October 15, 2013

Love (not) at the first sight


Love at the First Sight
by
Fitria Wardani 




Aku tak  pernah percaya dengan ungkapan love at the first sight. Cinta pada pandangan pertama, mana bisa seperti itu. Aku mencintai seseorang bukan karena matanya, wajahnya atau bahkan cara berpenampilannya. Aku mencintai karena hati dan pemikirannya.

Wanita yang mudah jatuh cinta pada pandangan pertama bagiku adalah pembohong sejati, penebar jati diri. Yang lebih parahnya, bagiku mereka ‘wanita gampangan.’ Dan lelaki yang mudah jatuh cinta pada pandangan pertama adalah player kelas kakap. Aku tentu saja bukan bagian dari keduanya. Tunggu, bukan berarti aku transgender  ataupun waria. Aku lelaki sejati yang mengartikan cinta sebagai proses keterkaitan hati, bukan melalui mata.

Sampai pada suatu hari, aku tidak sengaja berkenalan dengan Kirina. Gadis dengan senyum yang melelehkan hati saat aku menyadarinya lebih jauh. Sore itu, kami sama-sama berada dalam Trans Jakarta koridor 1 setelah mengikuti workshop fotografi. Harus kuakui Kirina memerhatikan dari kejauhan sambil melemparkan seulas senyumnya. Hal itu tidak sekali atau dua kali, tapi sepanjang perjalanan dari shelter Bank Indonesia menuju Polda.

Akhirnya kuberanikan diri mulai menyapanya terlebih dahulu

“Hai, tadi ikut Workshop Fotografi juga kan?,” bukaku

“Iya, kamu jugakan ? Tadi aku sempat lihat kamu kok di aula. Yang duduknya baris kedua paling pinggirkan?”

Aku terkejut karena Kirina mengetahui dengan tepat tempat dudukku selama workshop berlangsung. Tetapi, sedetik kemudian aku sadar kalau aku masih menggantung pertanyaan Kirina, maka dengan tergagap aku menjawab, “Oh..oh..iya..iya bener banget. Baris kedua paling pinggir.”

Kirina tersenyum sambil menunduk, lalu melemparkan pandangannya ke jalanan ibukota yang macet. Aku malu dibuatnya. Juga meleleh karena senyumnya yang manis.

“Boleh kenalan? Aku Mika,” ujarku smbil menyodorkan tangan.

“Kirina,” jawabnya sambil menyambut jabat tanganku.

Dan itulah pertama kalinya aku mengenal Kirina. Di dalam Bus Trans Jakarta pada sorenya ibukota yang tak pernah kehilangan rutinitas macet. Kami berbincang akrab di tengah wajah lelah para penumpang Trans Jakarta, seolah kami teman lama yang baru bertemu kembali. Padahal aku dan Kirina baru mengenal selama 45 menit.

Aku meminta nomor kontaknya untuk dapat berdiskusi kembali tentang fotografi ataupun hal lain. Sepertinya aku mulai menyukai Kirina. Bukan, ini bukan love at the first sight. Aku telah menemui wajahnya seharian penuh selama workshop. Senyumnya juga bukan yang pertama ia tunjukkan karena dia murah senyum kepada siapapun. Tetapi, senyum yang ia tunjukkan saat kami berbincang berdua di Trans Jakarta terasa berbeda.

Sudah sebulan aku dan Kirina dekat. Kami berkirim pesan sepanjang hari dan hampir setiap hari. ,meski kami berbeda kampus, tetapi kami sempat jalan bareng dua kali. Yang pertama adalah mengunjungi pameran fotografi dan sempat lari pagi di senayan bersama.

Klik. Rasanya itu kata yang tepat untuk menggambarkan antara aku dan Kirina.  Meski aku 2 tahun lebih muda dibanding Kirina, tetapi kami bicara layaknya teman sebaya. Semuanya mengalir, tanpa jeda. Mungkin karena kesamaan kami dalam banyak hal. Mulai dari fotografi, jogging pagi hingga music country yang jadi kebanggan bersama.

Sekali lagi ini bukan love at the first sight. Ini adalah proses cinta yang berlangsung karena keterkaitan hati dan pikiran. Cinta? Berani sekali aku menyebutnya demikian, tanpa tahu apa benar perasaan Kirina berbanding lurus denganku. Karena tidak ingin dipenuhi kegelisahan, kuputuskan untuk mengutarakan semuanya pada Kirina.

“Mika, kamu tahukan kita beda 2 tahun? Aku menganggap kamu sebagai adik. Adik yang dipenuhi dengan pemikiran-pemikiran keren untuk sesusiamu. Makanya aku nggak pernah bosan ngobrol sama kamu. Tetapi, untuk memiliki hubungan lebih dari itu, rasanya nggak mungkin,”

Aku mengehela nafas “Yang barusan tuh alasan yang paling nggak mau aku dengar deh kak. Jadi aku masih aja anak kecil ya di mata kakak?,” tanyaku dengan tawa kecil menertawakan diri sendiri.

“Bukan itu saja Mika. Kamu nggak tahu hal lain”

“Kalau gitu kasih tahu aku, kak”

“Sebelum kenal sama kamu, aku memang lagi dekat sama seorang cowok yang juga temanku. Kami dekat tanpa kejelasan selama hampir 6 bulan. Aku nggak tahu apa itu bisa disebut PDKT atau nggak, tapi jujur aku bosan tanpa kejelasan itu. Dan aku ketemu sama kamu, Mika. Banyak banget dalam diri kamu yang membuat aku terkagum, yang nggak ada di dalam diri dia. Untuk satu dua minggu, aku merasa mungkin kamu better dari dia. Lagian kamu asyik, tapi selanjutnya aku sadar  kalau ada yang hilang. Ada yang beda tanpa dia. Aku nggak butuh yang better dari dia. Aku cukup butuh dia. Dan semalam, dia mengutarakan semua perasaannya selama 6 bulan itu padaku.”

Dia yang dimaksud Kirina telah menunggu manis di ujung jogging track layaknya seorang mempelai pria yang menunggu pengantin perempuannya sampai di altar. Dan aku ? tertinggal sendirian di tengah jogging track dengan senyum Kirina yang khas. Tetapi rasanya berbeda, karena senyum itu kini ia persembahkan lebih tulus kepada ‘dia’ yang telah menunggu di ujung jogging track.

“Terima kasih untuk semuanya, Mika. Keep in touch ya, ” ujar Kirina ceria sambil melambai.

Aku balas melambai dengan pasrah. Sudah kubilang ini bukan love at the first sight, karena kalau memang begitu rasanya tidak akan sesakit ini.

End 

2 Juni 2013

2 comments:

Unknown said...

iiiih..!!!gue tau banget ini cerita.!! haha
tapi beda ending huh haha~

Fitria Wardani said...

Waah gawat ketauan. Haha udah lama nih bikinnya

© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis