Love at the First Sight
by
Fitria Wardani
Aku
tak pernah percaya dengan ungkapan love at the first sight. Cinta pada
pandangan pertama, mana bisa seperti itu. Aku mencintai seseorang bukan karena
matanya, wajahnya atau bahkan cara berpenampilannya. Aku mencintai karena hati
dan pemikirannya.
Wanita
yang mudah jatuh cinta pada pandangan pertama bagiku adalah pembohong sejati,
penebar jati diri. Yang lebih parahnya, bagiku mereka ‘wanita gampangan.’ Dan
lelaki yang mudah jatuh cinta pada pandangan pertama adalah player kelas kakap. Aku tentu saja bukan
bagian dari keduanya. Tunggu, bukan berarti aku transgender ataupun waria.
Aku lelaki sejati yang mengartikan cinta sebagai proses keterkaitan hati, bukan
melalui mata.
Sampai
pada suatu hari, aku tidak sengaja berkenalan dengan Kirina. Gadis dengan
senyum yang melelehkan hati saat aku menyadarinya lebih jauh. Sore itu, kami
sama-sama berada dalam Trans Jakarta koridor 1 setelah mengikuti workshop
fotografi. Harus kuakui Kirina memerhatikan dari kejauhan sambil melemparkan
seulas senyumnya. Hal itu tidak sekali atau dua kali, tapi sepanjang perjalanan
dari shelter Bank Indonesia menuju Polda.
Akhirnya
kuberanikan diri mulai menyapanya terlebih dahulu
“Hai,
tadi ikut Workshop Fotografi juga kan?,” bukaku
“Iya,
kamu jugakan ? Tadi aku sempat lihat kamu kok di aula. Yang duduknya baris
kedua paling pinggirkan?”
Aku
terkejut karena Kirina mengetahui dengan tepat tempat dudukku selama workshop berlangsung. Tetapi, sedetik
kemudian aku sadar kalau aku masih menggantung pertanyaan Kirina, maka dengan
tergagap aku menjawab, “Oh..oh..iya..iya bener banget. Baris kedua paling
pinggir.”
Kirina
tersenyum sambil menunduk, lalu melemparkan pandangannya ke jalanan ibukota
yang macet. Aku malu dibuatnya. Juga meleleh karena senyumnya yang manis.
“Boleh
kenalan? Aku Mika,” ujarku smbil menyodorkan tangan.
“Kirina,”
jawabnya sambil menyambut jabat tanganku.
Dan
itulah pertama kalinya aku mengenal Kirina. Di dalam Bus Trans Jakarta pada
sorenya ibukota yang tak pernah kehilangan rutinitas macet. Kami berbincang
akrab di tengah wajah lelah para penumpang Trans Jakarta, seolah kami teman
lama yang baru bertemu kembali. Padahal aku dan Kirina baru mengenal selama 45
menit.
Aku
meminta nomor kontaknya untuk dapat berdiskusi kembali tentang fotografi
ataupun hal lain. Sepertinya aku mulai menyukai Kirina. Bukan, ini bukan love at the first sight. Aku telah
menemui wajahnya seharian penuh selama workshop.
Senyumnya juga bukan yang pertama ia tunjukkan karena dia murah senyum kepada
siapapun. Tetapi, senyum yang ia tunjukkan saat kami berbincang berdua di Trans
Jakarta terasa berbeda.
Sudah
sebulan aku dan Kirina dekat. Kami berkirim pesan sepanjang hari dan hampir
setiap hari. ,meski kami berbeda kampus, tetapi kami sempat jalan bareng dua kali. Yang pertama
adalah mengunjungi pameran fotografi dan sempat lari pagi di senayan bersama.
Klik.
Rasanya itu kata yang tepat untuk menggambarkan antara aku dan Kirina. Meski aku 2 tahun lebih muda dibanding
Kirina, tetapi kami bicara layaknya teman sebaya. Semuanya mengalir, tanpa
jeda. Mungkin karena kesamaan kami dalam banyak hal. Mulai dari fotografi, jogging pagi hingga music country yang jadi kebanggan bersama.
Sekali
lagi ini bukan love at the first sight.
Ini adalah proses cinta yang berlangsung karena keterkaitan hati dan pikiran.
Cinta? Berani sekali aku menyebutnya demikian, tanpa tahu apa benar perasaan
Kirina berbanding lurus denganku. Karena tidak ingin dipenuhi kegelisahan,
kuputuskan untuk mengutarakan semuanya pada Kirina.
“Mika,
kamu tahukan kita beda 2 tahun? Aku menganggap kamu sebagai adik. Adik yang
dipenuhi dengan pemikiran-pemikiran keren untuk sesusiamu. Makanya aku nggak
pernah bosan ngobrol sama kamu. Tetapi, untuk memiliki hubungan lebih dari itu,
rasanya nggak mungkin,”
Aku
mengehela nafas “Yang barusan tuh alasan yang paling nggak mau aku dengar deh
kak. Jadi aku masih aja anak kecil ya di mata kakak?,” tanyaku dengan tawa
kecil menertawakan diri sendiri.
“Bukan
itu saja Mika. Kamu nggak tahu hal lain”
“Kalau
gitu kasih tahu aku, kak”
“Sebelum
kenal sama kamu, aku memang lagi dekat sama seorang cowok yang juga temanku.
Kami dekat tanpa kejelasan selama hampir 6 bulan. Aku nggak tahu apa itu bisa
disebut PDKT atau nggak, tapi jujur aku bosan tanpa kejelasan itu. Dan aku
ketemu sama kamu, Mika. Banyak banget dalam diri kamu yang membuat aku
terkagum, yang nggak ada di dalam diri dia. Untuk satu dua minggu, aku merasa
mungkin kamu better dari dia. Lagian
kamu asyik, tapi selanjutnya aku sadar
kalau ada yang hilang. Ada yang beda tanpa dia. Aku nggak butuh yang better dari dia. Aku cukup butuh dia.
Dan semalam, dia mengutarakan semua perasaannya selama 6 bulan itu padaku.”
Dia
yang dimaksud Kirina telah menunggu manis di ujung jogging track layaknya seorang mempelai pria yang menunggu
pengantin perempuannya sampai di altar. Dan aku ? tertinggal sendirian di
tengah jogging track dengan senyum
Kirina yang khas. Tetapi rasanya berbeda, karena senyum itu kini ia
persembahkan lebih tulus kepada ‘dia’ yang telah menunggu di ujung jogging track.
“Terima
kasih untuk semuanya, Mika. Keep in touch
ya, ” ujar Kirina ceria sambil melambai.
Aku
balas melambai dengan pasrah. Sudah kubilang ini bukan love at the first sight, karena kalau memang begitu rasanya tidak
akan sesakit ini.
End
2 Juni 2013