(Bukan)
Ayah Pencitraan
Oleh
: Fitria Wardani
Sirine palang kereta api sudah mulai bernyanyi.
Perlahan palangnya mulai turun dan menutup jalan sementara bagi pengendara
kendaraan bermotor yang ingin melintas. Mereka menghentikan kendaraannya untuk
menunggu kereta api melintas. Tetapi tidak bagi Marwan, dia menerjang palang
pintu yang belum sepenuhnya tertutup dengan sepeda motornya. Si penjaga palang
pintu hanya menggeleng kesal bersama papan bertuliskan ‘stop’ di tangannya.
“Ayah, kenapa bahunya warna biru ?,” tanya Bayu,
putra Marwan yang berusia 5 tahun ketika melihat ayahnya mengolesi salep di
bahu kirinya.
“Digigit tawon tadi di jalan,” jawab Marwan bohong.
Dia tidak mungkin mengatakan bahwa luka itu akibat terkena palang pintu kereta
yang dia terobos siang tadi.
“Tawonnya jahat banget, Yah. Nanti kalau ketemu,
Bayu bunuh tawonnya.”
“Jangan dong, Bayu. Kita nggak boleh menyakiti
binatang,” nasihat Marwan pada anaknya yang kini duduk di bangku Taman
Kanak-Kanak.
Bayu langsung terdiam tak membalas. Dia anak yang
pintar sekaligus patuh akan segala nasihat yang keluar dari bibir Ayahnya. Bagi
Bayu, Marwan bukan hanya sosok ayah, melainkan pahlawan dan panutan yang selalu
ingin dia tiru.
* * *
Marwan menginjakkan kakinya ke depan untuk menambah
gigi pada motornya ketika lampu lalu lintas berubah kuning. Lalu dia memacu
gasnya saat lampu lalu lintas baru saja berubah berwarna hijau. Hal itu dia
lakukan semata-mata karena ada polisi yang berjaga jaga di perempatan yang baru
saja dia lewati. Jika tidak ada polisi yang berjaga-jaga dan mengawasi, Marwan
perlahan akan mencari celah untuk dapat menerobos lampu lalu lintas yang
berwarna merah.
Pekerjaannya sebagai kurir di salah satu perusahaan
logistik internasional menuntutnya untuk dapat tepat waktu dalam mengantar dan
menagih tagihan. Ditambah lagi dengan keadaan jalanan ibukota yang kian hari
kian penuh dengan kendaraan bermotor, mau tak mau dia sering membawa kendaraan
secara brutal di jalan raya agar dapat sampai di tujuan dengan tepat waktu.
* * *
Istri Marwan menarik resleting jaket putranya hingga
satu jengkal di bawah leher. Bayu sudah rapi dan siap untuk pergi bersama
ayahnya. Sore itu, mereka akan pergi membeli robot-robotan di toko mainan. Marwan ingin menepati janjinya untuk
membelikan robot-robotan begitu Bayu masuk peringkat 5 besar di kelasnya.
“Anak ayah sudah siap belum untuk menjemput robot
impiannya?,” tanya Marwan dari atas motor yang mesinnya sudah menyala.
“Sudah, Yah,” jawab Marwan berlari dengan semangat
siap untuk duduk di jok belakang.
“Eit tunggu dulu,” tahan Marwan menghentikan langkah
putranya yang hampir naik ke motornya.
“Ada apa lagi Ayah ? Bayu sudah pake jaket, sepatu,
kaos kaki dan kacamata,” jelas Bayu sambil menyentuh setiap perlengkapan yang
dia sebutkan.
“Ada yang ketinggalan nih, Bayu,” ujar istri Marwan
dari dalam rumah sambil membawa helm
kecil di tangannya
Bayu cemberut saat mengetahui dia harus mengenakan helm kecil berwarna biru dengan gambar
Upin Ipin yang dibawa ibunya.
“Bayu nggak suka pake helm, Ayah. Kepala Bayu sakit
kalau pake helm,” bujuk Bayu pada
ayahnya.
“Tetapi lebih sakit lagi kalau kepala Bayu kena
aspal jalanan karena nggak pake helm,”
jelas Marwan lembut pada putranya.
“Valentino Rossi aja yang pebalap hebat, kalau naik
motor pake helm. Bayu juga pake ya,
biar mirip Valentino Rossi,“ tambah istri Marwan sambil memakaikan helm kepada
putranya.
* * *
Ayah, kenapa kita berhenti di sini ? Kitakan belum
sampai di toko mainan,” tanya Bayu saat motor yang dikendarai Marwan berhenti
di persimpangan jalan.
“Kamu lihat itu Bayu,” tunjuk Marwan pada seonggok
tiang yang dapat memancarkan tiga warna berbeda.”Itu namanya lampu lalu lintas.
Sekarang yang sedang menyala warnanya merah, artinya semua yang bawa kendaraan
harus berhenti dan menunggu sampai warnanya berganti jadi hijau. Kalau warnanya
sudah hijau, kita baru boleh jalan lagi,” jelas Marwan sabar pada putranya.
“Kalau yang tengah itu warna apa Ayah?,” tanya Bayu
mulai memahami.
“Yang tengah itu warnanya kuning, tandanya kita
harus berhati-hati.”
“Ayah…orang itu tetap jalan padahal lampunya masih
merah,” teriak Bayu sambil menunjuk ke arah pengendara motor yang menerobos
lampu merah dengan kencang.
Marwan hanya tersenyum kecil sambil menggelengkan
kepala.
“Orang itu nggak tahu kalau lampunya merah tandanya
nggak boleh jalan ya, Yah?,” tanya Bayu polos.
“Orang itu tahu Bayu, tapi mungkin karena nggak ada
polisi makanya orang itu tetap jalan.”
“Kalau ada polisi, kenapa memangnya Yah?”
“Nanti ditilang. Dihukum sama Pak Polisi”
“Masuk penjara ya Yah ? Ih sereem.”
“Makanya, Bayu kalau sudah besar, jangan seperti
orang itu ya. Jangan menerobos lampu merah meski nggak ada polisi,” nasihat
Marwan pada putranya.
“Bayu kalau sudah besar nanti mau jadi seperti Ayah
pokoknya. Yang selalu pake helm dan
patuh lalu lintas, meski nggak ada Pak Polisi.” jawab Bayu bersemangat tanpa
tahu bagaimana sosok ayahnya di jalanan tanpa putranya.
* * *
Marwan menginjak rem kakinya sekuat tenaga. Tangan
kanannya sama kuat menarik rem yang bersembunyi di balik stang motornya. Hal
itu dia lakukan agar kuda besinya tidak menabrak ibu paruh baya yang melintas
di hadapannya dengan santai.
Beruntung, Marwan dapat mengendalikan sepeda
motornya sehingga tabrakan itu terhindarkan. Si ibu hanya melintas santai
dengan tatapan kesal. Tak terima diberikan tatapan yang demikian, Marwan
membuka kaca helmnya.
“Bu, hati-hati dong kalau mau nyebrang. Ibu tuh
hampir tertabrak sama saya tahu nggak? Kalau saya nggak rem kuat-kuat, bisa
mati ibu,” teriak Marwan marah-marah.
Si ibu yang tadinya telah melewati Marwan tidak
terima diteriaki demikian. Dia menghampiri Marwan dengan tatapan yang semakin sinis.
“Heh Pak, mata kamu lihat tidak itu di depan apa
namanya ? Zeba cross, tempat buat
pejalan kaki menyebrang. Saya sudah benar toh
nyebrang di situ. Bapak toh ya kalau
tahu ada zebra cross ya mbok lebih pelan jalannya, jangan masih
tetap ngebut. Tidak menghargai pejalan kaki. Dasar gila,” omel si ibu di depan
wajah Marwan.
“Dasar edan, dikira ini sirkuit balapan apa ya. Bawa
motor ngebut, udah salah marah-marah. Dikira jalanan milik nenek moyangnya i,”
gerutu si ibu sambil melanjutkan menyebrangnya tetap di jalur zebra cross.
* * *
“Assalamualaikum,”
sapa Marwan sambil melepaskan jaketnya begitu sampai rumah.
“Ayah sudah pulaaaaaang. Lihat, Bayu gambar apa Yah.
Lihat. Lihat,” sambut Bayu pada Ayahnya dengan buku gambar yang
ditinggi-tinggikan oleh tangannya.
“Iya nanti Ayah lihat, tapi Bayu tadi dengar tidak
kalau Ayah mengucapkan salam ? Kalau ada yang mengucapkan salam, kita harus
menjawabnya terlebih dahulu,” jelas Marwan lembut.
“Ohiya. Waalaikum salam, Ayah,” jawab Bayu
malu-malu.
“Nah begitu. Coba mana Ayah lihat, anak Ayah gambar
apa sih?,” tanya Marwan sambil meraih buku gambar yang dipegang putranya sejak
tadi.
Marwan mengamati gambar yang tidak sepenuhnya
sempurna tetapi dapat dipahami. Sebuah potret keadaan jalanan dimana motor dan
mobil menunggu di bawah lampu lalu lintas. Di depannya terdapat zebra cross dengan gambar orang yang
sedang melintas.
“Ini gambar Ayah dan Bayu yang sedang naik motor
tapi berhenti, karena lampunya merah. Tadi ada polisi yang datang ke sekolah
dan ngajarin rambu-rambu lalu lintas, Yah. Terus Polisi itu juga bilang kalau
mau nyebrang harus di zebra cross.
Lihat yah, ini namanya zebra cross,
warnanya putih sama hitam. Mirip kaya zebra kan Yah?,” jelas Bayu sambil
menunjuk-nunjuk ke buku gambarnya.
“Bayu gambar ada nenek-nenek yang nyebrang di zebra cross, trus Ayah sama Bayu
ngeliatin sambil nunggu lampu merahnya berubah. Kalau lampu merahnya udah
berubah jadi hijau, orang nggak boleh nyebrang lagi. Polisi tadi juga bilang
kalau mau nyebrang harus di zebra cross,
karena itu yang paling benar. Tapi, kalau ada orang yang nyebrang di zebra cross trus ditabrak, nanti orang
yang nabrak bisa masuk penjara Yah. Karna dia salah udah nggak berhenti pas ada
zebra cross,” celoteh Bayu seolah
memindahkan apa yang dikatakan polisi di sekolahnya kepada ayahnya.
“Wah Bayu hebat ya, tahu banyak tentang lalu lintas”
“Iya, Yah. Kalau besar nanti Bayu ingin jadi Polisi.
Bolehkan Yah?”
Marwan mengelus kepala putranya sambil tersenyum.
“Tentu saja boleh.”
“Horeee,” teriak Bayu senang. “Ibu, kata Ayah, Bayu
boleh jadi polisi Bu,” teriak Bayu sambil berlari masuk ke rumah untuk
menghampiri ibunya.
Marwan melepaskan sepatunya sambil merekam kembali
penjelasan putra tunggalnya tadi. Lamunannya juga mengantarkan dia pada
peristiwa tadi siang saat hampir menabrak ibu-ibu yang tengah menyebrang di zebra cross. Apa jadinya kalau tadi dia
sampai menabrak si ibu. Apakah dia akan dituntut dan dimasukkan ke dalam
penjara. Marwan menggelengkan kepalanya seolah mengusir pikiran dan kejadian
buruk yang hampir terjadi. Yang dia tahu, dia tidak akan mengulangi
perbuatannya lagi.
Nampaknya Marwan sungguh serius untuk tidak
mengulangi perbuatannya yang kerap kali melanggar peraturan lalu lintas ataupun
berkendara tidak tertib. Hal itu dibuktikannya dengan mengabaikan panggilan yang
terus menggetarkan ponselnya. Menjawab telpon dan berbicara sambil berkendara
sering kali Marwan lakukan. Padahal, hal itu menjadi penyebab utama kecelakaan
lalu lintas yang menyebabkan kematian.
Tetapi kali ini, Marwan mengabaikan panggilan
tersebut dan terus melaju dengan riang gembira. Marwan berhenti menjadi ayah
pencitraan yang berperilaku tertib berlalu lintas di hadapan putranya. Dia
ingin tulus berperilaku tertib lalu lintas untuk keselamatan dirinya. Ponsel
Marwan yang terus bergetar tanpa henti membuat dia meminggirkan kendaraannya
dan berhenti untuk menjawab telpon.
Sayangnya, baru saja Marwan ingin menekan tombol
jawab, panggilan itu telah berhenti. Terdapat 5 panggilan tidak terjawab dan
sebuah pesan singkat dari tetangganya. Tumben sekali tetangga Marwan
menelponnya hingga berkali-kali, pikir Marwan. Marwan membuka pesan singkat
yang dikirim tetangganya itu. Lututnya terasa lemas begitu membaca pesan di
dalamnya.
Pak
Marwan, tolong angkat telponnya. Keadaan darurat. Bayu dan istri bapak menjadi
korban tabrak lari saat menyebrang di jalan.
*
* *
Marwan berhenti di persimpangan saat lampu lalu
lintas menyala merah. Pikirannya kalut, matanya sudah berkaca-kaca, tangisnya
hampir pecah. Dia tak sabar untuk sampai di Rumah Sakit dan memeluk kedua orang
yang amat dia cintai, yaitu istri dan anaknya. Kaki Marwan sudah menginjakkan
giginya, meski lampu lalu lintas masih menyala merah.
Marwan melemparkan pandangannya ke sekitar dan tidak
menjumpai sosok berbaju coklat yang biasanya berdiri mengawasi. Ini kesempatan
yang baik bagi Marwan untuk dapat menerobos lampu merah agar dapat segera
sampai di Rumah Sakit. Beberapa pengendara motor lain juga nampak mencari celah
dan berhati-hati untuk menerobos lampu merah. Marwan hampir memacu gasnya
ketika seakan dia mendengar bisikan di belakangnya.
“Bayu kalau
sudah besar nanti mau jadi seperti Ayah pokoknya. Yang selalu pake helm dan patuh lalu lintas, meski nggak
ada Pak Polisi.”
Marwan terkaget dan menoleh ke belakang. Tak
ditemuinya pemilik suara itu di jok belakang motor Marwan. Marwan semakin
kalut. Dia ingat benar akan ucapan Bayu saat mereka hendak pergi membeli
robot-robotan sore itu. Marwan menurunkan gigi motornya dan menunggu lampu lalu
lintas itu berganti hijau, baru kemudian melanjutkan perjalanannya. Dia
berharap kalau sesuatu yang terburuk tidak akan terjadi.
* * *
Tangis Marwan benar-benar pecah ketika menemukan
istri dan anaknya yang telah tertutup kain putih di ruang mayat. Keduanya
menjadi korban tabrak lari oleh pengendara motor yang tidak bertanggung jawab
ketika mereka sedang menyebrang. Saat kejadian, jalanan memang tengah lengang
tetapi terdapat seorang saksi yang menyaksikan ibu dan anak itu menyebrang dengan
santai di zebra cross. Tanpa disadari
sebuah motor dengan kecepatan tinggi melaju kencang dan menghantam mereka.
Keadaan yang sepi tersebut menjadikan kesempatan yang baik bagi si penabrak
untuk melarikan diri.
Marwan hanya bisa menangisi keduanya. Terus meratapi
sambil terus bertanya pada dirinya sendiri. Inikah balasan untuknya karena
kerap melanggar peraturan lalu lintas ? Tapi mengapa balasan ini harus diterima
oleh istri dan anaknya ? Mengapa Tuhan tidak menurunkan balasannya langsung
pada dirinya? Tak ada yang mampu menjawab semua pertanyaan Marwan. Tak ada
seorangpun.
End
Blog post ini dibuat dalam rangka
mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib,
Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan
oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com