—dengan jumlah puluhan.
“Bisa tolong pegang ini sebentar?”, tanya gadis itu padaku sambil menyerahkan sekeranjang mawarnya.
Aku hampir meraih keranjang itu kalau saja gadis itu tidak kembali menariknya kembali. Aku seolah dipermainkan oleh anak bau kencur ini.
“Hati-hati ya. Jangan sampai rusak”, pesannya padaku.
Aku hanya mengangguk dan memasang wajah meyakinkan tak akan menyakiti bunga pertanda cinta itu.
Setelah menitipkan bunga mawar itu kepadaku dan berhasil merogoh uangnya di saku jeansnya, gadis itu menyodorkan selembar uang 100 ribu kepada si kondektur bus.
“Waduh mbak, gak ada yang lebih kecil tuh uangnya? belum ada kembaliannnya mbak, baru juga narik”.
Aku melirik kecut dan membuang muka ke jendela bus. Tak ingin terlibat dalam adegan antara kondektur dan gadis skinny jeans.
“Mas, boleh pinjam uangnya 2000? Saya nggak ada uang kecil nih?”, tanya gadis skinny jeans itu padaku.
Aku langsung menoleh. Bodoh sekali, pikirku. Aku mencoba membangun benteng pertahanan.
“Saya nggak ada 2 ribuan. Maaf”, jawabku cuek sambil kembali meambatkan mataku ke arah jendela.
“Adanya berapa mas ?”, tanya gadis skinny jeans itu lagi. Tak disangka
Dengan kesal aku menoleh “Adanya 10 ribu”, jawabku ketus.
“Kalau segitu ada kembaliannya kok mbak, mas”, sambung si kondektur tiba-tiba.
“Pinjam dulu dong mas ! nanti saya ganti”, pinta gadis skinny jeans itu tampak canggung.
Apa boleh buat, selembar uang 10 ribu yang menjadi bekal perjalananku hari ini kini telah berpindah tangan ke tangan kondektur bus. Sebagai gantinya lembaran uang yang lebih banyak kembali ke tanganku, tetapi dengan nominal yang telah berkurang.
“Terima kasih ya sudah menjaga bunga ini”, ujar gadis skinny jeans itu sambil meraih sekeranjang mawar yang awalnya berada di pangkuanku.
Aku hanya mengangguk.
“Terima kasih juga sudah meminjamkan saya uang. Dompet saya dibawa teman saya, tapi sekarang dia udah di bunderan HI, saya juga mau kesana. Mas ini tujuannya mau kemana? Kalau nggak keberatan, bisa ikut turun di bundaran supaya saya bisa ganti uang mas ?”, tutur gadis skinny jeans dengan sopan dan nyaris membuat mataku terbelalak.
“Saya juga mau turun di bundaran”, jawabku ketus. Lagi.
“Kebetulan kalau begitu”
Aku tak menimpali gadis skinny jeans yang duduk di sebelahku. Dia sedang sibuk menciumi mawar-mawar segar di pangkuannya sambil sesekali merapikannya. Nampaknya mawar itu akan dijual, pikirku.
Kami berdua telah sampai di bundaran HI. Tanpa banyak tanya, aku mengikuti gadis itu bergabung dengan teman-teman skinny jeans lainnya juga dengan keranjang mawar yang telah berjejer di bundaran HI.
Gaya baru apa ini? Jualan mawar di bundaran HI kepada setiap pengemudi kendaraan bermotor yang lewat? Pasti mereka perkumpulan gadis skinny jeans.
“Ma, lo darimana aja sih? Lama banget. Kita kurang tenaga nih”, sambut gadis yang mengenakan skinny jeans selutut.
“Sorry Deb. Kesiangan gue. Eh pinjem duit 2 ribu dulu dong”
“Hahh? Udah telat dan repot gini lo malah pinjem duit 2 ribu lagi. Udahlah nanti aja !”, balas si skinny jeans selutut dengan suara yang seakan ditarik dari uratnya.
Aku hanya bergidik. Mengerikan. Sungguh ada gadis seperti itu.
“Yaudah sekarang mulai tugas lo, Ma. Lo berdiri di bagian sana !”, pinta gadis skinny jeans selutut yang kuketahui namanya Deb berdasarkan pembicaraan yang kudengar.
“Dan lo ! lo ikut gue”, ujar Deb menunjuk ke arahku. Ke arahku? Hei apa-apaan ini? Kenapa aku jadi ikut menjual bunga mawar? Memang dasar bodoh, tetap saja diriku mengikuti si Deb yang menyeramkan itu.
Deb menjelaskan apa yang harus kulakukan. Beri senyuman pada setiap pengemudi yang melintas, ucapkan ‘selamat siang dan selamat hari ibu’, berikan setangkai mawar, lalu berikan senyuman kembali. Sudah itu saja. Jadi ini bukan kegiatan menjual bunga mawar kesimpulanku.
Aku melakukan apa yang diperintahkan Deb dengan sangat baik, menurutku. Di bawah terik matahari, aku melihat berbagai reaksi yang berbeda dari pengemudi yang melintas. Ada yang senang, cuek, bahkan ada yang sampai minta 3 tangkai mawar.
Setelah hampir 1 jam melaksanakan tugas bersama gadis skinny jeans yang jumlahnya belasan, kini aku telah bersama gadis skinny jeans yang menerjunkanku ke lembah kegiatannya yang tak kumengerti.
Kami duduk di sebuah kedai makanan cepat saji. Di hadapanku, tersaji minuman soda. Sementara di hadapan gadis skinny jeans yang entah siapa namanya itu tersaji minuman soda dan french fries.
“Maaf ya mas, jadi ikut panas-panasan bagi-bagi mawar di bundaran. Pasti Mas ini kaget pas disuruh sama Debby”
“Nggak apa kok”, jawabku singkat. Lagi.
“Mas mau pesan apa nih? Masa cuma minum aja? Saya yang traktir kok”
“Nggak usah. Terima kasih. Saya nggak biasa dengan makanan fast food”
“Ooh”
Hening. Aku juga tak tahu harus berkata apa lagi. Nampaknya aku nyaman berada di dekat gadis skinny jeans yang namanya belum kuketahui sampai saat ini. Apa baiknya aku tanya?
“Oya, Mas tadi katanya juga ada urusan di bundaran HI kan ya? Terus gimana tuh?”
Astaga ! aku lupa. Ya, diantara gedung-gedung yang berjejer tinggi mengelilingi bundaran HI, ada salah satu gedung yang seharusnya menjadi satu tujuanku untuk melalmar pekerjaan. Nampaknya persatuan gadis skinny jeans itu telah menghipnotisku hingga lupa. Wajahku berubah panik.
“Ada apa Mas?”, tanya gadis skinny jeans itu dengan wajah yang amat lugu dan polos. Wajah yang langsung kusukai. Entah kenapa.
“Tadi saya berniat melamar pekerjaan. Tapi saya justru baru ingat saat kamu tanya barusan”, jawabku jujur.
“Yaah maaf banget ya Mas. Kalau tahu Mas ini ada keperluan penting, pasti nggak akan saya ajak bagi-bagi bunga di hari ibu ini”
“Hari Ibu?”
“Ya, hari ini kan tanggal 22 Desember. Hari ini hari Ibu, Mas. Masnya lupa juga ya?”
“Astaga. Iya, saya lupa”
Bukan lupa. Aku memang tak pernah peduli.
“Setiap hari Ibu, saya dan teman-teman kampus memang selalu bagi-bagi bunga mawar kepada setiap pengemudi yang melintas. Nggak peduli, si pengemudi cewek atau cowok. Pesan kami cuma agar si pengemudi selalu ingat dengan ibunya dan kalau bisa memberikan bunga pemberian kita ke ibunya”
“Secara cuma-cuma?”
“Ya”
“Darimana kalian dapat uang untuk beli tangkai-tangkai mawar yang bejibun? Kaliankan mahasiswa?”
“Uangnya berasal dari kita yang disisihkan setiap bulan. Acara inikan memang udah berjalan rutin, jadi nggak seberapalah kalau disihkan setiap bulan. Dapet pahala jugakan”
“Wah hebat ya. Saya malah nggak pernah kepikiran dengan ide seperti itu. Cewek memang cenderung kreatif ya”
“Haha iya begitulah. Eh ya Mas, aku nggak nyangka Masnya ini mau ngelamar kerja. Aku kira baru kuliah semester 1. Hihi”
Gadis skinny jeans itu terkekeh kecil namun manis.
“saya terlihat muda ya?”
“Iya, Mas”
“kalau kamu memang sudah semester berapa?”
Belum sempat dijawab, ponsel gadis itu berdering. Sepertinya seseorang di seberang telpon memintanya untuk menemuinya.
“Mas, saya ada urusan nih”, ujarnya padaku setelah menutup telpon.
Nah benarkah.
“Ini mawar untuk Mas. Dikasih ke ibunya ya. Selamat Hari Ibu. Sayangi Ibu nya Mas ya.”, ujarnya lembut smabil menyodorkan setangkai mawar terakhir yang tersisa.
Ini penghinaan, mana mungkin aku yang notabene seorang lelaki menerima mawar merah dari seorang gadis yang baru kukenal, bahkan belum kutahu namanya.
“Nggak usah. Saya…alergi mawar. Mawarnya buat kamu saja”
“Alergi? Masa sih? Alibi ya? Daritadi nampaknya Mas ini nggak kenapa napa tuh. Sudahlah Mas. Mawar ini dikasih ke ibunya saja ya, bilang dari saya. Ohya, ini uang 2 ribu yang saya pinjam tadi. Maaf baru saya ganti”
“Hei, kenapa mawar ini nggak kamu kasih ke ibu kamu saja?”, tahanku sebisa mungkin.
Gadis skinny jeans yang sedari tadi begitu ceria tiba-tiba menampakkan raut wajah yang berbeda.
“Ibu saya sudah meninggal, mas”, jawabnya lemas
Aku tercekat. Kusadari telah membuatnya teringat akan ibunya yang kini telah tinggal di alam yang berbeda.
“Kamu bisa hadiahkanmawar ini di makamnya kan? Saya nggak keberatan menemani kamu ke makam ibumu”, usulku tiba-tiba. Sedetik kemudian aku baru sadar betapa murahan dan terkesan menggoda kata-kata yang kukeluarkan barusan.
Gadis skinny jeans itu tersenyum kecil, yang terkesan dipaksakan menurutku.
“Makamnya ada di Bandung, Mas”
“Oh. Maaf”, jawabku singkat. Bingung mau bicara apa lagi.
“Iya nggak apa kok. Yasudah, terima kasih ya Mas. Saya permisi dulu”, pamit gadis skinny jeans itu.
Kini aku tertinggal di salah satu meja di resotoran cepat saji dengan setangkai mawar merah di tangan berteman kebodohan dan penyesalan yang menjejali otak karena tidak menanyakan nama gadis skinny jeans itu.
0 comments:
Post a Comment