Have A Safe Flight
Oleh :
Fitria Wardani
Jilatan api memang
sudah tak lagi memakan tubuh pesawat, tetapi hawa panas yang tersisa masih
terus menyelimuti setiap orang yang melintas di sekitarnya. Puing-puing pesawat
berserakan di tanah dan suara rintihan minta tolong terdengar begitu
menyakitkan. Tera tidak mengerti mengapa ia bisa berada di tengah pemandangan
yang mirip dengan kecelakaan pesawat di film War of the World itu.
Tera terus berjalan
menembus hawa panas yang tercipta serta tubuh – tubuh manusia yang tergeletak.
Tera sendiri tidak mengerti akan kemana dan untuk apa ia terus berjalan. Juga
mengapa ia bersih tanpa setitikpun luka di tengah bencana itu.
Langkah Tera
terhenti di dekat seorang pria seusianya yang terbaring lemah. Dari pelipisnya,
mengalir darah. Sementara, bagian wajah lainnya kehitaman sisa asap yang
menempel. Meski begitu, Tera tahu betul siapa pria itu.
“Anrio,” jerit Tera
lirih sambil meletakkan kepala Anrio di pangkuannya.
Mata Anrio terpejam
rapat. Tak pernah terbuka meski Tera terus memanggilnya.
* * *
Tera meneguk
gelasnya dengan sangat rakus, seolah baru menyelesaikan lari marathon sejauh 1
km. Piyama Doraemonnya masih melekat kusut di tubuhnya. Sama halnya dengan
mimpinya semalam yang masih melekat hangat dalam pikirannya.
Tera menghampiri kalender gantungnya yang melekat di
dinding. Menatap lekat dengan mata berkaca – kaca. Tertera tanggal 28 yang
dilingkari dengan spidol merah bertuliskan ‘Gone’. Tera hanya bisa menghela
nafas panjang diiringi lagu When You’re
Gone yang keluar melalui radio kecil di sudut kamarnya.
Tera masih
termenung, memutar ulang mimpinya. Tidak tahu harus berbuat apa. Hatinya seakan
ingin menangis, namun tak bisa tumpah begitu saja. Ada sesak yang selalu mengganjal di
setiap mimpi buruk yang terjadi
“108.8 HeartFm. That was Avril Lavigne with When You’re
Gone. Sorry nih, kalau pagi – pagi begini udah memutarkan lagu yang membuat
kalian tersedu-sedu. But, anyway 10
menit lagi, akan dibuka ‘Say Five Words’. Jadi, buat kalian yang pagi ini ingin
say something untuk someone spesial, ayo buruan telpon. But remember, you just say five words”
Suara penyiar di
HeartFm masih bernyanyi dengan nomor telepon yang dapat dihubungi. Tetapi Tera,
dengan sangat sigap meraih ponselnya dan menekan panggil pada ‘HeartFm’ di
daftar kontak ponselnya. Tera sudah memiliki nomor kontaknya karena tak pernah
absent mendengarkan HeartFm, radio kesayangannya.
* * *
Suara indah Adam
Levine baru saja menyudahi lagu Payphone di HeartFm. Hati Anrio terasa dipukul
oleh potongan lirik ‘where have the times
gone, baby its all wrong where are the plans we made for two’. Terlalu
banyak rencana yang ia dan Tera buat sebelum mereka bertemu. Tetapi, tidak ada
satupun yang terwujud, bahkan bertemupun tidak. Waktu selama 30 hari berada di
daratan yang sama—dengan Tera—terbuang begitu saja dengan cepat.
“Okay, seperti yang
telah Onya janjikan sebelumnya. Sekarang kita akan menggelar ‘Say Five Words’. Dan peserta
pertama kita sudah menunggu sejak tadi di ujung sana. Siapakah dia ?”
Suara penyiar di
HeartFm berkumandang terus mengisi kesunyian di mobil. Hanya ada Anrio dan Ayahnya
dalam diam menuju Bandara Soekarno-Hatta. Entah bagaimana ceritanya, Anrio menjadi
suka mendengarkan radio. Terlebih lagi, karena tidak dapat bertemu dengan Tera,
ia menjadi semakin gencar mendengar HeartFm. Setidaknya, ia merasa berada di
dekat Tera jika sedang mendegar
HeartFm—radio kesayangan Tera. Anrio merasa, ia dan Tera terhubung melalui lagu
yang diputarkan HeartFm setiap waktu, karena mereka sama-sama mendengar hal
yang sama.
“Halo. Siapa
disana?,” tanya Onya, Si Penyiar itu.
“Tera,” ujar lirih
suara di seberang sana.
Anrio terkejut
mendengar suara itu. Apakah itu Tera nya ?
pikir Anrio dalam hati.
“Tera? Wauww nama
yang unik. Okay, Say Five Words nya untuk siapa nih?”
“Untuk…untuk….untuk….Anrio”
Anrio nyaris
tersedak mendengar namanya disebut. Tapi, benarkah Anrio dirinya yang dimaksud
dengan Tera? Setelah dapat bernafas, Anrio semakin gelagapan karena Ayahnya
angkat bicara.
“Buat kamu tuh Yo
,” ujar Ayah Anrio dengan tatapan fokus ke depan.
“Bukan ah, Pa. yang namanya Anrio kan bukan hanya aku,”
Anrio tidak
menghiraukan lagi HeartFm. Ia dengan cepat menyumpalkan headset ke kedua lubang telinganya. Seolah tidak ingin ketinggalan
mendengar suara melalui headsetnya
itu.
to be continued