March 19, 2016

Ngomongin SosMed


Hello readers

Butuh waktu lama untuk memulai kata pertama…dan honestly, saya telah berulang kali menghapus dan mengetik hanya untuk memberikan opening. And well, finally saya memulai dengan kejujuran dalam bentuk menceritakan apa yang saya rasakan.

Sungguh bukan penulis yang baik. Maafkan.
Kemarin dalam perjalanan pulang, saya berbincang bersama teman kerja mengenai paket internet yang berujung ke sosial media. Mereka berdua bagaikan pasangan tak terpisahkan dalam setengah dekade terakhir menurut saya. Punya sosial media..harus punya paket internet. Dan kebanyakan paket internet digunakan untuk bersosial media. Am I wrong?

Semakin banyak sosial media yang dimiliki seseorang, maka semakin banyak paket internet yang dibutuhkan untuk dapat mengakses keseluruhan sosial media yang dimilikinya, bukankah begitu ?. Nah dari situ, saya tiba-tiba berhitung. Apa yang saya hitung ? Jumlah sosial media yang saya install di ponsel ternyata ada 10 aplikasi. Wauww…saya cukup kaget juga sih saat menyadarinya.

Sepuluh itu apa saja ? Mari saya urutkan dari yang paling popular saya gunakan akhir-akhir ini. Mereka adalah WhatsApp, Line, Twitter, Setipe, BBM, Instagram, Facebook, Path, Telegram dan Skype. Pertanyaan selanjutnya dari orang-orang yang mengetahui fakta di atas adalah, “Itu lo pake semua, fit ?” Jawabannya adalah 9 dari 10 saya gunakan (Untuk Skype, hanya install tapi sampai saat ini belum log in).

Sosial Media di Ponsel saya
Semuanya punya preferensi dan tingkat kebutuhan masing-masing. WA jadi yang paling utama untuk  komunikasi dengan teman-teman kuliah atau yang urusannya menyangkut kelompok (grup). BBM khusus untuk teman SD dan saudara. LINE khusus untuk teman SMP. Twitter untuk update informasi dan ikutan kuis (kalau beruntung). Facebook ? Ini sih karena udah bawaan dari ponsel, jadi bukanya kalo lagi pengen. Path dan Instagram dibuka di jam-jam tertentu dengan kuota yang sangat mendukung.

Oke oke bukan itu intinya. Ngomongin Sosial Media adalah ada banyak sosial media yang sering digunakan tapi apa benar kita telah menggunakannya sesuai fungsinya? Atau justru melenceng a.k.a beralih fungsi.

Dua tahun lalu..saya merasa Path adalah sosial media eksklusif dan menjalankan perannya bagi saya. Membantu mengetahui kabar teman-teman yang sudah lama tak saya ketahui. Jumlah pertemanan yang terbatas menjadikan kita lebih selektif dan kualitatif dalam berteman secara personal. Tetapi, waktu bergulir dan inovasi terus dikembangkan apda setiap aplikasi di sosial media.

Path sekarang tidak hanya membatasi pertemanan 150 orang, tapi 500. Kalau kamu ingin selektif sharing moment di path, maka bisa gunakan fasilitas inner circle. Perubahan lain juga terjadi di sosial media yang lain, seperti BBM yang berinovasi dengan sticker beragam, LINE yang ada fitur news feed nya, dsb.

Lalu bagaimana dengan postingan kita di sosial media ? bagaimana kita menggunakan semua sosial media yang kita miliki ? Sudahkah sesuai fungsinya ?

Tidak ada peraturan baku yang mengaturnya. Tetapi dari kacamata saya pribadi, semakin hari sosial media beralih fungsi. Dia tidak menyatukan kita..tetapi justru menjauhkan kita. Sosial media menjadi wadah komersil bagi beberapa orang. Sayangnya, hal itu yang justru menjadikan sosial media ditinggalkan oleh si pengguna, yang pada akhirnya menjauhkan satu sama lain.

Ilustrasinya begini,
A : “Lo ada LI*E ga? Bagi dong ID nya?”
B : “Yaah gue ga pake. Banyak iklannya abisnya. Jadi males.”

Pada akhirnya mereka nggak jadi menyambung silaturahim atau bisa juga jadi dengan aplikasi lain.

Salah alih fungsi lain adalah sosial media adalah bahan mengkomersialkan segala hal yang sesungguhnya personal atau remeh temeh. Kalau remeh temeh aja dishare, bisakah disebut pamer ?

Pamer atau tidaknya postingan seseorang di sosial media adalah tergantung bagaimana pikiran kita mencerna dan hati menyikapinya.  Menjudge seseorang pamer itu bukan hanya menjatuhkan sifat negative ke orang tersebut, tetapi secara tidak langsung juga dapat melabeli diri kita sendiri, yang jangan-jangan sesungguhnya hanya iri.

Ilustrasinya begini,
A : (posting foto tiket pesawat ke Singapura)
B : (scroll timeline) “Pamer banget sih” (ngomong dalam hati)
6 jam kemudian
A : (check in d restoran, lengkap dengan menu makanan Thai Jumbo Prawn)
B : (scroll timeline) “Pamer terus, apa gue unshared ya, atau inner circle?”
1 hari kemudian
A : (posting foto tangan gatel-gatel karena alergi makan udang)
B : (scroll timeline) “Penting banget apa yang beginian dishare, dikira sembuh kalo difoto dan diposting di path”

Have you ever felt as an A or B, readers ? 
Siapa sih yang salah ? A yang suka pamer atau B yang memang nggak punya aktifitas makanya ngejudge orang pamer ? Jika B mendapatkan kesempatan untuk terbang ke luar negeri, apa dia tidak akan melakukan hal yang sama dilakukan oleh si A ?

Semua soal bagaimana kita menjernihkan hati dan memosisikan diri. Melihat sesuatu secara keseluruhan dan konsisten. Kalau memang menurt kamu, posting tiket pesawat itu pamer. Maka kamu tidak akan melakukan hal sejenis di lain waktu. Itu namanya konsisten.

Untuk postingan bagian tubuh entah apa itu yang terluka..seriously saya pribadi merupakan orang yang paling anti dan benci. Alasannya bukankah itu menjijikkan dan  bagaimana jika itu adalah aurat ? Mengapa kita dengan murahnya menyuguhkan aurat kita ke banyak orang.

Saya pernah berada di posisi A dan B. Menjadi A yang gemar check in momment sana sini untuk sebuah jumlah momment yang bertambah atau sekedar melihat banyaknya sticker yang ditinggalkan atas postingan kita. Tetapi, lalu saya bertanya..dengan intensitas yang sesering ini apakah postingan saya mengganggu orang dan terkesan pamer.

Kalau sudah begitu, saya tidak akan memposting hal yang sama pada sosial media yang saling tehubung. Melihat postingan yang isinya sama di berbagai sosial media dari satu orang yang sama adalah hal yang paling saya benci. Jadi, pasti saya akan mempsoting hal yang berbeda di berbagai sosial media yang berbeda.

Menjadi orang yang sinis seperti B juga pernah saya rasakan. Pertanyaan mengapa si A pamer terus di setiap postingannya. Tetapi, saya bertanya kembali..apakah si A salah dengan posting seperti itu ? Ataukah ini hanya saya yang lebih sering duduk diam men-scroll timeline tanpa kemana-mana dan berbuat sesuatu, hingga perasaan iri muncul kepada orang lain. Apakah jenis perasaan iri yang muncul ini adalah perasaan iri yang diizinkan ? Atau bahkan seharusnya tidak pantas ?

Jika sudah begini, maka saya akan memilih untuk beristirahat dari sosial media. Rehat sejenak dari scroll timeline di Path. Puasa membuka berbagai sosial media dan hanya memfokuskan pada satu hal yang memang untuk berkomunikasi (instant mesagging). Efeknya ? Tenang..rasanya menenangkan.

Tidak perlu pusing mengomentari postingan orang..tidak perlu juga sibuk check in lokasi setiap mengunjungi tempat-tempat penting.  Justru dengan itu kita bisa sungguh-sungguh menikmati moment yang kita miliki.

Well, tulisan ini dibuat pada suatu malam saat si penulis merasa kesepian dengan kesepuluh sosial media yang dia miliki. Tetapi sama halnya dengan aplikasi yang terus mengalami perubahan, maka hati seorang manusia pun juga demikian. Siapa yang tahu jika tulisan ini justru berbanding terbalik dengan apa yang saya rasakan pada tahun tahun ke depan.



We’ll never know. Tetapi, mari bijak bersosial media.

Terima kasih sudah membaca dan mengerti.



0 comments:

© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis