Sudah hampir 5 tahun berlalu dari postingan Potret Dalam Kereta. Kalau kamu
anker (anak kereta), ada baiknya baca
postingan itu sambil menerawang pada keadaan perkereta apian di Indonesia. Ya,
saya mungkin hanya pengguna kereta Jabodetabek yang sekarang lebih akrab disapa
commuter line untuk waktu-waktu
tertentu. Tetapi, menggunakan transportasi umum dan bertemu serta bertahan
bersama stranger untuk kemudian
terpisah karena telah sampai pada tujuannya masing-masing, membuat saya seperti menemukan banyak kehidupan lain di
luar sana. Yang kemudian pada akhirnya mengajak saya untuk bersyukur.
Merujuk kembali pada postingan 5 tahun silam tentang kereta api, maka
kereta api di Indonesia, khususnya Jabodetabek sungguh telah berubah untuk 2
tahun terakhir ini. Bukankah kamu setuju, readers?
Bagaimana saat ini kita tidak lagi menemukan pedagang yang turut
berdesak-desakan menjajakan barang dagangannya di kereta. Yang ada hanyalah
berbagai penumpang yang berdesak-desakan untuk sampai pada stasiun tujuan. Bagaimana
kita tidak lagi melihat petugas yang merokok sebelum kereta berangkat. Yang ada
hanyalah petugas yang dengan cepat membersihkan gerbong sebelum kereta
berangkat.
Bagi saya, perlahan Indonesia menuju perubahan yang semakin baik. Kadang kita
tidak pernah menyadarinya kalau kita tidak sesekali melihat ke belakang. Mengapa
? karena tidak jarang, kita sering mengisi hari-hari yang kita lewati dengan
keluhan. Well, sebenarnya postingan
kali ini pointnya bukan itu. saya
masih akan share tentang potret
kehidupan yang sempat saya temui dalam commuter
line.
Hari itu…Sabtu, 28 Maret untuk pertama kalinya saya dan ibu pergi naik commuter line bersama. Sebut saja agenda
favorit wanita = Shopping. Tetapi,
kejadian ini terjadi saat pulang. Allhamdulillah kami mendapatkan tempat duduk
sedari Stasiun Tanah Abang dan akan turin di Stasiun Sudimara. Saat kereta
sampai di Stasiun Kebayoran, ada sepasang nenek-kakek yang naik dengan membawa
koper yang cukup besar.
Saya ingin memberikan tempat duduk saya kepada nenek-nenek itu, tetapi
semua itu hanya ada dalam pikiran. Kadang, terasa sulit untuk bertindak. Sampai
pada akhirnya, nyokap berbisik dan
meminta saya untuk berdiri dan memberikan tempat duduk itu kepada si nenek. Sayapun
mengikuti perintah nyokap. Tetapi,
ketika saya mempersilahkan si nenek untuk duduk, dia tidak langsung duduk. Ada percakapan
di antara sepasang sejoli itu. begini kira-kira.
Nenek : Kakek, sini duduk
Kakek : Kamu aja yang duduk
Nenek : Kamu aja
Kakek : Udah kamu aja gpp
Begitulah percakapan berulang-ulang sekitar 30 detik. Hingga akhirnya
saya memilih untuk menduduki kursi saya kembali. Ahhahaha becanda deh. Pada akhirnya si nenek yang duduk. Sementara saya
berdiri dan berbincang kecil dengan kakek.
Cukup lucu sih adegan kakek nenek yang justru saling mempersilahkan satu
sama lain untuk duduk. Ya, rasanya lebih so
sweet dibandingkan sepasang kekasih LDR-an yang rebutan buat nyuruh nutup telpon duluan. Ah sudahlahh.
Cerita kedua saya alami di gerbong kereta dalam perjalanan pulang
menggunakan commuter line tujuan
Bogor-Tanah Abang. Ada seorang bocah yang tingkahnya sungguh sangat tidak
karuan. Usianya sekitar 3 tahun, kalau mata saya tidak salah menerka dari look nya. Anak laki-laki itu bersama
ibunya duduk di hadapan saya dan paling pinggir. Si anak terus saja
bergelantungan tidak karuan. Membuat ibunya mau tak mau harus bersusah payah
mengimbangi si anak.
Saya haya tersenyum kecil dan sesekali mengernyitkan dahi. Melihat kejadian
itu, yang ada kepala saya adalah bagaimana anak itu tumbuh dewasa. Ralat..mungkin
lebih tepatnya, bagaimana banyak anak yang tumbuh dengan tidak dewasa ketika
mereka sudah besar dengan bertingkah nakal dan bandel. Nggak kebayang aja,
kalau pas kecil mereka sudah sangat membuat ibunya susah kepalang dengan
tingkahnya lalu saat dewasa masih belum juga menyudahinya.
Bukan maksud apa-apa sih, tapi saya sempat mengambil gambar anak itu. Sesungguhnya
anak itu lucu. Tapi, rasanya kamu akan lebih lucu kalau duduk manis, nak. Suapaya
semua orang yang di kereta mampu melihat wajahmu yang lucu, nak.
Tingkah Laku si Anak (1) |
Tingkah Laku si Anak (2) |
Cerita ketiga, masih seputar anak kecil laki-laki. Tapi usianya bukan
balita. Mungkin antara 7-8 tahun. Kejadiannya terjadi masih pada hari yang sama
tetapi di kereta Tanah Abang-Serpong. Anak itu loncat loncat sambil
menggebrak-gebrak jendela pintu saat kereta itu berjalan. Setidaknya itu yang
paling saya ingat. Melihat kejadian itu, saya seakan berulang kali menahan
nafas. Khawatir jika suatu waktu pintu itu terbuka dan si anak jatuh. Bergidik sendiri
bukan kalau membayangkannya?
Kemudian pandangan saya lemparkan kepada ibunya yang tidak menegur si
anak. Saya dalam hati mempertanyakan, “Mengapa tidak memperingatkan anaknya
yang tidak bisa diam itu? Apakah dia tidah tahu kalau itu menggganggu ketenangan
orang yang mungkin saja ingin beristirahat dalam perjalanan?” fiuuh sudahlah. Saya lebih memilih menutup mata, mencoba tidur
seperti apa yang dilakukan teman di sebalah saya.
Kami turun di Stasiun Sudimara dan menunggu teman saya, Marisa yang antre
menukarkan kartunya. Sambil menunggu, saya memperhatikan orang-orang yang
menyemut keluar dari stasiun untuk segera naik angkot. Seperti yang sering saya
lakukan, sebelum aktif menggunakan motor. Hingga kemudian, sepasang mata saya
menemukan seorang bocah aktraktif di dalam kereta tadi. Dia berjalan paling
depan, diikuti seorang ibu yang mengalungkan pengeras suara di dadanya dan
tangan tertumpu di bahu si anak. Di bahu sang ibu, tertumpu lagi sepasang
tangan milik lelaki yang berjalan di belakangnya.
Seketika jawaban saya terjawab sudah, mengapa si ibu tidak memperingatkan
anaknya di kereta tadi. Mata saya masih belum lepas dari mereka yang saling
beriringan berjalan menuju jalan raya untuk menyebrang, dikepalai si anak kecil
itu tadi. Seketika saya merasa sangat bersyukur karena Tuhan masih
menganugerahi alat indra yang fungsional kepada kedua orang tua saya.
Hari itu, setelah seharian wisata kuliner bersama kedua sahabat saya, ada
rasa syukur lai yang saya bawa pulang.
Terima kasih telah membaca