Dari awal, aku dan kamu saling tahu
Saling menghargai dan terus menjalani
Kaeela selalu menyisir ujung rambutnya dengan jari-jari panjangnya sambil mendengarkan ceritaku. Sesekali senyum terukir dari bibirnya yang menununjukkan belahan di bagian bawah. Mata Kaeela yang bulat selalu berputar indah seolah tak percaya dengan ucapan-ucapan yang keluar dari mulutku. Tetapi sedetik kemudian, matanya akan kembali menuju ke mataku. Focus. Mendengarkan. Sesekali dahinya yang berkerut bingung seolah menekan tombol rewind pada diriku yang membuatku bercerita lebih pelan. Mengulang kembali hingga Kaeela paham. Kaeela selalu membuka mulutnya setelah melihat tenggorokanku mantap teraliri minuman ion dingin favorit kami berdua. Kaeela selalu mengucapkan ‘Bagus’ sebagai tanggapan utamanya setelah panjang lebar aku bercerita. Kaeela selalu tertawa setelah itu. Kaeela selalu mengomentari setiap detail ceritaku. Kaeela selalu memberi saran yang tak pernah kuiyakan tetapi secara tidak sadar, aku mengikutinya. Kaeela selalu begitu.
Sejak perkenalan pertama kami di kampus, tepatnya musim panas 2008. kami berada dalam satu kelompok yang sama saat orientasi. Kaeela selalu menebarkan senyumnya untukku, menyapaku dari kejauhan. Kaeela selalu memanggil namaku sambil melambaikan tangannya yang lembut. Hal yang tidak dia lakukan pada teman laki-laki lainnya.
Aku dan Kaeela bagaikan gula dan semut. Dimana ada Kaeela, di situ ada aku. Begitu pula sebaliknya. Kaeela menjadi tempat keluh kesahku menghadapi setumpuk pasal-pasal yang harus aku hafalkan. Kaeela selalu melihatku muntah saat mulai lelah menghafal pasal. Sedetik kemudian, Kaeela selalu menghampiriku dengan cat air di tangannya. Membiarkanku menghirupnya sedikit, lalu aku akan merasa lebih baik. Tak lama kemudian, Kaeela akan selalu tersenyum tenang melihatku melukis. Kaeela selalu tahu kalau aku tak suka Ilmu Hukum. Kaeela selalu tahu aku menyukai seni. Seni rupa.
Kaeela tidak keberatan. Dia juga menyukainya. Hanya saja dia tidak memiliki bakat itu, hal itu yang selalu dia utarakan kepadaku. Kaeela menyulap dinding kamar tidurnya menjadi tumpahan kreatifitas seniku. Kaeela tidak peduli apa yang akan kutumpahkan di dindingnya. Kaeela akan selalu menyukainya. Ya, Kaeela melakukan itu untukku. Kaeela hanya tidak ingin kreativitas dan bakatku terhenti karena tidak diizinkan berekspresi oleh ayah tiriku. Kaeela selalu menjauhkanku dari kopi hitam dan rokok, asap rokok sekalipun.
Kaeela selalu mengacak-acak rambutku dengan telapak tangannya yang lembut setiap aku panik belum mengerjakan tugas. Kehangatan tangan Kaeela selalu berhasil membuatku lebih rileks. Kaeela selalu menghabiskan roti isi keju buatan Mama yang diselundupkan ke tasku. Kaeela selalu menggenggam erat tanganku sambil gemetaran setiap kali menyebrangi jalan besar di depan kampus kami. Kaeela selalu menyisakan batang sawi di mangkoknya begitu kami selesai makan mi ayam di tempat favorit kami. Kaeela selalu pergi ke salon sebulan sekali untuk merapikan ujung rambutnya. Kaeela selalu cemburu dengan gadis-gadis lain yang berkulit putih. Kaeela tidak menyukai kulitnya yang coklat sawo matang—yang justru menjadi daya tarik bagiku sejak pertama kali melihatnya—
Februari 2009, aku dan Kaeela saling mengetahui perasaan kami satu sama lain. Kami sama-sama menghargai perasaan kami. Tetapi semua itu tak mengubah apapun. Aku dan Kaeela tetap bagaikan gula dan semut. Selalu beriringan kemanapun kami pergi.
Kaeela akan menangis tersedu-sedu, memaki, menghujat atau bahkan memukulku jika kesal. Setelah itu, dia akan bercerita siapa dan apa yang membuatnya seperti itu. Kaeela selalu begitu.
Kaeela selalu senang berada di perpustakaan. Wajahnya yang serius menekuni buku yang dia baca semakin membuatku gemas. Kaeela menyukai racing, terutama Moto GP. Sementara aku hanya akan duduk di sebelahnya, melipat wajah menjadi lipatan-lipatan kecil meski di dalam hati aku menyukai mata Kaeela yang terus menyipit menikmati racing. Kaeela akan mencubit hidungku sekeras mungkin jika Dani Pedrosa keluar sebagai juaranya, dan hanya mencubit hidungku manja jika bukan Dani yang menang. Kaeela selalu begitu.
Desember 2009, aku dan Kaeela telah lama saling mengetahui isi hati kami satu sama lain. Kaeela selalu tahu kalau aku menyukainya. Dan aku juga tahu kalau Kaeela selalu tidak pernah sedikitpun mengubah keputusan hatinya. Kaeela telah memilih orang lain menjadi kekasihnya. Bukan aku. Kaeela selalu tidak pernah bercerita mengenai lovelifenya. Tetapi Kaeela selau bercerita tentang hal lain yang seolah tak pernah lelah ia sampaikan, sekalipun lewat telpon.
Kaeela tak pernah lelah bercerita apapun kepadaku, hanya saja dia harus menyudahinya dengan sebuah kalimat lewat ujung telpon. “Ran, udah dulu ya. Reno udah jemput nih”
Setelah kalimat malam itu, Kaeela tak pernah lagi muncul di hadapanku atau bahkan orangtuanya. Suaranya juga tak pernah hinggap di telingaku atau telinga orangtuanya. Kaeela tak terlihat sejak keppergiannya bersama Reno untuk menghabiskan malam Minggu. Kaeela lenyap.
0 comments:
Post a Comment