October 14, 2013

Surat Cinta untuk Ibu



Malam ini aku mengadu kepada langit lewat barisan kata dalam Microsoft Words. Tetapi, berulang kali kutarik dan kuhembuskan nafas. Sesekali juga meremas tangan sendiri, mengelap keringat yang mengucur di telapak tangan. Yang lebih sulit sesungguhnya adalah mengatur detak jantung ini.

Langit, harus kukatakan dengan jujur kepadamu bahwa malam ini jantungku beredetak tak normal. Pemicunya? Sebuah pesan yang kudapati di ponsel pintarku. Sudah kukatakan berkali-kali pada diri sendiri. Juga telah kuteriakkan pada dunia lewat media sosial kalau hatiku dalam keadaan hibernasi. Tetapi, nyatanya jantungku tak terkendali saat mengetahui siapa si pengirim pesan itu.

Pengirim pesan itu bukan orang asing bagiku. Dia teman diskusiku yang kutemui di perpustakaan kampus 8 bulan yang lalu. Kami sama-sama membenci sejarah, tapi begitu mengagumi Souljah. Hampir setiap hari kami berkomunikasi lewat email. Mendiskusikan segala hal yang sebenarnya kecil tetapi menjadi besar.

Aku akan menuliskan surat wasiat lewat langit. Aku percaya kalau langit adalah tumpahan segalanya, yang tak akan mengeluh dan akan meminta angin untuk mengaburkannya jika surat wasiat ini memang tidak penting. Surat wasiat ini harus kuselesaikan sebelum si pengirim pesan itu menjalankan isi pesannya yang menabuh jantungku.

Langit, dengarkan aku.
 Aku mencintainya.
Sejak pertama kali menatap matanya dan saat tangan halusnya mengangkat tubuh mungilku. Sejak saat itu, aku tahu rasa sayangnya kepadaku tidak akan ada yang mengalahkan. Dia selalu mengurai setiap derai air mataku. Menghilangkan segala kegelisahan lewat dekapnya yang hangat.
Langit, sungguh aku ingin menciptakan senyum di wajahnya lebih lama lagi. Sebagai balasan terima kasih atas semua tetesan darah dan air matanya.
Tetapi aku sadar kalau waktuku tidaklah banyak, jadi bersediakah kau menyediakan sedikit tempat bagiku di langit. Tujuannya? Untuk mengamatinya sepanjang hari. Dan memastikan kalau ia tetap tersenyum untukku.

Aku sempat mendengar pintu kamar kosku dibuka paksa. Aku langsung memejamkan mata dan pasrah akan segalanya. Kurasakan sakit yang menghantam tempurung kepalaku, lalu semua gelap. Gelap. Hingga sebuah cahaya putih hadir dan menjadi tujuanku. Di sana langit telah menepati janjinya. Meminjamkan tempat bagiku untuk memantau orang yang kucintai itu.

* * *
Aku melihatnya menyeka air mata dengan sapu tangan hijau pemberianku di hari jadinya ke-40 tahun. Kakinya melangkah pulang dari pemakaman putra semata wayangnya. Sesampainya di teras rumah, diraihnya surat kabar pagi ini dengan headline utama “Melepas Nyawa Di Tangan Tentara.”

Ody ditemui tergeletak tak berdaya di kamar kosnya di bilangan Jakarta Barat pada Senin (11/3). Sejumlah luka tusuk ditemui di bagian punggung mahasiswa jurusan sastra yang juga merupakan aktivis di kampusnya ini. Tetapi, hantaman benda tajam di temprung belakang kepalanyalah yang diduga sebagai penyebab utama Ody tewas.

Ody yang merupakan mahasiswa semester akhir jurusan Sastra Indonesia ini sedang mengurusi tugas akhirnya. Diduga tugas akhir Ody menyinggung soal Kopassus.





26 Mei 2013

0 comments:

© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis