Salah satu program klise yang hampir ada di setiap kelompok KKN adalah
mengajar. Dan KKN 13 (nama kelompok KKN kami) yang anggotanya tidak biasa tapi
ikut juga program biasa, yaitu mengajar. Kita memecah diri untuk dapat mengajar
ke seluruh lapisan. Baik PAUD, SD, MI, Mts bahkan SMA. Saya kebagian mengajar
Tematik di sebuah MI yang baru berdiri.
Kita inisalkan ya, nama MI nya adalah IM. Karena termasuk sekolah baru,
di sini baru ada kelas 1 dan jumlahnya hanya 6 orang. Saya mengajar dengan
teman saya saat hari pertama itu. Kebetulan kebagian dengan Nanda tapi sempat
ditemani sama Nji karena si Nanda masih siap-siap di rumah.
Saya terkejut dengan murid-muridnya. Mereka bukan murid-murid biasa,
mereka murid luar biasa yang butuh kesabaran luar biasa. Meski hanya ada 6 anak
tapi mungkin kamu butuh 10 orang guru di dalamnya. Mereka sangat hiperaktif dan
sulit diberitahu. Untuk kali pertama saya merasa sangat tidak dihargai di depan
anak kecil. Mereka berteriak teriak dan seolah mengejek setiap kata yang saya ucapkan.
Parahnya mereka adalah perempuan. Sementara anak laki-laki sibuk mendorong
dorong meja dan menabrakkan ke meja temannya yang sedang serius ingin belajar.
Setelah selesai mengajar, saya dan Nanda mendapat pesan “Yang sabar aja
ya kalau ngajar di sini. Anggap aja latihan menjadi ibu yang baik.” Saya cuma
tersenyum sambil ber-iya iya. Keesokkan harinya entah kenapa kaki saya tetap
melangkah ke sana untuk mengajar mereka. Padahal saya bisa tidak datang kalau
saya ingin. Sementara Nanda sudah kapok dan tidak ingin kesana karena melihat
ada anak yang meludah di dalam kelas. Tetapi saya menemukan pesan lain di
baliknya.
Selama ini saya adalah kakak paling tidak sabar dalam mengajari adiknya.
Adik saya selalu menangis di tengah-tengah proses mengajar kalau saya ajari.
Mungkin karena dia sudah tidak kuat menahan saya yang galak kalau mengajarinya.
Semua itu karena saya sangat merasa tidak sabar kenapa dia sulit mencerna apa
yang telah saya ajari.
Dari anak-anak itu saya merasa menyesal atas perlakuan mengajar saya
kepada adik-adik saya. Karena sebenarnya adik saya masih lebih baik dari
mereka, masih lebih mudah untuk diajari daripada mereka. Tapi kemudian saya
tetap berniat untuk mengajari 6 anak itu. Kalau teman saya menyebutnya sebagai
‘minion dijilbabin’. Ya, honestly mereka sangat lucu dan pintar.
Hanya saja mereka sangat hiperaktif dan nakal.
Bersama Minion Dijilbabin, Guru MI, dan Sella saat perpisahan |
Tapi perlahan kelas itu terkendali. Para minion dijilbabin itu perlahan mulai dapat kami kendalikan. Hanya 1
anak yang tetap tidak berubah. Suka mengganggu temannya yang belajar. Entah
dengan menabrak nabrakan mejanya ke meja temannya, merobek buku temannya,
menduduki meja temannya atau hal lain yang sangat menganggu dan menyita
perhatian, namanya Fahri.
Karena sudah berhari hari seperti itu, maka saya gatal untuk bertanya
kepada seorang guru tentang anak itu. Ternyata anak itu adalah korban keluarga broken home dan sudah terbiasa dengan
kekerasan sejak kecil dalam lingkungan rumahnya. Maka dari itu, tidak heran
kalau dia juga sering mengumpat kata-kata yang kotor dan tidak pantas. Dia
melakukan hal menganggu itu hanya untuk mendapatkan perhatian dari orang-orang
di sekitarnya. Padahal Fahri anak yang lumayan pintar.
Dari situ saya menemukan hal baru kembali kalau selalu ada alasan yang
melatarbelakangi mengapa sikap seseorang itu tercipta. Seperti selalu ada
alasan untuk datang ke rumah makan, karena kamu lapar bukan ?
Akhirnya saya ditemani dengan Sella dan teman lain yang setiap hari
berganti-hganti untuk diajak mengajar di sana sampai waktu yang ditentukan
berakhir. Jadi, saya rasa yang tidak merutuki lagi program KKN ini, bahkan saya
merasa telah naik tingkat karena telah melewati 2 dharma perguruan tinggi,
yaitu pendidikan dan pengabdian. Semoga yang terakhi, yaitu penelitan akan
dapat segra saya kerjakan. Aamiin
Sampai jumpa di cerita KKN yang lainnya
0 comments:
Post a Comment