October 13, 2013

Single ! Unavailable ! (end)




Aku Renata. Usiaku 25 tahun. I’m single, but unavailable

            Ciiit

        Suara pintu kamarku terbuka dengan lambat. Kudapati Alyssa berdiri didekatnya dan ikut menghambur bersamaku di kasur. Aku tak merubah posisi tengkurapku dan terus membaca koran.
          
           “Kak Rena, aku mau bicara serius nih,” ujar Alyssa lirih.

            Dari nadanya yang disetel memelas sudah jelas ada udang di balik batu.

            “Yaudah, ngomong aja,” balasku santai tanpa melepaskan pandangan ke koran di hadapanku.

            “Kak Rena, mau nikah berapa tahun lagi?”

            Pertanyaan Alyssa yang mengejutkan memaksaku mengubah posisi semulaku, menjadi duduk bersila menghadapnya.

            “Aku mau nikah, Kak. Kalau aku duluan yang nikah, gimana? Kakak keberatan nggak? Kakak minta pelangkah apa aja, aku kasih deh”

            “Lyssa, kamu tuh masih 21 tahun. Kuliah aja belum selesai, udah mau nikah. Mau nikah sama siapa kamu? Anton?”

            “Iya. Sama Anton. Kuliahnya tetap lanjut, Kak”

             Bukanlah hal yang mengejutkan  jika pada akhirnya Alyssa akan menikah lebih dulu dibanding aku. Tetapi di usianya yang masih begitu muda, aku tidak pernah membayangkannya. Terlebih lagi, Ibu dengan semangat menyetujuinya dan Ayah hanya bisa pasrah.

            Dengan kebaya putih yang membalut tubuh indah Alyssa, ia duduk bersanding di sebelah Anton. Rambut coklat keriting Alyssa yang hanya menyentuh bahu tidak dikonde, tetapi ia tetap terlihat  cantik.

            Ayah tak henti mengusapkan saputangan menuju dua bola matanya yang terus berair. Aku tak bisa menyiratkan kesedihan apa di balik mata Ayah. Haru bahagia karena harus melepas putrinya mengarungi bahtera kehidupan yang baru atau justru merasa sedih karena melepaskan putrinya dalam keadaan yang tidak diinginkan.

            Ironis memang, pernikahan ini digelar karena Alyssa ternyata telah hamil 3 bulan. Ibu dan Ayah baru memberitahuku di pagi hari saat kami semua bersiap untuk  make up.

            Akad nikah yang ada di hadapan mataku terasa seperti jual beli yang dilakukan Ayahku pada pria pilihan Alyssa. Aku sengaja memilih berdiri di sudut ruangan dan akhirnya memilih keluar. Mencari udara segar atau lebih tepatnya memberikan oksigen kepada kedua bola mataku agar tidak menumpahkan air.

            Sepasang tangan merangkul bahuku “Gue yakin Re, lo akan segera menyusul Alyssa kok,” ucap Sherly dengan senyuman hangatnya. Sedari tadi Sherly memang selalu berada di dekatku. Seolah bodyguard yang siap menggotongku jika pingsan. Sherly atau bahkan semua orang yang hadir mungkin salah mengartikan kesedihan yang menghias wajahku.

            Aku memilih tersenyum kepada Sherly dan memberi pelukan terima kasih untuknya “I’m fine, Sher. Makasih ya” Sejurus kemudian sebuah tubuh menumpuk ikut berpelukan bersama kami.       “Derry !,” jerit aku dan Sherly hampir bersamaan.

* * *
                       
Aku Renata. Usiaku 27 tahun. I’m single, but unavailable

            Ayah menyendokkan nasi di piring bersihku.

            “Ayah, aku bisa ambil sendiri kok,” rengekku untuk kesekian kalinya.

            “Sekali-kali Ayah mau melayani putri kesayangannya ini, selagi makan di rumah. Kamu kan jarang makan di rumah” ujar Ayah santai sambil sesekali menepis tanganku pelan.

            Sudah 2 tahun terakhir ini, aku sibuk mengurusi bisnis Salon and Spa yang kudirikan bersama Sherly dan Derry. Karena kesibukan itu juga yang memaksaku jarang makan di rumah. Keadaannya menjadi berbeda karena Alyssa sudah tidak tinggal bersama kami. Ia ikut suaminya yang sedang ditugaskan di Malaysia. Pantas saja jika Ayah dan Ibu merasa kesepian.

            “Di kamarmu kok banyak majalah wedding, Re? Kamu udah mau nikah ya? Kok nggak ngasih tahu Ibu sama Ayah?,” cerocos Ibu yang baru duduk di meja makan.

            Mata Ayah membelalak dan aku segera buka mulut “Sherly mau nikah. Aku disuruh bantu-bantu, ya makanya banyak baca wedding magazine,” jawabku sambil menyuapkan nasi ke mulut.  Berharap semoga pembicaraan ini tidak berlanjut.

            “Wah kapan? Kamu harus cepet nyusul tuh,” tanya Ibu bahagia.

            “Empat bulan lagi,” jawabku singkat.

            “Kalau kamu kapan, Re?”

            Pertanyaan Ayah hanya dijawab oleh sendok dan garpu yang beradu di piring. Menyiratkan aku sibuk makan.

            “Ayah hanya ingin menikahkan semua putri Ayah sebelum Ayah dipanggil sama Allah, terutama putri kesayangan Ayah”

* * *
           
             Wangi pengharum toilet menyesaki hidungku. Aku sengaja memlih berdiam diri di toilet selama proses  akad nikah yang sedang berjalan. Aku tidak sanggup melihat sahabatku, Sherly seolah diperjualbelikan dalam akad itu. Setelah kurasa cukup bersembunyi, aku keluar dan benar saja akad nikah telah usai.

            Mataku menyapukan ke seluruh penjuru mencari si pengantin wanita, Sherly. Tapi yang datng justru Derry dengan semprotan kekesalannya.

            “Astagaaaa Renata, lo kemana aja sih? Sherly tuh nyari lo daritadi?”

            “Oh. Sakit perut gue, jadi nongkrong di toilet deh. Hehe,” jawabku bohong.

            “Jahat lo ah sama Sherly. Udah sana temui dia di ruang make up   

            Sherly langsung menghamburkan dirinya ke pelukanku begitu mendapatiku di ruang make up.

            “Kemana aja lo Re? Gue hampir ngebatalin akadnya karena lo nggak ada tau”

            “Lho kenapa pengen dibatalin? Emang lo mau nikah sama gue? Anyway, selamat ya cantik. Tapi tolong dong waktunya tetap diluangkan buat gue sama Derry”

            “Iya. Pasti kok ! Lo sama Derry saling jaga ya. Nggak boleh berantem lho”

            “Beres. Gue juga nggak pernah berantem sama Derry selama ini”

* * *


Aku Renata. Usiaku 30 tahun. I’m single, but unavailable
               
            Hidup berkeluarga itu memang bisa mengubah segalanya. Mengubah kebiasaan dan kecintaan kita pada hal-hal sebelumnya, bisa tambah cinta, bisa juga berkurang. Enam bulan setelah menyandang Nyonya Baroto, Sherly melepas semua tanggung jawabnya dalam bisnis Salon and Spa yang kami—aku, Sherly dan Derry—dirikan bersama. Sebagai istri yang baik, Sherly mengikuti suaminya yang dipindahtugaskan ke Amerika

            Sementara, Alyssa memilih untuk menetap di Singapura bersama keluarga kecilnya.


            Aku sudah di Jakarta dan menuju ke Rumah Sakit, Kak



            SMS yang dikirim Alyssa 30 menit lalu telah kubaca berkali-kali. Kamar di Rumah Sakit ini begitu sepi. Setiap tarikan nafasku mungkin masih bisa terdengar. Aku terus menggenggam tangan Ibu hingga akhirnya ibu membuka mata.

           “Alyssa belum datang?,” tanyanya lemas.

           “Dalam perjalanan ke Rumah Sakit, Bu,” jawabku sambil meraih baki berisi makanan Rumah Sakit. 
“Ibu, makan dulu ya. Habis itu minum obat”

            Aku membantu menegakkan tubuh Ibu dan mulai menyuapinya.

            “Ibu ingin melihat kamu menikah sebelum Ibu dipanggil Allah,” ujar Ibu di sela kunyahan makanannya. Matanya menerawang entah kemana. Tatapannya seolah kosong.

            Pernikahan itu sekali lagi belum menjadi target dalam hidupku. Lagipula, aku masih merasa bahagia dengan hidup yang kujalani saat ini, meski tanpa Ayah dan Sherly. Kepergian Ayah 2 tahun lalu menambah parah keinginanku untuk tidak menikah. Aku tidak mau jika bukan Ayah yang menikahkan aku, tapi bagaimanapun juga kami telah berada di alam yang berbeda.

            Pintu kamar Rumah Sakit terbuka dan Alyssa datang dengan mata basah. Tubuhnya langsung dijatuhkan di sebelah Ibu dan memeluknya. Aku memilih keluar kamar dan membiarkan Alyssa menyuapi Ibu.

            “Sampe kapan lo akan begini, Re?,” tanya Derry disusul dengan tegukan minuman soda kaleng di genggamannya. Angin pantai memainkan rambut kami di senja yang mulai menyambut. Aku memanfaatkan kedatangan Alyssa untuk dapat menemui Derry dan melepaskan semua beban dan pikiran yang menjejali kepalaku. Derry memang telah menggantikan peran utama Sherly selama 3 tahun terakhir ini.

            “Setahu gue, banyak cowok yang ngejar-ngejar lo. Tapi, lo nggak pernah kasih mereka respon. Kenapa sih?,” tambah Derry.

            Aku masih diam dan terus menegak minuman kaleng milikku.

            “Sherly pernah bilang, katanya lo pernah patah hati sama senior? Apa itu penyebabnya lo belom mau nikah sampai sekarang?”. Suara ombak mengisi kesunyian diantara kami. “Lo nggak kasihan sama Nyokap lo?”
            “Gue nggak mau nikah untuk membahagiakan orang lain. Gue mau menikah untuk membahagiakan 
diri gue. Dan gue nggak mau asal comot aja, gimana kalau pilihan gue salah? Pilihannya bahagia atau menderita. Gue cuma mau sekali menjalani pernikahan dan dengan kebahagiaan setelahnya, bukan penderitaan”

            Derry berdiri dan membiarkan rambutnya semakin kencang diterpa angin sore.

            “Selama ini gue nunggu lo, Re. Selama 3 tahun ini, gue berharap lo bisa menemukan pasangan hidup lo. Karena gue nggak mungkin selamanya ada di saat lo butuh. Sama kaya Sherly yang perlahan udah nggak ada buat kita dan lebih memilih suaminya. Dua bulan lagi gue mau married, Re. ‘Kawaii’ buat lo aja”

            Derry melenggang pergi meninggalkan aku dan ombak yang terus menggulung, juga tanggung jawab besar mengurus Kawaii Salon and Spa.  Apa salahnya memilih sendiri? Bukankah di liang kubur nanti, kita juga akan sendiri, bisikku dalam hati.    

* * *

            “Kak Rena, aku sudah sampe di Bandung. Kakak kapan ke Bandung? Tahun ini, tolong datang ya kak. Sudah 5 tahun lho, Kak Rena nggak ke makam Ayah dan Ibu,” ingat Alyssa lewat telpon.

            Ibu meninggal seminggu setelah dirawat di Rumah Sakit karena jantung. Sementara Ayah telah mendahului menghadapNya 2 tahun lebih awal. Sherly masih di Amerika bersama suami dan keluarga kecilnya. Kadang-kadang, ia menyempatkan pulang ke Indonesia untuk melepas rindu denganku dan Derry. Sementara Derry menjalankan bisnis property bersama istrinya. Aku masih mengurusi Kawaii Salon and Spa yang melebarkan sayapnya di berbagai daerah dan merambah ke bidang clothing.

            Alyssa masih menetap di Singapura, tetapi tidak lupa untuk mengunjungi makam Ayah dan Ibu di Bandung. Tidak pernah lelah dan lupa untuk mengajakku ikut serta. Sebenarnya bukan 5 tahun tidak mengunjungi makam Ayah dan Ibu. Aku hanya memilih mengunjunginya sendiri, tanpa Alyssa.

            Angin pantai memainkan rambutku. Kali ini hanya rambutku sebagi objeknya, tidak ada lagi Sherly ataupun Derry. Semua kesedihan, penat dan beban yang mengganjal kulepas sendirian di pantai. Melihat orang berlalu lalang sambil tertawa terkadang mengobati kesepianku. Tapi, bisa juga menambah luka hatiku.

            Aku menyeret kakiku untuk meninggalkan pantai, tetapi mataku menangkap sosok yang kukenal. “Kak Andris?,” ujarku lirih. Sosok bersahaja itu tidak berubah. Senyumnya masih sama dan terlihat makin melebar karena bahagia. Tangan kirinya menggenggam erat wanita di sampingnya, Ditta. Sementara tangan kanannya dengan kokoh menggendong seorang balita.

               Apa salahnya memilih sendiri? Bukankah di liang kubur nanti, kita juga akan sendiri? Yang salah, jika kita memilih untuk sendiri tetapi kemudian menyesalinya, bisikku dalam hati dan senyum yang kuulum untukku sendiri.

Aku Renata. Usiaku 35 tahun. I’m single, but unavailable

End









27 Juli 2012

2 comments:

Unknown said...

woah, keren banget jalan ceritanya thor.!!
tapi gantung.! kirain bakalan jadi sama derry haha

btw, jadi makin nge-fans nih sama author haha

Fitria Wardani said...

Hoahaahaha sengaja. Nggak selamanya sahabat jadi pacar jodoh dsb. Sahabat ya sahabat. Kaya dery sama renata hahai
Aduhhh telimi kisyiih. Jadi tersapu eh tersipu hoho

© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis