I’m Jealous, Boy !
Oleh :
Fitria Wardani
Oleh :
Fitria Wardani
Bibir mereka bertemu. Semakin erat dan terbawa nafsu. Sepasang
kekasih itu terus menikmati sentuhan bibir satu sama lain di tengah keramaian
pesta tahun baru. Di tengah hiruk pikuk orang-orang yang memang meminta mereka
melakukan hal menjijikan itu di depan umum. Tantangan menunggu perganNanda
tahun di Pantai Sambolo. Zara dan Nico seperti dimabuk akan cinta, seperti
ungkapan murah ‘dunia milik mereka berdua’ telah merantai mereka.
Mataku perih.
Menumpuk air mata yang sebisa mungkin kutahan. Tak dapat lagi kusaksikan
kekasihku menempelkan bibirnya di atas bibir orang lain yang tak dicintainya,
yang hanya dijadikan tameng untuk hubungan kami. Aku tak mungkin meneteskan air
mata saat ini, di depan kerumunan orang yang tertawa puas melihat adegan
menjijikkan itu. Sesekali aku menundukkan wajahku, memilih untuk memandangi
renda-renda cantik yang menghias taplak meja atau rangkaian bunga plastik yang
indah serta api yang perlahan menggerogoti tubuh lilin dalam gelas mungil.
Lalu sesekali aku
mengangkat kepalaku, melihat Nico tak sedikitpun melepaskan bibirnya dari bibir
milik Zara. Kutundukkan kembali kepalaku dan kulirik arloji manis pemberian
Nico 2 hari yang lalu sebagai hadiah ulang tahunku.
Usai. Sudah 60
detik berlalu, waktu yang diminta sebagai tantangan adegan menjijikkan itu.
Kulirik lagi detik yang berjalan dalam arlojiku. Ya, aku yakin sudah 60 detik
yang dijanjikan itu telah berlalu dan kini terlewat hingga 15 detik. Aku
melemparkan pandanganku ke orang-orang sekitar. Mereka sungguh menikmati apa
yang saat ini menjadi tontonan mereka. nampaknya tidak ada satupun orang yang
sadar kalau waktu yang dijanjikan sebagai tantangan itu telah berakhir.
Kuarahkan mataku
pada objek yang menjadi sumber perhaNanda orang banyak dalam pesta kecil itu.
Dua orang bodoh itu, yang salah satunya kekasihku belum juga melepaskan bibir
mereka satu sama lain. Aku ingin berteriak, meminta mereka menyudahi adegan
yang menyayat hatiku, tetapi nampaknya mereka telah tenggelam dalam sebuah
nafsu setan.
Aku beranjak pergi
dari keramaian pesta itu, mengajak segenap perasaanku yang tersakiti dan
tubuhku yang terasa lemas tak berdaya. Tak ada yang bertanya kemana aku ingin
pergi, tak ada juga yang peduli. Padahal aku juga kekasih Nico. Tetapi tidak
ada satupun orang yang tahu. Karena akan menjadi gempar jika banyak yang tahu.
Toilet menjadi
tempat persembunyian diriku, tetapi bukan tempat persembunyian bagi perasaanku.
Aku menumpahkan semua perasaanku. Aku menangis sekeras-kerasnya di depan sebuah
kaca besar yang memantulkan bayanganku.
Mataku merah dan pipiku basah..tak ada maskara yang luntur atau lipstick yang
pudar karena aku memang tidak menggunakannya.
Nico selalu
bilang kalau aku cantik tanpa riasan apapun. Alami, tanpa ada kebohongan yang
menyelimuti. Tidak seperti gadis lain pada abad ini, yang hobinya menumpuk
semua kepalsuan di atas wajah mereka, juga hati. Tapi persetan dengan itu
semua, karena realita yang terpampang saat ini adalah pembalikan dari semua
alibi Nico sendiri. Dia tidak menolak atas tantangan itu. Tentu saja dia
menikmati bibir rasa Maybeline milik Zara. Satu-satunya kekasih yang dia
teriakan pada semesta beserta isinya.
Dilihat dari sisi
manapun, Zara memang lebih pantas menjadi kekasih Nico. Dia wanita yang cantik,
memiliki otak brilliant dan kaya raya. Pantai Sambolo ini milik kakeknya.
Pantai dengan pasir putih bersih yang sulit kau temukan di Pulau Jawa. Dan Zara
adalah cucu kesayangannya. Yang menjadi nilai tambah lagi, dia begitu ramah dan
rendah hati. Kekayaannya tidak menjadikannya angkuh. Hal itulah yang membuatku
sulit untuk membenci Zara.
Suara pintu toilet
yang dibuka menyadarkan lamunanku. Segera kusapu air mataku dengan punggung
tanganku. Jangan sampai ada orang yang melihatku berteman air mata di toilet
ini karena mereka pasti akan memandangku aneh.
Lewat cermin yang
tadinya memantulkan bayanganku, kini kulihat juga memunculkan bayangan orang
lain. Orang yang kukenal. Bayangan Nico. Dengan tubuh tegapnya, ia mematung di
sana. Wajahnya sumringah seolah baru menemukan anak kucing yang hilang.
“Aku cari kamu
kemana-mana, tahunya ada di toilet. Kalau mau ke toilet, seenggaknya kamu titip
pesan dong ke temen-temen, jadi aku nggak pusing nyariin kamu kemana-mana, ”
ujar Nico dengan seulas senyum bahagia karena telah menemukanku.
“Iya, maaf,”
jawabku singkat dengan suara bergetar dan terus membelakanginya.
Aku memutar kran
air wastafel, berusaha menyibukkan diri dan menghindari tatapan Nico melalui
cermin. Tangan Nico meraih bahuku dan memutar badanku untuk berbalik ke
arahnya. Nico menghadapkan wajahnya tepat di depan wajahku. Mata bulatnya yang
coklat menatap lurus kedua mataku.
“Kamu habis nangis
?,” tanyanya dengan dahi berkerut. Wajahnya semakin tampan dan menggemaskan
Aku tak menjawab dan memalingkan wajahku.
“Kenapa ?”
Aku masih diam dan
memilih untuk tidak menatap mata Nico.
“Kamu cemburu ?”
Aku masih diam tapi
hatiku panas dan benci dengan setiap pertanyaan yang keluar dari mulut Nico.
Semua itu pertanyaan bodoh bagiku. Tak bisakah Nico mengerti aku? Haruskah ia
terus menjajalkan pertanyaan menyebalkannya itu? Aku hanya menarik nafas
panjang dan menghembuskannya kembali. Semua ini terasa sulit bagiku.
“Sayang, aku nggak
ngerti kalau kamu terus begini. Setiap aku tanya, kamu cuma diam. Kamukan punya
mulut, jawab dong !,” ungkap Nico kesal.
Aku mengangkat
wajahku yang dari tadi tertunduk ke lantai di toilet
“Ya, aku cemburu. Aku punya perasaan, Nic.
Siapa sih yang nggak sakit hatinya ngeliat bibir pacarnya nempel sama bibir
cewek lain ,” ungkapku setengah berteriak.
“Sayang, itukan
cuma tantangan dari temen-temen. Just for
have fun aja. Biar suasana pesta
tahun baru ini makin ramai”
“Ya tapikan
tantangan itu banyak, kenapa harus kissing
di depan umum yang dipilih?”
“Sayang, itu
tantangan dari temen-temen. Dan tangan Zara yang memilih tantangan itu dalam
undian random. Sometimes challenge is
crazy you know. Come on, sweetheart, jangan ngambek lagi dong. Semua ini
bukan keinginan aku,” rayu Nico
“Kamu bisa bilang
nggak, kalau kamu mau. Tapi kamu emang maukan merasakan bibirnya Zara yang rasa
maybeline itu?,” ucapku pedas
“Hey, gimana kamu
bisa tahu?,” tanya Nico dengan nada menggoda
Aku hanya diam. Memalingkan wajah karena merasa kesal
“Yaudah. Aku tahu kamu cuma envy,” jawab Nico singkat.
Tak berapa lama,
Nico mengejutkanku dengan menempelkan bibirnya di atas bibirku. Tangannya
mendekap pinggangku dan merapatkan tubuhku ke arahnya. Seketika aku menolak dan
memaksa melepaskan tubuhku dari dekapannya.
“Kamu kenapa sih
?,” tanya Nico dengan nada kesal dan tatapannya yang tajam.
“Bibir kamu bekas
wanita itu. Aku nggak mau,” jawabku ketus.
Nico hanya mengusap
bibirnya perlahan dan diam. Hening. Tak ada yang bicara di antara kami.
“Kita putus aja deh
Nic. Aku nggak bisa terus-terusan jadi kekasih gelap kamu.,” ucapku membelah
keheningan yang tercipta di toilet.
“Kenapa? Cuma gara-gara
bibir aku nempel sama Zara ? Itu Cuma game,
sweetheart supaya nggak ada yang curiga siapa aku sebenarnya. Kamu tahu
itu. Dan kamu juga tahukan kalau hati aku cuma milik kamu”
“Tapi aku lihat,
kamu beneran sukakan sama Zara ? Mata kamu nggak bisa bohong, Nic”
“Itu cuma perasaan
kamu yang terbakar cemburu, sayang. Kamu jadi negative thinking. Untuk
mencairkan suasana gimana kalau kita jalan-jalan di pantai ?”
“Aku minta maaf deh
kalau menurut kamu tadi tatapan aku ke Zara seolah suka sama dia. Tapi,
seharusnya kamu lebih bisa membedakan kalau tatapan aku Zara dengan tatapan aku
ke kamu itu beda, sweetheart”
Aku hanya menunduk
pasrah sambil melempar senyum khasku tapi Nico selalu tahu maksud dari semua
itu. Nico langsung merangkul bahuku dan bergegas meninggalkan toilet hingga
saat pintu toilet pria itu terbuka, Zara telah berdiri manis di sana.
“Lama banget sih di
toiletnya Nic ? Aku sudah menunggu kamu di depan toilet ini lebih dari 15
menit. Jadi, kamu habis mencuci bibir kamu setelah kissing sama aku?,” tanya Zara bertubi-tubi.
Hening. Kami masih kaget akan keberadaan Zara yang
tiba-tiba.
Ohya, sifat cerewet Zara adalah titik kekurangannya.
Atau mungkin itu adalah sebuah kewajaran bagi wanita. Tetapi aku sungguh tak
tahan dengan perangainya yang satu itu.
“Did you feel disgusted with me ?,” tanya Zara lembut
setelah tak ada jawaban dari pertanyaannya yang bertubi-tubi.
Kali ini sepasang bola matanya yang coklat bulat
memancarkan keteduhan dan kekhawatiran. Aku tak sampai hati melihatnya.
“Nico, kamu ngapain ngerangkul Nanda ? Kamu juga, Ian.
Kok mau sih dirangkul sama Nico ?,” tanya Zara sinis secara tiba-tiba.
“Eh nggak ini
tadikan cuma rangkulan sahabat aja, beib.
Iyakan Ian ?,” elak Nico sambil melepaskan tangannya dari bahuku.
“Iya, Ra. Lo jangan
negative thinking dong,” tambahku
dengan senyum yang dipaksakan.
“Habis lo
sahabatnya Nico tapi udah kaya pacar ke-2nya sih. Kemana-mana bareng. Bikin envy. Gue aja yang ceweknya masih sering
dicuekin sama Nico,” gerutu Zara.
Aku tercekat mendengarnya.
Seandainya Zara mengetahui yang sesungguhnya. Zara lah pacar ke-2 Nico, bukan
aku. Kudapati Nico mematung, seolah kaget dengan pernyataan gadis di depannya
itu. Tapi hal itu hanya berlangsung sepersekian detik, karena Nico langsung
dapat mencairkan suasana.
“Yaudah mulai
sekarang aku nggak cuekin deh. Aku akan selalu ada di samping kamu,” janji Nico
sambil menggamit tangan mungil Zara.
“Anytime?,” tanya Zara memastikan.
“Anytime, love,” balas Nico. Kali ini dia mengangkat tangan Zara yang berada di
genggamannya, lalu mengecupnya.
Zara
tersenyum lembut. Ada kebahagiaan yang tersirat dalam matanya yang bening. Di
matanya yang bening pula, terpancarkan sebuah bayangan orang kesakitan
menyaksikan adegan itu. Ya, orang itu adalah aku.
Ucapan
Nico begitu menyakitkan untukku. Aku tahu sampai kapanpun aku hanya akan
menjadi kekasih gelapnya.
“Kalau
gitu, temani aku ke pantai. Aku mau menghitung mundur perganNanda tahun sambil
mendengar deburan ombak. Aku ingin jalan-jalan di pantai,” pinta Zara.
“Siap, tuan puteri. Hamba akan menuruti permintaan tuan
puteri,” ujar Nico dengan posisi bak abdi istana yang setengah berlutut.
Lengannya membentuk siku, menyiskaan ruang untuk digandeng. Tetapi ruang itu
tentu saja bukan diperuntukkan bagiku.
Zara tersenyum manis. Manis sekali hingga membuat ulu
hatiku semakin nyeri. Zara menyambut ruang itu dan mereka melangkah pergi.
Meninggalkanku berdiri sendiri mematung di depan toilet pria berbau busuk ini.
Tetapi, tiba-tiba suara itu menyapaku.
“Nanda, kamu mau kemana ?, ” tanya Zara yang melongokkan
kepala di ujung koridor toilet.
Aku hanya mengangkat alis. Bingung atas pertanyaan Zara
dan tak tahu harus menjawab apa. “Ikut kami jalan-jalan ke pantai yuk. Make a wish di pinggir laut,” bujuk
Zara.
“Iya, Ian. Ayo ikutan. Daripada bengong. Kasihankan
sendirian, jomblo. Lebih baik ikut kita,” tambah Nico.
Aku senang Nico mengajakku tetapi aku tidak suka ia
mengasihaniku, terlebih lagi di depan Zara. Meski aku tahu kalau ini semua
adalah topeng yang sedang ia kenakan.
Aku hanya tersenyum kecil.
* * *
“Aku bersyukur
kakekku mewariskan Pantai Sambolo ini untukku. Pantai ini bagiku adalah teman
untuk segala peraduan setiap emosi yang sedang kuhadapi. Terlebih lagi pasir
putih nan lembut ini selalu siap menerimaku kapanpun,”
“Jadi, kamu
mengadakan pesta tahun baru di sini karena sebenarnya….,”
Aku sengaja
menggantungkan kalimatku. Kami sudah berjalan selama 10 menit menyusuri
pinggiran Pantai Sambolo ini, tetapi Nico—yang sedang mengambil ponselnya di
kamar—belum juga kembali.
“Aku bahagia
bersama Nico, tetapi entah kenapa ada sesuatu yang disembunyikan dalam diri
Nico dariku. Aku merasa ada ruang kecil dalam diri Nico yang dikunci rapat
dariku. Ruang itu seolah disediakan untuk orang lain.”
Zara menghentikan
langkahnya. Kakinya yang mungil kini telah bertemankan pasir putih yang halus. High heelsnya sudah lama ia tanggalkan
dan hanya digenggam.
“Kamu tahu apa yang
tidak aku tahukan, Ian ?, ” tembak Zara
tiba-tiba.
“Maksudmu ?,”
balasku bertanya.
“Tentang Nico. Apa ada orang lain selain aku di
hatinya?”
Deburan ombak terdengar mendominasi perbincangan ini.
Aku masih belum menjawab. Zara masih belum melangkah. Sepasang matanya
tertancap pada diriku. Menanti mulutku membuka.
“Jadi benar dugaanku,” buka Zara memecah keheningan yang
tercipta diantara kami. Kini tatapan dan tubuhnya menghadap ke laut. Ada senyum
yang tercipta dari bibir beroleskan Maybeline miliknya. Senyum yang menyiratkan
luka.
“Kamu sudah kenal sama Nico hampir 5 tahunkan? Kamu
tentu saja tahu segalanya. Nico akan lebih memilih bercerita sama kamu
dibanding aku, kekasihnya selama 2 tahun ini.”
Tentu saja. Tentu saja, karena aku kekasih Nico selama 5
tahun, Ra. Jauh sebelum Nico mengenalmu, Ra. Lantas apa yang salah jika Nico
lebih memilih menceritakan segalanya kepadaku?
“Jadi Nico selingkuh ? Aku merasa tidak pernah
mendapatkan hati Nico. Meski ia selalu berhasil membuatku jatuh cinta
berkali-kali setiap saat melihatnya.”
Aku masih terpaku. Suasana ini lebih cocok sebagai
monolog Zara karena aku tak sedikitpun membuka mulut dari berbagai pertanyaan
yang terlontar dari mulut Zara. Aku mengutuki Nico yang tak juga kembali.
“Nico nggak selingkuh, Ra. Aku tahu betul kalau dia
teramat sangat menyayangimu. Kekhawatiranmu akan kehilangan Nicolah yang
membuat kamu berpikir yang nggak-nggak.”
Aku meletakkan tanganku di atas bahu kiri Zara untuk
meyakinkannya. “Nico akan terus bersama kamu. Percayalah”
Aku hampir muntah dengan untaian ceramah penyemangatku
kepada Zara jika saja Nico tidak cepat-cepat datang.
“Sorry lama. Gue bawa ini buat kalian,” buka Nico yang
baru datang sambil menyodorkan 2 jagung bakar untuk aku dan Zara.
“Ini rasa keju buat Zara dan yang pedas buat Nanda,”
jelas Nico seperti penjual jagung bakar. Aku senang Nico tidak lupa dengan rasa
favoritku.
“Aku mau yang pedas,
Nic. Bosan sama yang keju. Tukaran dong, Nda,” pinta Zara tiba-tiba
sambil berniat mengambil jagung bakar milkku, tetapi Nico menghalanginya.
“Nanda alergi sama keju, Ra. Lagipula biasanya kamu
selalu pesan rasa kejukan?”
“Aku bosan,” jawab Zara singkat.
“Kamu juga nggak boleh keseringan makan pedas lho, Ra.
Tadi di dlama udah makan udang yag pedas banget”, jelas Nico mengingatkan.
“Itu pedas manis, Nic. Punya kamu rasa apa?”
“Keju juga. Supaya samaan dengan kamu,” jawab Nico
dengan senyum khasnya yang tak pernah gagal membuatku meleleh. Tetapi senyum
itu bukan untukku kini, melainkan untuk Zara.
Zara tersenyum mendengar alibi yang dipaparkan Nico.
Kami kemudian sibuk makan jagung bakar sambil menyusuri pantai tanpa beralaskan
alas kaki.
“Nda, resolusimu apa buat tahun baru ? Kapan punya pacar
? Emang nggak pengen punya pacar ?, ” berondong Zara dengan berbagai
pertanyaan. Cerewetnya sudah mulai keluar dan aku tak pernah bisa untuk tidak
merasa kesal.
Tetapi aku menyembunyikannya dan memilih menjawab dengan
senyum tipis.
“Yang ngejar sih banyak. Tapi nggak ada yang nyangkut.
Mungkin, Nanda keseringan jual mahal,” jawab Nico santai.
“Masa sih? Kamu sok tahu kali, Nic. Siapa tahu diam-diam
Nanda sudah punya pacar. Pacar rahasia. Kamu nggak tahu. Cuma Nanda dan
pacarnya yang tahu,” tutur Zara sambil menjawil hidung Nico.
Bingo ! Pacara rahasia. Aku memang memilikinya, Zara.
Pacara rahasiaku adlaah kekasihmu di dunia nyata.
“Nic, aku mau tanya sesuatu deh sama kamu. Janji jawab
jujur ya tapi,” buka Zara.
“Iya. Kamu mau tanya apa memangnya ? Aku jawab jujur
deh”
“Juga objektif ya. Nggak perlu merasa nggak enak”
Nido hanya mengangguk sabar.
“Kamu pilih aku atau Nanda?”
“Maksudnya ? Pilih gimana? Kalian kan 2 makhluk yang
berbeda. Kenapa aku harus pilih salah satunya?,” balas Nico gelagapan.
“Justru karena kami 2 makhluk yang berbeda, maka kamu
semakin memiliki alas an untuk memilih salah satunya bukan?,” jelas Zara lagi.
Aku tak mengerti kemana arah pertanyaan Zara ini. Tetapi di dalam lubuk hatiku,
aku juga penasaran dengan jawaban Nico.
Nico hanya tertawa. Tertawa yang sesungguhnya
menyiratkan kebingungan.
“Okay, aku bantu. Misalkan dalam kondisi kami sedang
sama-sama dirawat di Rumah Sakit. Kamu lebih memilih menunggui aku atau
Nanda?,” tanya Zara.
“Zara…itu…pertanyaan…”
“Kamu cukup jawab, Nic”
“Aku pilih kamu tentunya, Ra. Karena kamu pacar aku”
Aku tercekat mendengarnya. Tetapi, sudha pasti Nico akan
menjawab seperti itu
“Tapi, Nanda sahabat kamu?”
“Suatu saat pada kondisi itu, aku yakin Nanda telah
menemuka orang lain yang perhatian kepadanya. Kamu juga meyakininya kan, Nda ?”
Aku hanya mengangguk. Menelan pahit rasa sakit dan duri
yang menyesaki. Hatiku meletup letup bagai kembang api yang menandakan
pergantian tahun. Bedanya, letupan itu menyiratkan kebahagiaan. Sementara
letupan yag kurasakan menyiratkan rasa sakit yang bertubi-tubi.
Rasa sakit yang bertub-tubi atas pernyataan Nico
barusan. Jika selama ini kau hanya berpikir akan selamanya menjadi kekasih
gelap Nico, itu adalah salah. Karena kenyataannya mungkin akan lebih buruk dari
itu. Suatu hari Nico akan membuangku, memninggalkanku. Meninggalkan pasangan gaynya. Suatu hal yang tidak pernah
sekalipun melintas dalam pikiranku.
* * *
"Nandaa,"
Zara langsung memelukku tatkala aku menyeruak menerobos kerumunan
orang-orang di pinggir pantai. Tangisnya pecah membasahi kaos yang kukenakan
sejak semalam. Semoga Zara tidal menyadaro ada bau amis yang bersarang di sana.
Aku masih memeluk Zara sambil berjalan mendekati objel
yang menjadi pusat perhatian dan berkumpulnya orang-orang. Aku melihatnya.
Sesosok tubuh orang yang telah kucintai dan mencintaiku selama 5 tahun ini.
Orang yang selalu memberikan senyuman termanisnya untukku. Orang yang
menyisakan sebuah ruang dalam hatinya hanya untukku, tanpa dapat diusik orang
lain. Orang yang selalu berusaha melindungiku dalam keadaan apapun.
Orang itu kinibtak berdaya. Terbujur kaku bersama pasir
putih Pantai Sambolo yang halus. Aku tahu kulitnyapun tak kalah halus dari
pasir pantai itu. Tubuh itu milik Nico.
Aku kaget bukan main karena masih mendapati tubuh Nico
berada di pinggiran pantai ini. Mengapaa ombak tak menghanyutkan tubuhnya. Tiba
tiba pikiranku melayang pada maam sebelumnya. Malam setelah kami berbincang
bersama Zara.
Aku dan Nico tidak langsung tidur. Kami memutuskan untuk
menyusuri pantai lebih jauh. Jauh dari tempat penginapan kami. Tujuannya hanya
satu, tentu saja agar tidak ada yang melihat kami. Terutama Zara.
Sejujurnya aku sudah sangat lelah dan berulang kali
menolak ajakan Nico itu, tetapi Nico berkali lipat membujukku dan aku tak
berdaya. "Jangan cemberut dong Nda. Kamu beneran gak mau jalan jalan sama
aku emang nya ?"
Aku hanya diam. Tak menggubris setiap omongan yang
keluar dari mulut Nico. Aku sudah sangat lelah dan muak mengingat jawaban Nico
saat perbincangan beraama Zara tadi.
"Jadi, kalau aku dan Zara sama sama sedang sakit,
kamu nggak akan menungguiku, bahkan sejenakpun untuk menengok kamu nggak akan
melakukannya?," bukaku
"Nda, sudahlah kenapa kamu jadi mirip Zara begini
sih. Itu pertanyaan bodoh. Jangan diungkit lagi," teriak Nico.
Harus kuakui kalau aku kaget mendengarnya. Selama ini
Nico tak pernah sekalipun beerbicara lantang ataupun berteriak kepadaku. Tetapi
malam ini..
Aku langsung berlari kencang meninggalkan Nico. Dapat
kudengar Nico berusaha keras mengejarku. Merengkuh bahuku dan membalikkannya.
"Nda, maaf nda. Aku nggak maksud...aku..."
Suara Nico terputus. Matanya terbelalak menahan sakit
sekaligus kaget. Darah mengalir segar dari perutnya. Sekali tusukan namun begitu
dalam.
"Nda...kamu..."
"Maaf, Nic. Aku nggak bisa percaya terus sama kamu.
Kamu akan lebih memilih Zara pada waktunya nantu. Sampai kapanpun, kamu nggak
akan pernah mengenalkan aku kepada semesta dan isinya. Kamu nggak akan pernah
mengenalkanku sebagai kekasihmu," ucapku setengah berteriak.
Dadaku terasa sesak. Sakit sekali rasanya menyaksikan
Nico tersakiti. Tapi aku telah lama tersakiti olehnya. Dan aku tak mau
meneruskan rasa sakit ini. Aku memeluk Nico untuk terakhirnya sambil
menyelipkan sebuah pesan di kantung jeansnya.
Kejadian semalam berputar dalam kepalaku dengan sangat
jelas. Aku sengaja menghabisi nyawa Nico. Aku sudah muak menjadi tamengnya. Aku
terlalu bosan mendengar setiap bualannya. Nico akan meninggalkank untuk gadis
kaya bernama Zara. Pada suatu hari nanti. Hari itu akan tiba. Dan aku tidak
akan pernah membiarkan hari itu tiba.
Zara menangis di pelukanku. Isakannya begitu
mengharukan.
"Aku menemukan ini di kantong jeans Nico, Nda"
Zara menyodorkan sebuah kertas kecil berwarna kuning.
Aku mengenalinya. Kertas itu adalah pesan yang kuselipkan.
"Aku udah baca isinya, Nda. Nico ingin..."
"Aku pasti akan menjaga kamu, Ra. Seperti apa yang
diamanatkan Nico"
Zara membenamkan kepalanya di dadaku. Aku bersyukur ia
tak mengenali tulisanku ataupun Nico.
Finish