Saya tidak pernah mengira kalau rutinitas yang berlangsung selama 15 hari
berturut-turut bisa menciptakan rindu tersendiri saat kita meninggalkannya. Setidaknya
itu yang saya rasakan saat bangun di Sabtu pagi—awal hari libur sesungguhnya
bagi saya setelah freelance 15 hari
di Ramadhan ini.
Tiba-tiba saya merindukan menunggu Kopaja AC S602 rute Ragunan-Monas di
Halte Warung Jati, rindu suasana di dalam bis, menyelami wajah per wajah yang
kiranya akan turun di halte selanjutnya agar saya bisa mendapatkan tempat
duduknya. Berjalan cepat-cepat menyusuri jembatan penerbangan dari Halte
TransJakarta Karet yang bunyinya bergemuruh. Tapi, percayalah readers kalau jarang sekali ada orang
yang jalannya pelan di jembatan penyebrangan itu. Semuanya melangkahkan kakinya
dengan cepat, seolah berlomba dengan waktu.
Aneh sih, saya merasa sedih karena tidak akan lagi melewati semua
rutinitas tersebut. Padahal kalau dipikir, rutinitas itu begitu melelahkan
tenaga dan menguras waktu. Tetapi, mungkin saya menikmatinya. Mengamati satu
per satu wajah masyarakat di Jakarta di dalam bus ataupun di luar. Khususnya di
Ramadhan ini.
Meski Jakarta itu keras dan katanya masyarakat kota itu individualis
tetapi saya rasa tidak semua. Sekedar share,
saya pernah terkesima melihat seorang wanita yang sedang memegang Al Quran di
tangannya—di tengah padatnya penumpang dalam Kopaja AC S602—dan sekaligus
membacanya. Masih di Bis yang sama, pada hari berbeda, tepatnya di belakang
saya, saya mendengar seorang bapak yang membaca Al Quran melalui tabletnya.
Kalau melihat 2 orang di atas, saya rasa bukankah malu jika kita yang kebanyakan
tidak memiliki aktivitas di Ramadhan ini justru menggunakannya untuk tidur atau
hal tidak berguna lainnya. Sementara mereka di sela kesibukannya bekerja dan terhimpit
kemacetan Jakarta, seolah tidak ingin melewatkan ‘great sale pahala’ yang ditawarkan Allah pada Ramadhan ini.
Pada konteks lain adalah soal keindahan berbagi. Saya tidak pernah
menyangka kalau ta’jil on the road
menciptakan kebahagiaan tersendiri pagi pengendara di jalan, khususnya yang
terjebak macet dan tidak menyiapkan apapun untuk berbuka puasa.
Sedikit share lagi soal saya
yang saat itu tidak menyiapkan apapun untuk berbuka puasa. Karena saya pikir
setidaknya pukul 17.30 saya telah berada di Ciputat, saya memutuskan untuk
membeli minuman di sana saja. Tetapi, siapa sangka kalau saya harus menunggu
APTB rute Ciputat-Kota selama hampir 1 jam (16.15-17.15) di Halte Karet. Alhasil
saya masih berada di APTB (kalau tidak salah di daerah Radio Dalam) saat Azan
Magrib berkumandang.
Kebanyakan orang telah mempersiapkan bekal untuk buka puasa di jalan, kecuali
saya. Ada seorang bapak bapak yang mukanya agak bule membagikan makanannya—entah
apa—kepada beberapa penumpang di dekatnya. Tentu saja saya tidak dapat karena
tidak berada di dekatnya, selain itu gak
ngarep juga sih. Tetapi, siapa sangka saat saya sedang menyapukan pandangan
ke kanan dan kiri, seorang bapak tua tiba-tiba ‘menangkap’ mata saya dan
mengangkat segelas botol air mineral sebagai isyarat menawarkan pada saya.
Saya hanya tersenyum saat itu, juga mengangguk sebagai isyarat terima
kasih dan…penolakan ? oke mungkin lebih tepatnya malu-malu karena bapak itu
saja hanya berbuka puasa dengan sebotol kecil air mineral. Masa iya dibagi dua
dengan saya, kesannya nggak tahu diri sekali
saya. Lagipula, kami terpaut sekitar 3 kursi (dia duduk dan saya berdiri). Dan ternyata
bapak itu menundukkan kepala dan mengambil sesuatu dari goody bag biru nya…sebotol kecil air mineral lainnya yang diberikan
untuk saya. Sangat-sangat berterima kasih kepada bapak #nomention itu.
Pesan dari postingan ini adalah
di hiruk pikuk kemacetan dan kerasnya Jakarta, masih tersimpan manusia baik
hati yang peduli sesama dan berbuat kebaikan semata-mata untukNya. Memang sih
porsinya sedikit, mungkin juga hanya bisa dilihat melalui mikroskop. Tetapi percayalah,
kalau kamu juga berbuat baik karenaNya, pasti akan ada hal baik yang juga akan mengikutimu.
0 comments:
Post a Comment