Kopi
Hitam Untuk Ayah
Oleh :
Anida meletakkan
ponselnya setelah mengupdate ‘tea time’ pada akun twitternya. Kini
tangannya berpindah meraih secangkir teh hangat dan menempelkannya pada bibirnya
yang tipis.
“Segar benar nih
sore-sore ngeteh. Boleh dong Ayah
sekali-kali dibuatkan kopi,” serang Pak Marwan kepada anak gadisnya di teras
rumah pada sore yang cerah.
“Iya dong, Yah. Karena
sore hari adalah the best time fot tea
time,” jelas Anida sambil kembali menekuri timeline lewat ponselnya.
“Halah apa itu Ayah
nggak ngerti. Coba buatkan kopi saja buat Ayah. Supaya kamu ada teman ngetehnya, yaitu Ayah”
Anida memberengut. Ia
paling kesal jika kesibukannya menekuri timeline
di Twitter harus terganggu oleh aktivitas lain, termasuk diminta membuatkan
kopi oleh Ayahnya.
“Ayah kan tadi pagi
sudah minum kopi. Masa sore-sore minum kopi lagi. Jangan terlalu sering
minum kopi dong, Yah.”
Pak Marwan terkekeh
kecil mendengar jawaban putri pertamanya yang kini duduk di SMA tahun kedua
tersebut. “Lho, memangnya kenapa? Bapak-bapak itu ya memang minuman favoritnya
kopi. Sama seperti anak muda yang aktivitas favoritnya update status, kaya kamu itu,” timpal Pak Marwan sambil mencubit
hidung Anida.
Anida yang merasa
tersindir langsung meletakkan ponselnya.
“Haduuh sakit tahu,
Yah,” gerutu Anida sambil mengelus hidungnya yang kini berwarna merah.
“Apa sih yang sakit?
Dari dalam kok Ibu dengar ada yang adu debat,” sambung Ibu Marwan yang datang
dengan baki berisi 2 cangkir kopi hitam.
“Ini lho Bu, Anida
disuruh membuatkan kopi untuk Ayahnya saja nggak mau. Selagi sore dan hari
libur padahal, belum tentu toh kalau
libur sore-sore begini dia ada di rumah. Biasanya udah main entah kemana.
Apalagi minggu depan sudah Ramadhan”
“Terus kenapa kalau
sudah Ramadhan memangnya?,” tanya Anida.
“Ya sudah nggak
membuatkan kopi, tapi membuatkan teh untuk buka puasa,” jelas Ibu santai.
“Dan setiap sore
sudah jarang keliatan batang hidungnya. Pasti buka puasa di sana sini. Seperti
orang nggak punya rumah saja,” tambah Pak Marwan.
“Nah ya sudah, nanti
aku buatin teh special buat Ayah sebelum buka puasa di sana sini. Kalau kopi,
aku nggak tahu takaran yang pasnya, Yah. Lagipula, Ibu sama Ayah jangan minum
kopi sering-seringlah. Nggak bagus buat kesehatan.”
Ayah hanya geleng-geleng
kepala sambil menyeruput kopi yang telah dibuatkan istri tercinta.
* * *
Anida tak berhenti
mengulum senyum sendirian sejak siang tadi. Pasalnya, usahanya menekuri timieline Twitter kakak kelasnya—yang
sekaligus merupakan gebetannya—selama ini menemukan titik terang. Anida dan
kawan-kawannya berencana mengadakan buka bersama pada hari ke-7 Ramadhan nanti.
Seperti sore lainnya
saat berada di rumah, maka sore menyambut Ramadhan itu Anida mampir ke dapur
untuk menyeduh secangkir teh hangat untuk dinikmatinya sendiri.
“Mau buat teh?,”
tanya Ibu saat masuk ke dapur meletakkan semangkuk opor ayam. Layaknya sebuah
tradisi, Ibu Marwan dan tetangganya saling berkirim makanan untuk menyambut
Ramadhan yang akan datang esok.
“Iya dong Bu, ngeteh
terakhir nih. Nanti malam sudah tarawih. Besok pagi sudah puasa. Bulan depan
sudah lebaran,” sahut Anida sambil meraih toples gula. Tiba-tiba matanya
tertumbuk pada toples kopi yang ada di sebelahnya.
Anida yang
perasaannya sedang bahagia menyambut Ramadhan sekaligus tidak sabar menunggu
buka bersama dengan gebetannya teringat Ayahnya yang pernah minta dibuatkan
kopi. Terlebih lagi, gebetannya juga menyukai kopi.
“Bu, kopi kesukaannya
Ayah, takarannya berapa sendok?,” tanya Anida kepada Ibunya yang sedang sibuk
menyiapkan makanan yang akan dikirim ke tetangga.
* * *
Anida
masih menatap secangkir kopi hitam yang telah diracik oleh tangannya sendiri. Matanya
bagaikan kran air yang terus mengucurkan air mata. Kopi itu seharusnya menjadi
kopi pertama yang disesap Ayahnya. Mendengar bagaimana komentar Ayahnya akan
rasa kopi hitam dengan 1 sendok gula, apakah sudah pas atau pahit atau bahkan
juga kemanisan.
Anida
tidak pernah tahu kalau Ayahnya tidak menyukai kopi yang manis. Ia baru tahu sore
tadi dari Ibunya.
“Gulanya 1 sendok saja, tapi jangan terlalu penuh. Ayahmu
nggak sukakopi yang manis.”
Tapi,
kini Anida tidak tahu apakah kopi racikannya sudah sesuai di lidah Ayahnya atau
belum. Anida tidak akan pernah tahu, karena Pak Marwan belum sempat menyesap
kopi hitam pertama buatan putri kesayangannya itu. Pak Marwan ditemukan
terbujur kaku dalam sujudnya saat Shalat Ashar di rumahnya. Dia terkena
serangan jantung. Nyawanya sudah tak tertolong lagi.
Kini,
Anida hanya bisa terisak dengan gumpalan penyesalan dalam hatinya. Mengapa baru
hari ini ia membuatkan kopi untuk Ayahnya itu. Mengapa tidak kemarin atau
kemarinnya lagi. Mengapa tidak dalam seminggu terakhir ini ia racikan kopi,
selagi ia berada di rumah dan Ayahnya yang
juga sedang di rumah karena mengambil cuti. Atau mengapa tidak langsung
ia buatkan kopi saat Ayahnya meminta seminggu lalu.
Semua
pertanyaan ‘mengapa’ berjejalan dalam pikiran Anida. Rasa penyesalan ikut
berenang dalam genangan air matanya. Kematian Ayahnya di sore hari menyambut
Ramadhan ini bagaikan kejutan yang tak diharapkannya.
Ia
tak tahu siapa yang harus disalahkan. Ia terus mencari dan bertanya. Mengapa
Ramadhan tak datang lebih awal, mengapa baru nanti malam ? atau Mengapa Malaikat
Izrail harus menjemput Ayahnya sore ini? Mengapa bukan esok atau esoknya lagi.
Anida
terus mencari dalam tangis atas kejutan sebelum Ramadhan yang tak diharapkan
ini, meski telah dihadiahkan oleh Allah SWT.
End
Dimuat dalam #Buku5 #ProyekMenulis Kejutan Sebelum Ramadhan yang diselenggarakan nulisbuku.com
0 comments:
Post a Comment