October 31, 2015

(Bukan) Ayah Pencitraan #SafetyFirst


(Bukan) Ayah Pencitraan
Oleh : Fitria Wardani



Sirine palang kereta api sudah mulai bernyanyi. Perlahan palangnya mulai turun dan menutup jalan sementara bagi pengendara kendaraan bermotor yang ingin melintas. Mereka menghentikan kendaraannya untuk menunggu kereta api melintas. Tetapi tidak bagi Marwan, dia menerjang palang pintu yang belum sepenuhnya tertutup dengan sepeda motornya. Si penjaga palang pintu hanya menggeleng kesal bersama papan bertuliskan ‘stop’ di tangannya.
“Ayah, kenapa bahunya warna biru ?,” tanya Bayu, putra Marwan yang berusia 5 tahun ketika melihat ayahnya mengolesi salep di bahu kirinya.
“Digigit tawon tadi di jalan,” jawab Marwan bohong. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa luka itu akibat terkena palang pintu kereta yang dia terobos siang tadi.
“Tawonnya jahat banget, Yah. Nanti kalau ketemu, Bayu bunuh tawonnya.”
“Jangan dong, Bayu. Kita nggak boleh menyakiti binatang,” nasihat Marwan pada anaknya yang kini duduk di bangku Taman Kanak-Kanak.
Bayu langsung terdiam tak membalas. Dia anak yang pintar sekaligus patuh akan segala nasihat yang keluar dari bibir Ayahnya. Bagi Bayu, Marwan bukan hanya sosok ayah, melainkan pahlawan dan panutan yang selalu ingin dia tiru.
* * *

Marwan menginjakkan kakinya ke depan untuk menambah gigi pada motornya ketika lampu lalu lintas berubah kuning. Lalu dia memacu gasnya saat lampu lalu lintas baru saja berubah berwarna hijau. Hal itu dia lakukan semata-mata karena ada polisi yang berjaga jaga di perempatan yang baru saja dia lewati. Jika tidak ada polisi yang berjaga-jaga dan mengawasi, Marwan perlahan akan mencari celah untuk dapat menerobos lampu lalu lintas yang berwarna merah.
Pekerjaannya sebagai kurir di salah satu perusahaan logistik internasional menuntutnya untuk dapat tepat waktu dalam mengantar dan menagih tagihan. Ditambah lagi dengan keadaan jalanan ibukota yang kian hari kian penuh dengan kendaraan bermotor, mau tak mau dia sering membawa kendaraan secara brutal di jalan raya agar dapat sampai di tujuan dengan tepat waktu.

* * *
Istri Marwan menarik resleting jaket putranya hingga satu jengkal di bawah leher. Bayu sudah rapi dan siap untuk pergi bersama ayahnya. Sore itu, mereka akan pergi membeli robot-robotan di toko  mainan. Marwan ingin menepati janjinya untuk membelikan robot-robotan begitu Bayu masuk peringkat 5 besar di kelasnya.
“Anak ayah sudah siap belum untuk menjemput robot impiannya?,” tanya Marwan dari atas motor yang mesinnya sudah menyala.
“Sudah, Yah,” jawab Marwan berlari dengan semangat siap untuk duduk di jok belakang.
“Eit tunggu dulu,” tahan Marwan menghentikan langkah putranya yang hampir naik ke motornya.
“Ada apa lagi Ayah ? Bayu sudah pake jaket, sepatu, kaos kaki dan kacamata,” jelas Bayu sambil menyentuh setiap perlengkapan yang dia sebutkan.
“Ada yang ketinggalan nih, Bayu,” ujar istri Marwan dari dalam rumah sambil membawa helm kecil di tangannya
Bayu cemberut saat mengetahui dia harus mengenakan helm kecil berwarna biru dengan gambar Upin Ipin yang dibawa ibunya.
“Bayu nggak suka pake helm, Ayah. Kepala Bayu sakit kalau pake helm,” bujuk Bayu pada ayahnya.
“Tetapi lebih sakit lagi kalau kepala Bayu kena aspal jalanan karena nggak pake helm,” jelas Marwan lembut pada putranya.
“Valentino Rossi aja yang pebalap hebat, kalau naik motor pake helm. Bayu juga pake ya, biar mirip Valentino Rossi,“ tambah istri Marwan sambil memakaikan helm kepada putranya.

* * *
Ayah, kenapa kita berhenti di sini ? Kitakan belum sampai di toko mainan,” tanya Bayu saat motor yang dikendarai Marwan berhenti di persimpangan jalan.
“Kamu lihat itu Bayu,” tunjuk Marwan pada seonggok tiang yang dapat memancarkan tiga warna berbeda.”Itu namanya lampu lalu lintas. Sekarang yang sedang menyala warnanya merah, artinya semua yang bawa kendaraan harus berhenti dan menunggu sampai warnanya berganti jadi hijau. Kalau warnanya sudah hijau, kita baru boleh jalan lagi,” jelas Marwan sabar pada putranya.
“Kalau yang tengah itu warna apa Ayah?,” tanya Bayu mulai memahami.
“Yang tengah itu warnanya kuning, tandanya kita harus berhati-hati.”
“Ayah…orang itu tetap jalan padahal lampunya masih merah,” teriak Bayu sambil menunjuk ke arah pengendara motor yang menerobos lampu merah dengan kencang.
Marwan hanya tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala.
“Orang itu nggak tahu kalau lampunya merah tandanya nggak boleh jalan ya, Yah?,” tanya Bayu polos.
“Orang itu tahu Bayu, tapi mungkin karena nggak ada polisi makanya orang itu tetap jalan.”
“Kalau ada polisi, kenapa memangnya Yah?”
“Nanti ditilang. Dihukum sama Pak Polisi”
“Masuk penjara ya Yah ? Ih sereem.”
“Makanya, Bayu kalau sudah besar, jangan seperti orang itu ya. Jangan menerobos lampu merah meski nggak ada polisi,” nasihat Marwan pada putranya.
“Bayu kalau sudah besar nanti mau jadi seperti Ayah pokoknya. Yang selalu pake helm dan patuh lalu lintas, meski nggak ada Pak Polisi.” jawab Bayu bersemangat tanpa tahu bagaimana sosok ayahnya di jalanan tanpa putranya.
* * *
Marwan menginjak rem kakinya sekuat tenaga. Tangan kanannya sama kuat menarik rem yang bersembunyi di balik stang motornya. Hal itu dia lakukan agar kuda besinya tidak menabrak ibu paruh baya yang melintas di hadapannya dengan santai.
Beruntung, Marwan dapat mengendalikan sepeda motornya sehingga tabrakan itu terhindarkan. Si ibu hanya melintas santai dengan tatapan kesal. Tak terima diberikan tatapan yang demikian, Marwan membuka kaca helmnya.
“Bu, hati-hati dong kalau mau nyebrang. Ibu tuh hampir tertabrak sama saya tahu nggak? Kalau saya nggak rem kuat-kuat, bisa mati ibu,” teriak Marwan marah-marah.
Si ibu yang tadinya telah melewati Marwan tidak terima diteriaki demikian. Dia menghampiri Marwan dengan tatapan yang semakin sinis.
“Heh Pak, mata kamu lihat tidak itu di depan apa namanya ? Zeba cross, tempat buat pejalan kaki menyebrang. Saya sudah benar toh nyebrang di situ. Bapak toh ya kalau tahu ada zebra cross ya mbok lebih pelan jalannya, jangan masih tetap ngebut. Tidak menghargai pejalan kaki. Dasar gila,” omel si ibu di depan wajah Marwan.
“Dasar edan, dikira ini sirkuit balapan apa ya. Bawa motor ngebut, udah salah marah-marah. Dikira jalanan milik nenek moyangnya i,” gerutu si ibu sambil melanjutkan menyebrangnya tetap di jalur zebra cross.
* * *

“Assalamualaikum,” sapa Marwan sambil melepaskan jaketnya begitu sampai rumah.
“Ayah sudah pulaaaaaang. Lihat, Bayu gambar apa Yah. Lihat. Lihat,” sambut Bayu pada Ayahnya dengan buku gambar yang ditinggi-tinggikan oleh tangannya.
“Iya nanti Ayah lihat, tapi Bayu tadi dengar tidak kalau Ayah mengucapkan salam ? Kalau ada yang mengucapkan salam, kita harus menjawabnya terlebih dahulu,” jelas Marwan lembut.
“Ohiya. Waalaikum salam, Ayah,” jawab Bayu malu-malu.
“Nah begitu. Coba mana Ayah lihat, anak Ayah gambar apa sih?,” tanya Marwan sambil meraih buku gambar yang dipegang putranya sejak tadi.
Marwan mengamati gambar yang tidak sepenuhnya sempurna tetapi dapat dipahami. Sebuah potret keadaan jalanan dimana motor dan mobil menunggu di bawah lampu lalu lintas. Di depannya terdapat zebra cross dengan gambar orang yang sedang melintas.
“Ini gambar Ayah dan Bayu yang sedang naik motor tapi berhenti, karena lampunya merah. Tadi ada polisi yang datang ke sekolah dan ngajarin rambu-rambu lalu lintas, Yah. Terus Polisi itu juga bilang kalau mau nyebrang harus di zebra cross. Lihat yah, ini namanya zebra cross, warnanya putih sama hitam. Mirip kaya zebra kan Yah?,” jelas Bayu sambil menunjuk-nunjuk ke buku gambarnya.
“Bayu gambar ada nenek-nenek yang nyebrang di zebra cross, trus Ayah sama Bayu ngeliatin sambil nunggu lampu merahnya berubah. Kalau lampu merahnya udah berubah jadi hijau, orang nggak boleh nyebrang lagi. Polisi tadi juga bilang kalau mau nyebrang harus di zebra cross, karena itu yang paling benar. Tapi, kalau ada orang yang nyebrang di zebra cross trus ditabrak, nanti orang yang nabrak bisa masuk penjara Yah. Karna dia salah udah nggak berhenti pas ada zebra cross,” celoteh Bayu seolah memindahkan apa yang dikatakan polisi di sekolahnya kepada ayahnya.
“Wah Bayu hebat ya, tahu banyak tentang lalu lintas”
“Iya, Yah. Kalau besar nanti Bayu ingin jadi Polisi. Bolehkan Yah?”
Marwan mengelus kepala putranya sambil tersenyum. “Tentu saja boleh.”
“Horeee,” teriak Bayu senang. “Ibu, kata Ayah, Bayu boleh jadi polisi Bu,” teriak Bayu sambil berlari masuk ke rumah untuk menghampiri ibunya.
Marwan melepaskan sepatunya sambil merekam kembali penjelasan putra tunggalnya tadi. Lamunannya juga mengantarkan dia pada peristiwa tadi siang saat hampir menabrak ibu-ibu yang tengah menyebrang di zebra cross. Apa jadinya kalau tadi dia sampai menabrak si ibu. Apakah dia akan dituntut dan dimasukkan ke dalam penjara. Marwan menggelengkan kepalanya seolah mengusir pikiran dan kejadian buruk yang hampir terjadi. Yang dia tahu, dia tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
Nampaknya Marwan sungguh serius untuk tidak mengulangi perbuatannya yang kerap kali melanggar peraturan lalu lintas ataupun berkendara tidak tertib. Hal itu dibuktikannya dengan mengabaikan panggilan yang terus menggetarkan ponselnya. Menjawab telpon dan berbicara sambil berkendara sering kali Marwan lakukan. Padahal, hal itu menjadi penyebab utama kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian.
Tetapi kali ini, Marwan mengabaikan panggilan tersebut dan terus melaju dengan riang gembira. Marwan berhenti menjadi ayah pencitraan yang berperilaku tertib berlalu lintas di hadapan putranya. Dia ingin tulus berperilaku tertib lalu lintas untuk keselamatan dirinya. Ponsel Marwan yang terus bergetar tanpa henti membuat dia meminggirkan kendaraannya dan berhenti untuk menjawab telpon.
Sayangnya, baru saja Marwan ingin menekan tombol jawab, panggilan itu telah berhenti. Terdapat 5 panggilan tidak terjawab dan sebuah pesan singkat dari tetangganya. Tumben sekali tetangga Marwan menelponnya hingga berkali-kali, pikir Marwan. Marwan membuka pesan singkat yang dikirim tetangganya itu. Lututnya terasa lemas begitu membaca pesan di dalamnya.

Pak Marwan, tolong angkat telponnya. Keadaan darurat. Bayu dan istri bapak menjadi korban tabrak lari saat menyebrang di jalan.
* * *
Marwan berhenti di persimpangan saat lampu lalu lintas menyala merah. Pikirannya kalut, matanya sudah berkaca-kaca, tangisnya hampir pecah. Dia tak sabar untuk sampai di Rumah Sakit dan memeluk kedua orang yang amat dia cintai, yaitu istri dan anaknya. Kaki Marwan sudah menginjakkan giginya, meski lampu lalu lintas masih menyala merah.
Marwan melemparkan pandangannya ke sekitar dan tidak menjumpai sosok berbaju coklat yang biasanya berdiri mengawasi. Ini kesempatan yang baik bagi Marwan untuk dapat menerobos lampu merah agar dapat segera sampai di Rumah Sakit. Beberapa pengendara motor lain juga nampak mencari celah dan berhati-hati untuk menerobos lampu merah. Marwan hampir memacu gasnya ketika seakan dia mendengar bisikan di belakangnya.
 “Bayu kalau sudah besar nanti mau jadi seperti Ayah pokoknya. Yang selalu pake helm dan patuh lalu lintas, meski nggak ada Pak Polisi.”
Marwan terkaget dan menoleh ke belakang. Tak ditemuinya pemilik suara itu di jok belakang motor Marwan. Marwan semakin kalut. Dia ingat benar akan ucapan Bayu saat mereka hendak pergi membeli robot-robotan sore itu. Marwan menurunkan gigi motornya dan menunggu lampu lalu lintas itu berganti hijau, baru kemudian melanjutkan perjalanannya. Dia berharap kalau sesuatu yang terburuk tidak akan terjadi.

* * *
Tangis Marwan benar-benar pecah ketika menemukan istri dan anaknya yang telah tertutup kain putih di ruang mayat. Keduanya menjadi korban tabrak lari oleh pengendara motor yang tidak bertanggung jawab ketika mereka sedang menyebrang. Saat kejadian, jalanan memang tengah lengang tetapi terdapat seorang saksi yang menyaksikan ibu dan anak itu menyebrang dengan santai di zebra cross. Tanpa disadari sebuah motor dengan kecepatan tinggi melaju kencang dan menghantam mereka. Keadaan yang sepi tersebut menjadikan kesempatan yang baik bagi si penabrak untuk melarikan diri.
Marwan hanya bisa menangisi keduanya. Terus meratapi sambil terus bertanya pada dirinya sendiri. Inikah balasan untuknya karena kerap melanggar peraturan lalu lintas ? Tapi mengapa balasan ini harus diterima oleh istri dan anaknya ? Mengapa Tuhan tidak menurunkan balasannya langsung pada dirinya? Tak ada yang mampu menjawab semua pertanyaan Marwan. Tak ada seorangpun.

End

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com



0 comments:

© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis