Malam ini aku mengadu kepada langit lewat barisan kata dalam Microsoft
Words. Tetapi, berulang kali kutarik dan kuhembuskan nafas. Sesekali juga
meremas tangan sendiri, mengelap keringat yang mengucur di telapak tangan. Yang
lebih sulit sesungguhnya adalah mengatur detak jantung ini.
Langit, harus kukatakan dengan jujur kepadamu bahwa malam ini jantungku
beredetak tak normal. Pemicunya? Sebuah pesan yang kudapati di ponsel pintarku.
Sudah kukatakan berkali-kali pada diri sendiri. Juga telah kuteriakkan pada
dunia lewat media sosial kalau hatiku dalam keadaan hibernasi. Tetapi, nyatanya
jantungku tak terkendali saat mengetahui siapa si pengirim pesan itu.
Pengirim pesan itu bukan orang asing bagiku. Dia teman diskusiku yang
kutemui di perpustakaan kampus 8 bulan yang lalu. Kami sama-sama membenci
sejarah, tapi begitu mengagumi Souljah. Hampir setiap hari kami berkomunikasi
lewat email. Mendiskusikan segala hal yang sebenarnya kecil tetapi menjadi
besar.
Aku akan menuliskan surat wasiat lewat langit. Aku percaya kalau langit
adalah tumpahan segalanya, yang tak akan mengeluh dan akan meminta angin untuk
mengaburkannya jika surat wasiat ini memang tidak penting. Surat wasiat ini
harus kuselesaikan sebelum si pengirim pesan itu menjalankan isi pesannya yang
menabuh jantungku.
Langit, dengarkan aku.
Aku mencintainya.
Sejak pertama kali menatap matanya
dan saat tangan halusnya mengangkat tubuh mungilku. Sejak saat itu, aku tahu
rasa sayangnya kepadaku tidak akan ada yang mengalahkan. Dia selalu mengurai
setiap derai air mataku. Menghilangkan segala kegelisahan lewat dekapnya yang
hangat.
Langit, sungguh aku ingin
menciptakan senyum di wajahnya lebih lama lagi. Sebagai balasan terima kasih
atas semua tetesan darah dan air matanya.
Tetapi aku sadar kalau waktuku tidaklah
banyak, jadi bersediakah kau menyediakan sedikit tempat bagiku di langit.
Tujuannya? Untuk mengamatinya sepanjang hari. Dan memastikan kalau ia tetap
tersenyum untukku.
Aku sempat mendengar pintu kamar kosku dibuka paksa. Aku langsung
memejamkan mata dan pasrah akan segalanya. Kurasakan sakit yang menghantam
tempurung kepalaku, lalu semua gelap. Gelap. Hingga sebuah cahaya putih hadir
dan menjadi tujuanku. Di sana langit telah menepati janjinya. Meminjamkan
tempat bagiku untuk memantau orang yang kucintai itu.
* * *
Aku melihatnya menyeka air mata dengan sapu tangan hijau pemberianku di
hari jadinya ke-40 tahun. Kakinya melangkah pulang dari pemakaman putra semata
wayangnya. Sesampainya di teras rumah, diraihnya surat kabar pagi ini dengan headline utama “Melepas Nyawa Di Tangan
Tentara.”
Ody ditemui tergeletak tak berdaya di kamar kosnya di bilangan Jakarta
Barat pada Senin (11/3). Sejumlah luka tusuk ditemui di bagian punggung
mahasiswa jurusan sastra yang juga merupakan aktivis di kampusnya ini. Tetapi,
hantaman benda tajam di temprung belakang kepalanyalah yang diduga sebagai
penyebab utama Ody tewas.
Ody yang merupakan mahasiswa semester akhir jurusan Sastra Indonesia ini
sedang mengurusi tugas akhirnya. Diduga tugas akhir Ody menyinggung soal Kopassus.
26 Mei 2013
0 comments:
Post a Comment