Untuk kebanyakan orang, masa lalu hanyalah sekedar masa lalu. Rentetan kisah yang pernah ada dan telah usang. Terbuang. Seperti sampah. Yang menggugurkan rasa resah atau rasa bersalah. Terlupakan. Tetapi, untukku tidaklah demikian. Untukku, masa lalu tak pernah berlalu.
Masa lalu yang mengantarkan kakiku melangkah ke gedung yang desain interriornya penuh dengan berbagai bunga dan warn-warna cerah. Menyiratkan kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan oleh seseorang yang pernah kucintai.
Sudah pasti aku akan berlari menuju orang itu, bukan untuk menyalaminya—seperti kebanyakan orang yang akan hadir nantinya di gedung ini—tetapi untuk menyeretnya. Menariknya kembali menuju ke pelukanku. Tetapi aku salah. Aku tak pernah sampai hati untuk menyeretnya atau bahkan melukainya.
Gadis itu terisak di depanku. Aku tak mengenali tatapan matanya yang indah setiap menuju ke mataku—seperti dulu. Hanya ada ketakutan di pelupuk matanya yang kini telah banjir air mata. Bukan itu yang ingin kulihat saat ini. Aku ingin tatapannya yang lalu. Yang berbinar bahagia setiap kali menatapku.
Gadis itu terus terisak…dan sesekali tertunduk. Tak ada satu katapun yang keluar dari bibir manisnya yang dulu dering kukecup, yang ada luapan air mata yang bagaikan air terjun—yang dulu tak pernah tumpah di hadapanku.
“Jangan menangis. Riasan wajahmu yang sudah cantik akan memudar nanti!”
Meski bagiku, gadis itu tetap cantik dengan atau tanpa riasan. Ruang rias pengantin itu memang penuh dengan harum melati, tetapi aku masih bisa menghirup aroma tubuhnya yang masih sama.
Gadis itu masih tetap terisak. Isak yang sungguh memilukan. Seolah perasaannya tertusuk belasan belati. Seperti yang kurasakan seminggu yang lalu—saat mendapati undangan pernikahannya dengan pria lain.
“Beri aku penjelasan”, mintaku singkat.
Sekuat tenaga gadis itu mencoba menghentikan isak tangisnya demi seuntai kalimat yang membakar perasaanku “Aku akan menikah hari ini dengan pria yang kucintai”, jawabnya tegas. Sama tegasnya dengan kalimat yang dia ucapkan lima tahun silam padaku.
“Siapa? Aku pria yang kau cintai, tetapi bukan namaku yang ada dalam undangan pernikahan. Kau akan menikah dengan siapa?”
“Tentu saja dengan pria yang kucintai. Dengan kekasihku yang telah kupacari setahun ini. Mengapa kau tak bisa menerimanya sejak awal ?”
Mataku panas. Perlahan kuhirup aroma bensin yang menyeruak di ruangan.
“Hubungan kita telah berakhir setahun yang lalu. Aku tak pernah lagi mencintaimu sejak setahun yang lalu. Aku telah melupakanmu. Aku telah mengatakannya padamu. Mengapa kau masih saja belum menerimanya?”.
Rentetan perkataan gadis itu seperti paku yang menancap di kepala dan hatiku, lalu disusul dengan tangisnya yang pecah dan tetap indah.
“Tetapi kau mencintaiku. Bukankah kau mencintaiku? Kau sering mengatakannya dulu? Mengapa kau lupa?”, tanyaku setengah berteriak mulai pusing dengan aroma bensin yang semakin membabi buta di ruangan itu.
“Sadarlah ! Itu adalah masa lalu. Masa lalu. Dan mereka hanya sekedar masa lalu. Kau adalah masa laluku. Masa depanku adalah hari ini. Menikah dengan pria yang akan kunikahi hari ini”
Hatiku panas. Aku semakin pusing dengan aroma bensin yang terus memaksa merasuki hidungku. Sekelebat bayangan muncul dalam benakku. Dalam mata terpejam, kudapati seorang gadis belia dengan seragam SMA menggenggam erat tangan kekasihnya. Menyusuri aspal basah sisa hujan siang tadi.
“Apa impianmu?”
“Aku ingin menikah dengan pria yang kucintai”, jawabnya tegas.
Tenggorokanku tercekat. Mataku kembali terbuka dan mendapati gadis SMA itu kini telah berkebaya putih dengan riasan yang telah luntur oleh air mata, tetapi kecantikannya tak pernah luntur sedikitpun bagiku.
Tanganku merogoh saku celana putihku dan menemukan sebuah kotak kuning kecil. Korek api. Kujatuhkan sebatang korek api lengkap dengan apinya ke lantai ruang rias pengantin. Disambut cepat dengan bensin yang telah sengaja kutumpahkan di lantai sejak awal.
Masa lalu tidak akan hanya menjadi masa lalu. Masa lalu adalah selamanya untukku.