September 28, 2013

Single ! Unavailable !


Single, Unavailable
Oleh:
Fitria Wardani


Aku Renata. Usia  20 tahun. I’m single, but unavailable


                Deru motor yang mengusik pendengaranku berhenti di depan pagar rumah kami. Pertanda kalau Alyssa—adik tunggalku—sudah pulang. Tentu saja diantar dengan teman lelakinya. Entah siapa.

               Assalamualaikum..”, pangil Alyssa memberi salam.

               Walaikum salam,” jawabku kecil. Lebih tertuju untukku sendiri.

               “Lho, Kak Rena kok udah di rumah? Nggak kuliah?,” tanya Alyssa begitu mendapatiku di ruang tamu dengan majalah di tangan. Ada keterkejutan dari nada bicaranya.

               “Udah selesai,” jawabku cuek.

               “Ibu mana, Kak?”

               “Ada di kamar”

               Bukannya ke kamar. Alyssa justru duduk di sampingku.

               “Kak Rena, baca majalahnya di kamar aja dong. Aku mau ngenalin teman aku ke ibu nih”

               Dahiku berkerut tidak mengerti.

               “Ya aku mau ngenalinnya di ruang tamu,” tambahnya lagi.

               Belum sempat aku menjawab, Ibu datang dengan tergesa-gesa. Namun dengan senyum yang sumringah.

               “Ooh Lyssa sudah pulang. Mana temannya? Katanya mau dikenalin sama Ibu?”

               “Ada Bu. Tapi di luar,”

               “Ajak masuk dong. Kok malah dibiarkan menunggu di luar”

               “Tapi ada Kak Rena, Bu”

               “Lho kenapa memangnya? Kenalkan juga sekalian sama kakakmu ini”

               Alyssa menghilang dari ruang tamu dan datang dengan seorang pria seumuran….denganku? Inikah teman Alyssa yang ingin dikenalkan pada Ibu, sampai-sampai ingin mengusirku dari ruang tamu.

               “Anton,” ucapnya ramah sambil menjabat tangan Ibu dengan sopan.

               Ibu membalas senyum dan berpamitan untuk membuatkan minuman. Sementara, Alyssa sudah menuju kamar untuk mengganti seragam SMAnya tanpa memperkenalkan Anton padaku.

               Tinggal aku dan Anton berdua di ruang tamu. Anton melemparkan senyum kepadaku. Aku hanya membalasnya 
kecut. Jangan harap aku akan membuka pembicaraan terlebih dahulu.

               Aku mencoba mengusir kesunyian dengan memusatkan perhatian pada majalahku di tangan, sampai Anton mengalah untuk membuka mulut.

               “Ini Kak Rena ya? Lyssa banyak cerita tentang kamu,” buka Anton dengan bingung dan canggung.

               “Iya. Panggilnya Renata aja,” jawabku ketus.

               Alyssa datang dengan baki di tangan. Dia sempat melemparkan tatapan tajam ke arahku, lalu tersenyum penuh gembira saat menatap Anton. Entah apa maksudnya. Aku hampir meninggalkan mereka berdua. Tetapi kemudian Ibu datang dan mengajak kami semua berbincang.

               Anton—yang katanya—merupakan teman Alyssa berusia 21 tahun. Dia sedang menyelesaikan tugas akhir dan sekarang bekerja di sebuah Perusahaan Asuransi. Setidaknya itu point penting yang kudapat dari pembicaraan di ruang tamu.

               Entah bagaimana, Alyssa bisa mengenal lelaki yang terpaut 5 tahun dengannya ini. yang pasti matanya terus berbinar saat menceritakan segala hal tentang Anton kepada Ibu. Sementara Anton? Menimpali dengan senyum ramah dan sesekali pandangannya tertunduk ke arahku. Yang kusadari kemudian…Anton curi-curi pandang ke paha mulusku yang hanya dibalut hotpants hijau. Dasar lelaki hidung belang !, rutukku dalam hati.

* * *

                Alyssa sedang asyik mengganti channel TV di ruang tengah ketika aku memilih mendudukkan bokongku di dekatnya.

               “Kamu kenal Anton dimana, Lys?,” tanyaku langsung dengan tatapan menuju ke layar kotak ajaib itu.


              “Emang kenapa Kak?,” tanya Alyssa penuh ingin tahu. Jemarinya tak sengaja tehenti di channel musik.

               “Ya..Anton itu seumuran sama kakak, bahkan lebih tua setahun dari kakak. Kok kamu bisa kenal sama dia? Kamu udah lama kenal sama dia?,” tanyaku. Sekarang dengan menatap matanya.

               “Terserah aku dong, Kak. Mau kenal sama siapa, umurnya berapa, kenal dimana dan berapa lama. Kok pertanyaan kakak kaya nggak suka gitu sih aku pacaran sama Anton….,”. Alyssa seketika menutup mulutnya. Menyadari satu kata yang salah ia ucapkan namun menjadi jawaban bagiku.

               “Atau jangan-jangan Kak Rena suka ya sama Anton?,” tanya Alyssa dengan emosi yang mulai tak terkendali.

               “Ihh nggak ya. Tipe cowok kakak itu bukan lelaki hidung belang seperti Anton !,” balasku seketika dengan nada dinaikkan beberapa oktaf.

               “Jangan bohong deh, Kak ! Kakak coba ngegodain Anton kan tadi pas aku lagi ganti baju dan Ibu buat teh? Kak, aku ingetin ya. Anton itu pacar aku, Kak. Kakak jangan coba ngerebut dia dong. Cari cowok sendiri dong kak !”

               Alyssa meninggalkanku terpaku sendiri di ruang tengah. Suara Opie Andariesta menyanyikan Single Happy di layar TV mengisi kesunyian di ruang tengah. Aku hanya tersenyum kecil. Menertawakan diri sendiri.
* * *

Aku Renata. Usiaku 22 tahun. I’m single, but unavailable

                Derry dengan ganas menyantap sate kambing di hadapannya. Rasa lapar bisa menghancurkan wajah tampannya dan membuat semua bidadari pergi. Tapi, bagi aku dan Sherly hal itu sudahlah biasa. Seperti akhir pekan di awal bulan ini, yang biasa kami gunakan untuk berkumpul di saung favorit. Entah untuk makan atau hanya berbincang kecil dan memandang bintang.

               “Woi napas kali Der. Makan nggak nyantai gitu,” tegur Sherly.

               “Yaelah namanya juga laper,” jawab Derry santai.

               “Udah nggak makan berapa tahun sih lo, Der?,” sambungku menggoda.

               Derry hanya memamerkan sederet giginya yang terselip noda hitam, sisa arang yang menempel dari sate.

               “Kalo Derry makannya ganas begini, kayanya kita nggak bisa buka bisnis makanan deh. Belom dijual, udah masuk ke perut Derry semua makanannya,” paparku sambil menyeruput jus semangka yang tersisa.

               Sherly sibuk dengan laptopnya. Sementara Derry membaringkan tubuhnya sambil menatap langit malam.

               “Terus mau bisnis apa dong? Makanan itu urusan perut dan semua yang urusannya sama perut, profitnya pasti gede,” ujar Sherly.

               “Bisnis apa aja deh, yang penting unik. Kalau udah gitu pasti profitnya gede deh,” timpal Derry sambil terus menatap langit.

               “Kenapa sih Der lo ngebet banget ngajakin bisnis? Nggak coba ngelamar kerja dulu ? IP lo kan setinggi pohon kelapa,” tanyaku penasaran. Ide untuk menjalankan bisnis ini datang dari Derry secara mendadak dan tergesa-gesa.

               “Dalam hidup ini, kita pasti punya targetkan? Dan…target gue itu bisa gue capai dengan baik lewat bisnis”

               “Target lo apa emangnya Der? Mau menyaingi Sandiago Uno itu? Si Pengusaha muda yang ganteng?,” tanya Sherly.

               Aku terkekeh kecil sambil menunggu jawban dari Derry.


              “Gue punya target untuk nikah 5 tahun lagi. Sebagai cowok, gue harus mengumpulkan pundit-pundi duit untuk anak istri gue nanti. Jadi, gue harus mulai gerak dari sekarang”


              “Dan menurut lo, bisnis adalah cara terbaik untuk mengumpulkan pundi-pundi duit lo itu?,” tanyaku.

               “Menurut gue. Lagipula, bisnis itu nggak mengikat waktu gue dengan kerjaan. Gue jadi punya waktu lebih banyak dengan istri dan anak gue nantinya”

               “Gila lo Der, visioner abis ya kalau udah urusan married

               “Oh iya dong harus. Emang target lo mau married umur berapa,. Sher?”

               “Dua atau Tiga tahun lagi mungkin, tapi kalau udah ada yang ngelamar sih, nggak akan gue tolak”

               “Kalau lo, Re?”

               “Aah gue? Nggak tau…,” jawabku malas.

               Sempat kudapati Derry dan Sherly saling bertatapan bingung mendengar jawabanku yang terkesan malas. Tapi aku tak mempedulikannya dan memilih menatap langit malam sambil berbaring di sebelah Derry.

               Menikah? Aku tak pernah memikirkannya. Umur berapa dan dengan siapa. Aku selalu memiliki target dalam hidupku selama ini. Setiap tahun, aku tak pernah alpa membuat daftar resolusi dan memeriksanya di tahun yang baru, apa yang sudah kucapai dan belum, Tetapi, menikah tak pernah terlintas dalam resolusi atau targetku.

               Entah karena belum siap atau memang aku tidak menginginkannya. Menikah, lalu mengurus rumah, mengurus anak-anak. Menjadi budak lelaki karena telah dibeli melalui mas kawin. Transaksinya terjadi dalam akad nikah melalui seorang lelaki yang kupanggil Ayah. Aku tak sanggup melakukannya, membayangkannyapun sudah sangat mengerikan bagiku.

               Tetapi, seperti halnya wanita lain, aku juga pernah merasakan jatuh cinta. Jatuh cinta yang teramat dalam, meski hanya dalam kesunyian. Jatuh cinta itu membutakan segalanya. Tetapi aku sadar, yang membutakanku bukan karena ketampanannya tetapi karena keberhasilan dan akhlaknya. Lelaki itu bernama Andris. Dia terpaut 2 tahun di atasku.  

               “Kak Andris suka sama macaroni scotell jamur. Jadi, gue mau kasih kejutan buat dia,” jelasku pada Sherly sambil menelusuri stand makanan di sebuah festival.

               “Kejutan apanya? Kalo lo buat macaroni scotell jamurnya sendiri itu baru kejutan. Tapi, kalau ujung-ujungnya beli, sama aja bohong,” cerocos Sherly mengingatkan.

               “Point penting nya adalah gue tahu makanan favoritnya dan itu pertanda gue care sama dia. lagipula lo tau sendiri, gue nggak berbakat dalam hal masak memasak. Gawatkan kalau Kak Andris keracunan makanan buatan gue” balasku 

               Sherly hanya menggeleng pasrah dan mengikuti berhenti di salah satu stand yang menjual berbagai macam pasta, termasuk macaroni scotell. Setelah menemukan macaroni scotell jamur, aku langsung membayarnya.

               “Udah sana masuk, tanggung nih udah sampe depan rumahnya,” paksa Sherly padaku. Kami masih termangu di depan gerbang Rumah Kak Andris. Jantungku berdegup kencang dan kakiku gemetar untuk digerakkan.

               “Gue nerveous nih, Sher. Taruh di depan rumahnya aja deh kali ya”

               “Gimana Kak Andris bisa tahu itu makanan dari lo?”

               Aku membenarkan ucapan Sherly dalam hati dan mulai melangkahkan kaki untuk membuka gerbang, tetapi kuurungkan. Aku dan Sherly serentak mundur dan menjauh. Berusaha bersembunyi seadanya agar Kak Andris dan seorang wanita—yang baru saja keluar dari rumah Kak Andris—tidak melihat kami.

               “Makasih ya, Dit. Macaroni scotell jamur buatan kamu enak banget lho,” ujar Kak Andris.

               “Sama-sama, Dri. Kapan-kapan aku buatin lagi deh, spesial buat kamu. Aku pulang dulu ya,”

               “Hati-hati ya”

                Kakiku lemas. Jantungku tak lagi berdebar kencang, Tapi sudah lompat entah kemana barangkali. Wanita itu adalah Kak Ditta, teman Kak Andris. Wanita itu tidak hanya cantik dari luar tetapi juga di dalamnya. Aku tahu benar itu.

               Aku langsung merogoh ponselku dan menghubungi seseorang yang terlintas dalam pikiranku. Tak kupedulikan Sherly yang mengelus-elus pundakku sejak tadi.

               Derry langsung datang ke tepi pantai—tempat kami janji bertemu. Dia langsung menyantap ganas 2 loyang macaroni scotell jamur yang kusodorkan. Sherly tak mungkin makan macaroni itu karena ia alergi jamur.

               “Gila enak banget macaroni scotell nya, Re. Baik banget lo tumben”

               “Udah makan aja buruan!”

                Aku, Sherly dan Derry membiarkan angin sore memainkan rambut kami masing-masing. Tak ada yang bicara. Semua diam dengan pikiran masing-masing, kecuali Derry yang tenggelam menikmati macaroni scotell jamur—makanan favorit Kak Andris. Tetapi, perkataan Sherly dalam perjalanan ke pantai masih menari dalam benakku.
 
               “Mungkin ini masalah kesungguhan, Re. Lo cuma beliin macaroni scotell jamur, sementara Kak Ditta ngebuatin macaroni scotell buat Kak Andris. Itu pertanda, kalau Kak Ditta sungguh-sungguh”

to be continued....

0 comments:

© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis