Hello readers
Butuh
waktu lama untuk memulai kata pertama…dan honestly,
saya telah berulang kali menghapus dan mengetik hanya untuk memberikan opening. And well, finally saya memulai
dengan kejujuran dalam bentuk menceritakan apa yang saya rasakan.
Sungguh
bukan penulis yang baik. Maafkan.
Kemarin
dalam perjalanan pulang, saya berbincang bersama teman kerja mengenai paket
internet yang berujung ke sosial media. Mereka berdua bagaikan pasangan tak
terpisahkan dalam setengah dekade terakhir menurut saya. Punya sosial
media..harus punya paket internet. Dan kebanyakan paket internet digunakan
untuk bersosial media. Am I wrong?
Semakin
banyak sosial media yang dimiliki seseorang, maka semakin banyak paket internet
yang dibutuhkan untuk dapat mengakses keseluruhan sosial media yang
dimilikinya, bukankah begitu ?. Nah dari situ, saya tiba-tiba berhitung. Apa
yang saya hitung ? Jumlah sosial media yang saya install di ponsel ternyata ada 10 aplikasi. Wauww…saya cukup kaget
juga sih saat menyadarinya.
Sepuluh
itu apa saja ? Mari saya urutkan dari yang paling popular saya gunakan
akhir-akhir ini. Mereka adalah WhatsApp, Line, Twitter, Setipe, BBM, Instagram,
Facebook, Path, Telegram dan Skype. Pertanyaan selanjutnya dari orang-orang
yang mengetahui fakta di atas adalah, “Itu lo pake semua, fit ?” Jawabannya
adalah 9 dari 10 saya gunakan (Untuk Skype, hanya install tapi sampai saat ini
belum log in).
Sosial Media di Ponsel saya |
Semuanya
punya preferensi dan tingkat kebutuhan masing-masing. WA jadi yang paling utama
untuk komunikasi dengan teman-teman
kuliah atau yang urusannya menyangkut kelompok (grup). BBM khusus untuk teman
SD dan saudara. LINE khusus untuk teman SMP. Twitter untuk update informasi dan
ikutan kuis (kalau beruntung). Facebook ? Ini sih karena udah bawaan dari
ponsel, jadi bukanya kalo lagi pengen.
Path dan Instagram dibuka di jam-jam tertentu dengan kuota yang sangat
mendukung.
Oke
oke bukan itu intinya. Ngomongin Sosial Media adalah ada banyak sosial media
yang sering digunakan tapi apa benar kita telah menggunakannya sesuai
fungsinya? Atau justru melenceng
a.k.a beralih fungsi.
Dua
tahun lalu..saya merasa Path adalah sosial media eksklusif dan menjalankan
perannya bagi saya. Membantu mengetahui kabar teman-teman yang sudah lama tak
saya ketahui. Jumlah pertemanan yang terbatas menjadikan kita lebih selektif
dan kualitatif dalam berteman secara personal. Tetapi, waktu bergulir dan
inovasi terus dikembangkan apda setiap aplikasi di sosial media.
Path
sekarang tidak hanya membatasi pertemanan 150 orang, tapi 500. Kalau kamu ingin
selektif sharing moment di path, maka bisa gunakan fasilitas inner circle. Perubahan lain juga
terjadi di sosial media yang lain, seperti BBM yang berinovasi dengan sticker
beragam, LINE yang ada fitur news feed
nya, dsb.
Lalu
bagaimana dengan postingan kita di sosial media ? bagaimana kita menggunakan
semua sosial media yang kita miliki ? Sudahkah sesuai fungsinya ?
Tidak
ada peraturan baku yang mengaturnya. Tetapi dari kacamata saya pribadi, semakin
hari sosial media beralih fungsi. Dia tidak menyatukan kita..tetapi justru
menjauhkan kita. Sosial media menjadi wadah komersil bagi beberapa orang.
Sayangnya, hal itu yang justru menjadikan sosial media ditinggalkan oleh si
pengguna, yang pada akhirnya menjauhkan satu sama lain.
Ilustrasinya
begini,
A : “Lo
ada LI*E ga? Bagi dong ID nya?”
B :
“Yaah gue ga pake. Banyak iklannya abisnya. Jadi males.”
Pada
akhirnya mereka nggak jadi menyambung
silaturahim atau bisa juga jadi dengan aplikasi lain.
Salah
alih fungsi lain adalah sosial media adalah bahan mengkomersialkan segala hal
yang sesungguhnya personal atau remeh temeh. Kalau remeh temeh aja dishare, bisakah disebut pamer ?
Pamer
atau tidaknya postingan seseorang di sosial media adalah tergantung bagaimana
pikiran kita mencerna dan hati menyikapinya. Menjudge
seseorang pamer itu bukan hanya menjatuhkan sifat negative ke orang tersebut,
tetapi secara tidak langsung juga dapat melabeli diri kita sendiri, yang
jangan-jangan sesungguhnya hanya iri.
Ilustrasinya
begini,
A :
(posting foto tiket pesawat ke Singapura)
B :
(scroll timeline) “Pamer banget sih” (ngomong dalam hati)
6 jam
kemudian
A :
(check in d restoran, lengkap dengan menu makanan Thai Jumbo Prawn)
B :
(scroll timeline) “Pamer terus, apa gue unshared
ya, atau inner circle?”
1
hari kemudian
A :
(posting foto tangan gatel-gatel karena alergi makan udang)
B :
(scroll timeline) “Penting banget apa yang beginian dishare, dikira sembuh kalo difoto dan diposting di path”
Have you ever felt as an A or B, readers
?
Siapa
sih yang salah ? A yang suka pamer atau B yang memang nggak punya aktifitas
makanya ngejudge orang pamer ? Jika B
mendapatkan kesempatan untuk terbang ke luar negeri, apa dia tidak akan
melakukan hal yang sama dilakukan oleh si A ?
Semua
soal bagaimana kita menjernihkan hati dan memosisikan diri. Melihat sesuatu
secara keseluruhan dan konsisten. Kalau memang menurt kamu, posting tiket
pesawat itu pamer. Maka kamu tidak akan melakukan hal sejenis di lain waktu.
Itu namanya konsisten.
Untuk
postingan bagian tubuh entah apa itu yang terluka..seriously saya pribadi merupakan orang yang paling anti dan benci.
Alasannya bukankah itu menjijikkan dan bagaimana jika itu adalah aurat ? Mengapa kita
dengan murahnya menyuguhkan aurat kita ke banyak orang.
Saya
pernah berada di posisi A dan B. Menjadi A yang gemar check in momment sana sini untuk sebuah jumlah momment yang bertambah atau sekedar melihat banyaknya sticker yang
ditinggalkan atas postingan kita. Tetapi, lalu saya bertanya..dengan intensitas
yang sesering ini apakah postingan saya mengganggu orang dan terkesan pamer.
Kalau
sudah begitu, saya tidak akan memposting hal yang sama pada sosial media yang saling
tehubung. Melihat postingan yang isinya sama di berbagai sosial media dari satu
orang yang sama adalah hal yang paling saya benci. Jadi, pasti saya akan mempsoting
hal yang berbeda di berbagai sosial media yang berbeda.
Menjadi
orang yang sinis seperti B juga pernah saya rasakan. Pertanyaan mengapa si A
pamer terus di setiap postingannya. Tetapi, saya bertanya kembali..apakah si A
salah dengan posting seperti itu ? Ataukah ini hanya saya yang lebih sering
duduk diam men-scroll timeline tanpa
kemana-mana dan berbuat sesuatu, hingga perasaan iri muncul kepada orang lain.
Apakah jenis perasaan iri yang muncul ini adalah perasaan iri yang diizinkan ?
Atau bahkan seharusnya tidak pantas ?
Jika
sudah begini, maka saya akan memilih untuk beristirahat dari sosial media.
Rehat sejenak dari scroll timeline di
Path. Puasa membuka berbagai sosial media dan hanya memfokuskan pada satu hal
yang memang untuk berkomunikasi (instant
mesagging). Efeknya ? Tenang..rasanya menenangkan.
Tidak
perlu pusing mengomentari postingan orang..tidak perlu juga sibuk check in lokasi setiap mengunjungi
tempat-tempat penting. Justru dengan itu
kita bisa sungguh-sungguh menikmati moment yang kita miliki.
Well, tulisan ini dibuat pada suatu
malam saat si penulis merasa kesepian dengan kesepuluh sosial media yang dia
miliki. Tetapi sama halnya dengan aplikasi yang terus mengalami perubahan, maka
hati seorang manusia pun juga demikian. Siapa yang tahu jika tulisan ini justru
berbanding terbalik dengan apa yang saya rasakan pada tahun tahun ke depan.
We’ll never know. Tetapi, mari bijak bersosial media.
Terima kasih sudah
membaca dan mengerti.
0 comments:
Post a Comment