Single, Unavailable
Oleh:
Fitria Wardani
Aku Renata. Usia 20 tahun. I’m
single, but unavailable
Deru motor yang mengusik pendengaranku berhenti di
depan pagar rumah kami. Pertanda kalau Alyssa—adik tunggalku—sudah pulang.
Tentu saja diantar dengan teman lelakinya. Entah siapa.
“Assalamualaikum..”,
pangil Alyssa memberi salam.
“Walaikum salam,”
jawabku kecil. Lebih tertuju untukku sendiri.
“Lho, Kak Rena kok udah di rumah? Nggak kuliah?,”
tanya Alyssa begitu mendapatiku di ruang tamu dengan majalah di tangan. Ada keterkejutan dari nada
bicaranya.
“Udah selesai,” jawabku cuek.
“Ibu mana, Kak?”
“Ada
di kamar”
Bukannya ke kamar. Alyssa justru duduk di sampingku.
“Kak Rena, baca majalahnya di kamar aja dong. Aku mau
ngenalin teman aku ke ibu nih”
Dahiku berkerut tidak mengerti.
“Ya aku mau ngenalinnya di ruang tamu,” tambahnya
lagi.
Belum sempat aku menjawab, Ibu datang dengan
tergesa-gesa. Namun dengan senyum yang sumringah.
“Ooh Lyssa sudah pulang. Mana temannya? Katanya mau
dikenalin sama Ibu?”
“Ada Bu. Tapi di luar,”
“Ajak masuk dong. Kok malah dibiarkan menunggu di
luar”
“Tapi ada Kak Rena, Bu”
“Lho kenapa memangnya? Kenalkan juga sekalian sama
kakakmu ini”
Alyssa menghilang dari ruang tamu dan datang dengan
seorang pria seumuran….denganku? Inikah teman Alyssa yang ingin dikenalkan pada
Ibu, sampai-sampai ingin mengusirku dari ruang tamu.
“Anton,” ucapnya ramah sambil menjabat tangan Ibu
dengan sopan.
Ibu membalas senyum dan berpamitan untuk membuatkan
minuman. Sementara, Alyssa sudah menuju kamar untuk mengganti seragam SMAnya
tanpa memperkenalkan Anton padaku.
Tinggal aku dan Anton berdua di ruang tamu. Anton
melemparkan senyum kepadaku. Aku hanya membalasnya
kecut. Jangan harap aku akan
membuka pembicaraan terlebih dahulu.
Aku mencoba mengusir kesunyian dengan memusatkan
perhatian pada majalahku di tangan, sampai Anton mengalah untuk membuka mulut.
“Ini Kak Rena ya? Lyssa banyak cerita tentang kamu,”
buka Anton dengan bingung dan canggung.
“Iya. Panggilnya Renata aja,” jawabku ketus.
Alyssa datang dengan baki di tangan. Dia sempat
melemparkan tatapan tajam ke arahku, lalu tersenyum penuh gembira saat menatap
Anton. Entah apa maksudnya. Aku hampir meninggalkan mereka berdua. Tetapi
kemudian Ibu datang dan mengajak kami semua berbincang.
Anton—yang katanya—merupakan teman Alyssa berusia 21
tahun. Dia sedang menyelesaikan tugas akhir dan sekarang bekerja di sebuah
Perusahaan Asuransi. Setidaknya itu point penting yang kudapat dari pembicaraan
di ruang tamu.
Entah bagaimana, Alyssa bisa mengenal lelaki yang
terpaut 5 tahun dengannya ini. yang pasti matanya terus berbinar saat
menceritakan segala hal tentang Anton kepada Ibu. Sementara Anton? Menimpali
dengan senyum ramah dan sesekali pandangannya tertunduk ke arahku. Yang kusadari
kemudian…Anton curi-curi pandang ke paha mulusku yang hanya dibalut hotpants hijau. Dasar lelaki hidung belang !, rutukku dalam hati.
*
* *
Alyssa sedang asyik mengganti channel TV di ruang
tengah ketika aku memilih mendudukkan bokongku di dekatnya.
“Kamu kenal Anton dimana, Lys?,”
tanyaku langsung dengan tatapan menuju ke layar kotak ajaib itu.
“Emang kenapa Kak?,” tanya Alyssa penuh ingin tahu.
Jemarinya tak sengaja tehenti di channel musik.
“Ya..Anton itu seumuran sama kakak, bahkan lebih tua
setahun dari kakak. Kok kamu bisa kenal sama dia? Kamu udah lama kenal sama
dia?,” tanyaku. Sekarang dengan menatap matanya.
“Terserah aku dong, Kak. Mau kenal sama siapa,
umurnya berapa, kenal dimana dan berapa lama. Kok pertanyaan kakak kaya nggak
suka gitu sih aku pacaran sama Anton….,”. Alyssa seketika menutup mulutnya.
Menyadari satu kata yang salah ia ucapkan namun menjadi jawaban bagiku.
“Atau jangan-jangan Kak Rena suka ya sama Anton?,”
tanya Alyssa dengan emosi yang mulai tak terkendali.
“Ihh nggak ya. Tipe cowok kakak itu bukan lelaki
hidung belang seperti Anton !,” balasku seketika dengan nada dinaikkan beberapa
oktaf.
“Jangan bohong deh, Kak ! Kakak coba ngegodain Anton kan tadi pas aku lagi
ganti baju dan Ibu buat teh? Kak, aku ingetin ya. Anton itu pacar aku, Kak.
Kakak jangan coba ngerebut dia dong. Cari cowok sendiri dong kak !”
Alyssa meninggalkanku terpaku sendiri di ruang
tengah. Suara Opie Andariesta menyanyikan Single Happy di layar TV mengisi
kesunyian di ruang tengah. Aku hanya tersenyum kecil. Menertawakan diri
sendiri.
*
* *
Aku Renata. Usiaku 22
tahun. I’m single, but unavailable
Derry dengan ganas
menyantap sate kambing di hadapannya. Rasa lapar bisa menghancurkan wajah
tampannya dan membuat semua bidadari pergi. Tapi, bagi aku dan Sherly hal itu
sudahlah biasa. Seperti akhir pekan di awal bulan ini, yang biasa kami gunakan
untuk berkumpul di saung favorit. Entah untuk makan atau hanya berbincang kecil
dan memandang bintang.
“Woi napas kali Der. Makan nggak nyantai gitu,” tegur
Sherly.
“Yaelah namanya juga laper,” jawab Derry
santai.
“Udah nggak makan berapa tahun sih lo, Der?,”
sambungku menggoda.
Derry hanya
memamerkan sederet giginya yang terselip noda hitam, sisa arang yang menempel
dari sate.
“Kalo Derry makannya ganas begini, kayanya kita nggak
bisa buka bisnis makanan deh. Belom dijual, udah masuk ke perut Derry semua makanannya,” paparku sambil menyeruput jus
semangka yang tersisa.
Sherly sibuk dengan laptopnya. Sementara Derry
membaringkan tubuhnya sambil menatap langit malam.
“Terus mau bisnis apa dong? Makanan itu urusan perut
dan semua yang urusannya sama perut, profitnya pasti gede,” ujar Sherly.
“Bisnis apa aja deh, yang penting unik. Kalau udah
gitu pasti profitnya gede deh,” timpal Derry
sambil terus menatap langit.
“Kenapa sih Der lo ngebet banget ngajakin bisnis?
Nggak coba ngelamar kerja dulu ? IP lo kan
setinggi pohon kelapa,” tanyaku penasaran. Ide untuk menjalankan bisnis ini
datang dari Derry secara mendadak dan
tergesa-gesa.
“Dalam hidup ini, kita pasti punya targetkan? Dan…target
gue itu bisa gue capai dengan baik lewat bisnis”
“Target lo apa emangnya Der? Mau menyaingi Sandiago
Uno itu? Si Pengusaha muda yang ganteng?,” tanya Sherly.
Aku terkekeh kecil sambil menunggu jawban dari Derry.
“Gue punya target untuk nikah 5 tahun lagi. Sebagai
cowok, gue harus mengumpulkan pundit-pundi duit untuk anak istri gue nanti.
Jadi, gue harus mulai gerak dari sekarang”
“Dan menurut lo, bisnis adalah cara terbaik untuk
mengumpulkan pundi-pundi duit lo itu?,” tanyaku.
“Menurut gue. Lagipula, bisnis itu nggak mengikat
waktu gue dengan kerjaan. Gue jadi punya waktu lebih banyak dengan istri dan
anak gue nantinya”
“Gila lo Der, visioner abis ya kalau udah urusan married”
“Oh iya dong harus. Emang target lo mau married umur berapa,. Sher?”
“Dua atau Tiga tahun lagi mungkin, tapi kalau udah
ada yang ngelamar sih, nggak akan gue tolak”
“Kalau lo, Re?”
“Aah gue? Nggak tau…,” jawabku malas.
Sempat kudapati Derry
dan Sherly saling bertatapan bingung mendengar jawabanku yang terkesan malas.
Tapi aku tak mempedulikannya dan memilih menatap langit malam sambil berbaring
di sebelah Derry.
Menikah? Aku tak pernah memikirkannya. Umur berapa
dan dengan siapa. Aku selalu memiliki target dalam hidupku selama ini. Setiap
tahun, aku tak pernah alpa membuat daftar resolusi dan memeriksanya di tahun
yang baru, apa yang sudah kucapai dan belum, Tetapi, menikah tak pernah
terlintas dalam resolusi atau targetku.
Entah karena belum siap atau memang aku tidak
menginginkannya. Menikah, lalu mengurus rumah, mengurus anak-anak. Menjadi
budak lelaki karena telah dibeli melalui mas kawin. Transaksinya terjadi dalam
akad nikah melalui seorang lelaki yang kupanggil Ayah. Aku tak sanggup
melakukannya, membayangkannyapun sudah sangat mengerikan bagiku.
Tetapi, seperti halnya wanita lain, aku juga pernah
merasakan jatuh cinta. Jatuh cinta yang teramat dalam, meski hanya dalam
kesunyian. Jatuh cinta itu membutakan segalanya. Tetapi aku sadar, yang
membutakanku bukan karena ketampanannya tetapi karena keberhasilan dan
akhlaknya. Lelaki itu bernama Andris. Dia terpaut 2 tahun di atasku.
“Kak Andris suka sama macaroni scotell jamur. Jadi, gue mau kasih kejutan buat dia,”
jelasku pada Sherly sambil menelusuri stand
makanan di sebuah festival.
“Kejutan apanya? Kalo lo buat macaroni scotell jamurnya sendiri itu baru kejutan. Tapi, kalau
ujung-ujungnya beli, sama aja bohong,” cerocos Sherly mengingatkan.
“Point penting nya adalah gue tahu makanan favoritnya
dan itu pertanda gue care sama dia.
lagipula lo tau sendiri, gue nggak berbakat dalam hal masak memasak. Gawatkan
kalau Kak Andris keracunan makanan buatan gue” balasku
Sherly hanya menggeleng pasrah dan mengikuti berhenti
di salah satu stand yang menjual
berbagai macam pasta, termasuk macaroni
scotell. Setelah menemukan macaroni
scotell jamur, aku langsung membayarnya.
“Udah sana
masuk, tanggung nih udah sampe depan rumahnya,” paksa Sherly padaku. Kami masih
termangu di depan gerbang Rumah Kak Andris. Jantungku berdegup kencang dan
kakiku gemetar untuk digerakkan.
“Gue nerveous nih,
Sher. Taruh di depan rumahnya aja deh kali ya”
“Gimana Kak Andris bisa tahu itu makanan dari lo?”
Aku membenarkan ucapan Sherly dalam hati dan mulai
melangkahkan kaki untuk membuka gerbang, tetapi kuurungkan. Aku dan Sherly
serentak mundur dan menjauh. Berusaha bersembunyi seadanya agar Kak Andris dan
seorang wanita—yang baru saja keluar dari rumah Kak Andris—tidak melihat kami.
“Makasih ya, Dit. Macaroni
scotell jamur buatan kamu enak banget lho,” ujar Kak Andris.
“Sama-sama, Dri. Kapan-kapan aku buatin lagi deh,
spesial buat kamu. Aku pulang dulu ya,”
“Hati-hati ya”
Kakiku lemas.
Jantungku tak lagi berdebar kencang, Tapi sudah lompat entah kemana barangkali.
Wanita itu adalah Kak Ditta, teman Kak Andris. Wanita itu tidak hanya cantik
dari luar tetapi juga di dalamnya. Aku tahu benar itu.
Aku langsung merogoh ponselku dan menghubungi
seseorang yang terlintas dalam pikiranku. Tak kupedulikan Sherly yang
mengelus-elus pundakku sejak tadi.
Derry langsung
datang ke tepi pantai—tempat kami janji bertemu. Dia langsung menyantap ganas 2
loyang macaroni scotell jamur yang
kusodorkan. Sherly tak mungkin makan macaroni
itu karena ia alergi jamur.
“Gila enak banget macaroni
scotell nya, Re. Baik banget lo tumben”
“Udah makan aja buruan!”
Aku, Sherly
dan Derry membiarkan angin sore memainkan
rambut kami masing-masing. Tak ada yang bicara. Semua diam dengan pikiran
masing-masing, kecuali Derry yang tenggelam
menikmati macaroni scotell jamur—makanan
favorit Kak Andris. Tetapi, perkataan Sherly dalam perjalanan ke pantai masih
menari dalam benakku.
“Mungkin ini masalah kesungguhan, Re. Lo cuma beliin macaroni scotell jamur, sementara Kak Ditta ngebuatin macaroni scotell buat Kak Andris. Itu pertanda, kalau Kak Ditta sungguh-sungguh”
to be continued....
0 comments:
Post a Comment