Sepatu
Oleh :
Fitria Wardani
Gadis tunanetra itu masih mengibarkan senyumnya sedari tadi. Sudah hampir
30 menit, dua manusia di hadapannya bertengkar memilih bunga mana yang menjadi
pilihan mereka. Harus kuakui kalau salah satu manusia itu adalah aku dan manusia
lain itu adalah Tam. Tam untuk tampan, karena dia memang tampan. Dia..ah nanti
kamu juga akan tahu siapa dia.
“Say, kita tidak mungkin membawa bunga matahari ini untuknya. Daddy pernah bilang kalau dia alergi
dengan bunga kuning menyeramkan itu,” jelas Tam dengan alasan yang sama untuk
kesekian kalinya.
“Ayolah, dia sudah tidak akan merasakan alerginya, Tam. Kenapa sih kamu
bergitu keras kepala?,” balasku dengan terus memilah bunga matahari segar di
hadapanku.
“Pokoknya aku tidak akan membelikan bunga matahari untuknya. Kita belikan
ini saja,”
Tam menyodorkan seikat bunga Lilli di hadapanku. Dan aku menepisnya.
“Tam, hari ini kita ke toko bunga karena kamu akan membeikan bunga
untukku. Apapun itu, jadi berpikirlah kalau aku akan membelikan bunga matahari
ini untukku, bukan untuk daddy,”
dengusku kesal dan berlalu menuju kasir membawa seikat bunga matahari yang
telah kupilih.
Tam memang tidak pernah hafal kalau
matahari adalah bunga favoritku. Tapi memang tidak seharusnya Tam hafal, dia
hanya…ah nanti kamu juga tahu gerutuku dalam hati.
* * *
Say meninggalkanku dengan seikat bunga lili di tangan. Tapi tunggu dulu,
dia berbalik arah dan dengan langkah
cepat menuju ke arahku.
“Kalau kamu nggak mau beliin, aku
bisa beli pakai uangku sendiri,” ujarnya sambil berlalu.
Say ngambek. Itu yang kutahu dan dia ingin aku mengejarnya
“Say, say , tunggu. Oke aku yang bayar, Say,” panggilku.
Panggilanku disambut oleh tatapan aneh beberapa pasang mata yang ada di
sekelilingku. Tentu saja mereka akan berpikir kalau aku lelaki tidak tahu malu
yang memanggil panggilan sayang pada kekasihnya di tempat umum hanya dengan
mengucap ‘Say’.
Say memang kepanjangan dari sayang, karena aku menyayanginya. Jadi, tidak
ada yang salah bukan ? Say telah menghilang dari pandanganku dan setangkai
mawar putih mencuri perhatianku.
Kita sadar ingin bersama, tapi tak
bisa apa-apa (Sepatu – Tulus)
* * *
Mawar putih itu masih bersemi indah di dalam vas kaca yang mengambil
tempat di sudut meja belajarku. Aku
merawatnya sesuai petunjuk perawatan bunga mawar yang ada di internet. Aku ingin bunga itu terus tumbuh, kalau perlu
lebih lama dari perasaanku yang terus tumbuh kepadanya. Sayangnya, aku baru
tahu hari ini—seminggu setelah bunga itu diberikan—kalau mawar putih
melambangkan persahabatan. Semuanya kudapatkan dari percakapan pagi tadi saat
jogging.
“Jadi, kapan lo mulai maju bro.
Selangkah lagi Alina mau diembat Jodi. Masa lo diem aja ?”
Itu suara Andi, teman Tam yang mengaku sebagai sahabat karibnya. Tetapi
buatku, Andi tidak lebih dari pria bermulut wanita yang hobinya menggosip. Ini
untuk kesekian kalinya Andi mempromosikan gadis single pada Tam. Setiap hari bisa berganti-ganti gadis yang ia
promosikan. Dan aku hafal betul kalau Tam hanya akan membalas dengan senyum
tipis sambil bilang “Buat lo aja, bro.”
Tetapi kali ini tidak. Tam memberikan reaksi yang berbeda.
“Jodi? Playboy kurap itu? Lo becanda kali Ndi”
Aku yang sedari tadi berada di belakang mereka mulai menyejajarkan
langkah dengan kedua pria itu. Tidak ingin kehilangan sepatah katapun yang
dilontarkan oleh Tam.
“Mana mungkin gue becanda,” balas Andi.
“Mungkin aja, lo kan biang gossip, Ndi,” serangku tiba-tiba. Dan sukses
membuat kedua pria itu mengarahkan pandangannya kepadaku. Pasalnya aku sangat jarang membuka mulut dalam perbincangan
rutin mereka di kala jogging.
“Kali ini fakta. Sumpah!”
“Terus gue harus gimana? Gue nggak tahu kesukaannya Alina apaan”
“Tenang, bro. Katakan saja dengan bunga. Maka, semuanya akan menjadi
jelas. Sejelas matahari menyinari pagi ini”
Ciih aku muak dengan kalimat puitis
yang dipungut dari tong sampah oleh Andi. Jelas jelas langit hitam menggantung
sedari tadi.
“Say, mawar putih yang gue kasih minggu lalu masih lo simpen kan? Bunga
itu buat Alina aja deh,” pinta Tam tiba tiba. Kalau aku sedang makan, mungkin
aku akan tersedak mendengarnya.
“Bro, lo mau ngasih mawar putih buat Alina? Salah besar”
“Kenapa emangnya? Lo bilang ‘katakan dengan bunga’, jadi apa salahnya
kalau gue mau ngasih mawar putih buat Alina?,”
Tentu saja salah, Tam kalau kamu
memberikan bunga milik seorang gadis untuk gadis lain. Kenapa nggak beli aja
lagi gerutuku kesal. Hanya bisa dalam
hati.
“Man, mawar putih itu
melambangkan persahabatan. Jadi, kalau lo ngasih mawar putih ke Alina itu
artinya lo menawarkan diri lo untuk menjadi sahabat Alina. Kalau lo mau
menyatakan perasaan lo ke Alina, lo kasih dia mawar merah. Artinya lo sayang
sama dia.”
“Oke. Kalau gitu mawar putihnya tetap lo simpen aja, Say. Gue mau beli
mawar merah aja buat Alina”
Setengah hatiku seolah meneriakkan kegembiraan, tapi sedetik kemudian
runtuh begitu mengingat kalau yang ditawarkan Tam padaku hanya sebuah
persahabatan. Runtuh bersama hujan yang turun ke bumi. Tapi, mau apalagi memang
? Kami hanya bisa mengizinkan hujan membasahi bumi dan segala isinya, termasuk
aku dan Tam.
* * *
Tak masalah bila terkena hujan,
tapi aku takut kamu kedinginan (Sepatu – Tulus)
Aku suka sekali dengan hujan. Lebih tepatnya mandi hujan. Maka, hujan
yang mengguyur deras saat jogging pagi tadi adalah hal yang menyenangkan
bagiku. Say juga menyukai hujan, tetapi ia tak bisa terkena air hujan. Meski
hanya setetes. Say akan langsung sakit setelahnya.
Seperti sekarang. Sudah 30 menit, aku mematung di depan kamar Say. Tak
berani mengetuk dan bertanya. Say ada di dalam, bergelung selimut karena demam
pasca kehujanan. Say tidak marah ataupun
ngambek. Dia juga tidak akan terganggu kalau akau masuk ke kamarnya, tapi ada
canggung yang bersembunyi di hatiku.
Rasa canggung dan perasaan bersalah karena kejadian tadi pagi. Saat aku
meminta mawar putihnya untuk Alina. Jelas sekali dari sorot matanya yang bulat
sempurna, ada perasaan terkejut dan tidak ingin kehilangan. Aku tahu, Say. Aku
tahu. Aku tidak akan pernah merenggut mawar putih itu darimu, apalagi
memberikannya untuk gadis lain. Aku juga tidak akan memberikan Alina mawar
merah.
* * *
“Tama….Sayra…”
“Iya, Mom”, sahutku bersamaan dengan Tam. Kami berebut menuruni anak
tangga sambil saling mendorong. Mengahalangi satu sama lain untuk menjadi yang
pertama sampai di mulut pintu. Mommy sudah menunggu di sana.
Hari ini sama seperti 2 tahun terakhir, kami rutin mengunjungi makam
Daddy sebelum Ramadhan. Sebulan yang lalu, aku dan Tam juga berkunjung ke makam
Daddy bertepatan dengan ulang tahunnya. Mommy tidak ikut karena ada tugas dinas
di luar kota.
Aku meraih seikat bunga matahari yang teronggok di atas meja ruang tamu
begitu melintasinya.
“Mom, apakah kita akan membawa bunga matahari untuk daddy? Bukankah dia alergi dengan bunga ini?,” tanyaku sambil
berjalan menuju pintu.
Tiba-tiba sebuah suara menyusup di balik teingaku. Hembusan nafasnya yang
hangat sudah tak asing lagi bagiku. Dia adalah Tama.
“Bunga itu untukmu, Sayra. Bunga favoritmu,” bisiknya sambil berlalu.
Aku hanya termangu dan tersenyum tipis.
Ya, dia adalah Tama, bukan tampan, meski dia memang tampan. Aku adalah
Sayra, bukan Sayang, meski dia memang menyayangiku. Kami bukan sepasang
kekasih, bukan juga sepasang sahabat karib. Kami saudara kembar, dimana di
dalam darahnya mengalir pula darahku.
Kita adalah sepasang sepatu. Selalu
bersama. Tak bisa bersatu
* * *
1 Desember 2013
Inspired by Sepatu -
Tulus
2 comments:
nice post
kan jadi mau punya anak kembar.!! tanggung jawab! haha
Post a Comment