December 18, 2013

Sepatu




Sepatu
Oleh :
Fitria Wardani


Gadis tunanetra itu masih mengibarkan senyumnya sedari tadi. Sudah hampir 30 menit, dua manusia di hadapannya bertengkar memilih bunga mana yang menjadi pilihan mereka. Harus kuakui kalau salah satu manusia itu adalah aku dan manusia lain itu adalah Tam. Tam untuk tampan, karena dia memang tampan. Dia..ah nanti kamu juga akan tahu siapa dia.

“Say, kita tidak mungkin membawa bunga matahari ini untuknya. Daddy pernah bilang kalau dia alergi dengan bunga kuning menyeramkan itu,” jelas Tam dengan alasan yang sama untuk kesekian kalinya.

“Ayolah, dia sudah tidak akan merasakan alerginya, Tam. Kenapa sih kamu bergitu keras kepala?,” balasku dengan terus memilah bunga matahari segar di hadapanku.

“Pokoknya aku tidak akan membelikan bunga matahari untuknya. Kita belikan ini saja,”

Tam menyodorkan seikat bunga Lilli di hadapanku. Dan aku menepisnya.

“Tam, hari ini kita ke toko bunga karena kamu akan membeikan bunga untukku. Apapun itu, jadi berpikirlah kalau aku akan membelikan bunga matahari ini untukku, bukan untuk daddy,” dengusku kesal dan berlalu menuju kasir membawa seikat bunga matahari yang telah kupilih.

Tam memang tidak pernah hafal kalau matahari adalah bunga favoritku. Tapi memang tidak seharusnya Tam hafal, dia hanya…ah nanti kamu juga tahu gerutuku dalam hati.
* * *
Say meninggalkanku dengan seikat bunga lili di tangan. Tapi tunggu dulu, dia berbalik arah  dan dengan langkah cepat menuju ke arahku.

 “Kalau kamu nggak mau beliin, aku bisa beli pakai uangku sendiri,” ujarnya sambil berlalu.

Say ngambek. Itu yang kutahu dan dia ingin aku mengejarnya

“Say, say , tunggu. Oke aku yang bayar, Say,” panggilku.

Panggilanku disambut oleh tatapan aneh beberapa pasang mata yang ada di sekelilingku. Tentu saja mereka akan berpikir kalau aku lelaki tidak tahu malu yang memanggil panggilan sayang pada kekasihnya di tempat umum hanya dengan mengucap ‘Say’.

Say memang kepanjangan dari sayang, karena aku menyayanginya. Jadi, tidak ada yang salah bukan ? Say telah menghilang dari pandanganku dan setangkai mawar putih mencuri perhatianku.
Kita sadar ingin bersama, tapi tak bisa apa-apa (Sepatu – Tulus)
* * *
Mawar putih itu masih bersemi indah di dalam vas kaca yang mengambil tempat di sudut meja belajarku.  Aku merawatnya sesuai petunjuk perawatan bunga mawar yang ada di internet.  Aku ingin bunga itu terus tumbuh, kalau perlu lebih lama dari perasaanku yang terus tumbuh kepadanya. Sayangnya, aku baru tahu hari ini—seminggu setelah bunga itu diberikan—kalau mawar putih melambangkan persahabatan. Semuanya kudapatkan dari percakapan pagi tadi saat jogging.

“Jadi, kapan lo mulai maju bro. Selangkah lagi Alina mau diembat Jodi. Masa lo diem aja ?”

Itu suara Andi, teman Tam yang mengaku sebagai sahabat karibnya. Tetapi buatku, Andi tidak lebih dari pria bermulut wanita yang hobinya menggosip. Ini untuk kesekian kalinya Andi mempromosikan gadis single pada Tam. Setiap hari bisa berganti-ganti gadis yang ia promosikan. Dan aku hafal betul kalau Tam hanya akan membalas dengan senyum tipis sambil bilang “Buat lo aja, bro.” 

Tetapi kali ini tidak. Tam memberikan reaksi yang berbeda.

“Jodi? Playboy kurap itu? Lo becanda kali Ndi”

Aku yang sedari tadi berada di belakang mereka mulai menyejajarkan langkah dengan kedua pria itu. Tidak ingin kehilangan sepatah katapun yang dilontarkan oleh Tam.

“Mana mungkin gue becanda,” balas Andi.

“Mungkin aja, lo kan biang gossip, Ndi,” serangku tiba-tiba. Dan sukses membuat kedua pria itu mengarahkan pandangannya kepadaku. Pasalnya  aku sangat jarang membuka mulut dalam perbincangan rutin mereka di kala jogging.

“Kali ini fakta. Sumpah!”
“Terus gue harus gimana? Gue nggak tahu kesukaannya Alina apaan”

“Tenang, bro. Katakan saja dengan bunga. Maka, semuanya akan menjadi jelas. Sejelas matahari menyinari pagi ini”

Ciih aku muak dengan kalimat puitis yang dipungut dari tong sampah oleh Andi. Jelas jelas langit hitam menggantung sedari tadi.

“Say, mawar putih yang gue kasih minggu lalu masih lo simpen kan? Bunga itu buat Alina aja deh,” pinta Tam tiba tiba. Kalau aku sedang makan, mungkin aku akan tersedak mendengarnya.

“Bro, lo mau ngasih mawar putih buat Alina? Salah besar”

“Kenapa emangnya? Lo bilang ‘katakan dengan bunga’, jadi apa salahnya kalau gue mau ngasih mawar putih buat Alina?,”

Tentu saja salah, Tam kalau kamu memberikan bunga milik seorang gadis untuk gadis lain. Kenapa nggak beli aja lagi  gerutuku kesal. Hanya bisa dalam hati.

Man, mawar putih itu melambangkan persahabatan. Jadi, kalau lo ngasih mawar putih ke Alina itu artinya lo menawarkan diri lo untuk menjadi sahabat Alina. Kalau lo mau menyatakan perasaan lo ke Alina, lo kasih dia mawar merah. Artinya lo sayang sama dia.”

“Oke. Kalau gitu mawar putihnya tetap lo simpen aja, Say. Gue mau beli mawar merah aja buat Alina”

Setengah hatiku seolah meneriakkan kegembiraan, tapi sedetik kemudian runtuh begitu mengingat kalau yang ditawarkan Tam padaku hanya sebuah persahabatan. Runtuh bersama hujan yang turun ke bumi. Tapi, mau apalagi memang ? Kami hanya bisa mengizinkan hujan membasahi bumi dan segala isinya, termasuk aku dan Tam.
* * *

Tak masalah bila terkena hujan, tapi aku takut kamu kedinginan (Sepatu – Tulus)

Aku suka sekali dengan hujan. Lebih tepatnya mandi hujan. Maka, hujan yang mengguyur deras saat jogging pagi tadi adalah hal yang menyenangkan bagiku. Say juga menyukai hujan, tetapi ia tak bisa terkena air hujan. Meski hanya setetes. Say akan langsung sakit setelahnya.

Seperti sekarang. Sudah 30 menit, aku mematung di depan kamar Say. Tak berani mengetuk dan bertanya. Say ada di dalam, bergelung selimut karena demam pasca kehujanan.  Say tidak marah ataupun ngambek. Dia juga tidak akan terganggu kalau akau masuk ke kamarnya, tapi ada canggung yang bersembunyi di hatiku.

Rasa canggung dan perasaan bersalah karena kejadian tadi pagi. Saat aku meminta mawar putihnya untuk Alina. Jelas sekali dari sorot matanya yang bulat sempurna, ada perasaan terkejut dan tidak ingin kehilangan. Aku tahu, Say. Aku tahu. Aku tidak akan pernah merenggut mawar putih itu darimu, apalagi memberikannya untuk gadis lain. Aku juga tidak akan memberikan Alina mawar merah.
* * *

“Tama….Sayra…”

“Iya, Mom”, sahutku bersamaan dengan Tam. Kami berebut menuruni anak tangga sambil saling mendorong. Mengahalangi satu sama lain untuk menjadi yang pertama sampai di mulut pintu. Mommy sudah menunggu di sana.

Hari ini sama seperti 2 tahun terakhir, kami rutin mengunjungi makam Daddy sebelum Ramadhan. Sebulan yang lalu, aku dan Tam juga berkunjung ke makam Daddy bertepatan dengan ulang tahunnya. Mommy tidak ikut karena ada tugas dinas di luar kota.

Aku meraih seikat bunga matahari yang teronggok di atas meja ruang tamu begitu melintasinya.

“Mom, apakah kita akan membawa bunga matahari untuk daddy? Bukankah dia alergi dengan bunga ini?,” tanyaku sambil berjalan menuju pintu.

Tiba-tiba sebuah suara menyusup di balik teingaku. Hembusan nafasnya yang hangat sudah tak asing lagi bagiku. Dia adalah Tama.

“Bunga itu untukmu, Sayra. Bunga favoritmu,” bisiknya sambil berlalu.

Aku hanya termangu dan tersenyum tipis.

Ya, dia adalah Tama, bukan tampan, meski dia memang tampan. Aku adalah Sayra, bukan Sayang, meski dia memang menyayangiku. Kami bukan sepasang kekasih, bukan juga sepasang sahabat karib. Kami saudara kembar, dimana di dalam darahnya mengalir pula darahku.

Kita adalah sepasang sepatu. Selalu bersama. Tak bisa bersatu
* * *
1 Desember 2013
Inspired by Sepatu - Tulus

2 comments:

Unknown said...

nice post

Unknown said...

kan jadi mau punya anak kembar.!! tanggung jawab! haha


© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis