Pernahkah readers berdoa untuk orang lain ? jawab dalem hati aja
Nah kalo berdoa untuk orang yang nggak kita kenal, pernahkah ? mungkin pernah juga. Terserah itu jawaban readers masing-masing
Dan gue berdoa untuk orang lain…orang yang nggak gue tahu namanya…seseorang yang nggak gue tahu kepribadiannya. Gue hanya tahu kalau dia seorang cowok dan dengan instinct gue dia adalah adik kelas gue
Doa yang konyol dan sebenernya untuk kepentingan gue sendiri, yah begitulah salah satu ciri masyarakat modern dalam pelajaran sosio yang gue dapatkan.
Jadi gimana ceritanya ?
Selasa, 23 November yang bertepatan hari ultahnya Rizky Amalia (my chairmate) yang lagi GTC ke Jogja, Bandung, dan sekitarnya. Wait…kenapa gue nyeritain dia.
Intinya, hari selasa itu gue mau ke sekolah dan hari hujan, maka dari itu gue memilih untuk naik angkot daripada dianterin bokap naek motor.
Gue memilih duduk paling pojok sambil mendengarkan radio melalui ponsel gue.
Seperti yang pernah gue ceritakan dalam posting gue yang “Mengawal Februari dengan Rasa Syukur” tentang jalanan menuju ke sekolah tercinta gue, gue harus melewati perempatan yang macet. Yapp perempatan itu bernama ‘victor’
Angkot berhenti yang artinya nggak bergerak di pertengahan jalan sebelum sampe perempatan victor, si sumber macet.
Gue celingak celinguk, tambah resah saat mengetahui jam di ponsel gue udah jam 7 (sebenarnya jam gue kecepatan 15 menit dari jam rumah).
Gue melirik jam seorang wanita di sebelah gue. Memahami dalam-dalam, gue bingung jarum detiknya nggak nyala dan gue bingung antara jam 07.20 atau jam 06.40
‘Ahh nggak ngebantu’, pikir gue.
Lalu gerasak gerusuk terdengar di kursi bagian belakang supir. Seorang cowok berseragam SMA yang gue duga 1 sekolah sama gue mulai keliatan nggak tenang.
Dia merogoh uang di saku bajunya, memeriksa apakah uangnya cukup untuk naik ojek dan mempersiapkan uang yang akan digunakan untuk membayar angkot. Ya begitulah dugaan gue. Tuh cowok kayanya bersiap turun, mencari ojek yang bisa ditumpangi untuk menerobos kemacetan hingga sampai ke sekolah.
Gue terus memandangi cowok itu dari tempat gue duduk, mukanya penuh keraguan sementara muka gue penuh kecemasan
Gue berdoa dalam hati “Ya Allah, please gue mohon lo jangan turun. Please jangan turun, temenin gue dong!”, gue mengulang ulang doa yang intinya berharap tuh cowok nggak turun dari angkot.
Kenapa ?
Karena di angkot itu cuma ada gue dan dia yang sama-sama anak Monzher, kalau dia turun tandanya gue sendirian di angkot dan kalau terlambat nggak punya temen.
Gue nggak mau meniru niatnya untuk naek ojek karena tujuan gue naek angkot adalah terhindar dari cipratan air hujan di jalan. Masa iya gue ujung-ujungnya naek ojek, tau gitu mending gue minta anterin bokap yang gratis tis tis tisss
Gue terus memandanginya, terus berharap agar dia nggak turun
Cowok itupun juga penuh keraguan antara turun dan nggak.
Ranselnya yang nampak berat berkali kali mulai diangkat dan diletakkan kembali seolah menjadi pelampiasan dilemanya antara turun dan menacri ojek atau bertahan di angkot yang entah kapan jalannya.
Lalu saat cowok itu setengah mengangkat tubuhnya yang berarti dia memilih turun, angkot yang kami tumpangi perlahan berjalan…berjalan…berjalan…dan akhirnya melewati perempatan yang macet itu, dan cowok itu, yang gue doakan masih di sana, di belakang supir hingga sampai sekolah, begitu juga dengan gue, orang yang tak dikenalnya yang mendoakan dia, orang yang nggak gue kenal.
November 25, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment