Saya baru saja bertemu dengan teman SMA yang sekarang sedang kuliah di
Semarang mengambil D3. Long weekend
ini dia pulang untuk liburan. Tidak ada tempat terbaik yang kita rindukan
selain rumah, maka dari itu dia rela menghabiskan long weekend ini untuk pulang ke rumah.
Waktu berjalan begitu cepat, ketika dalam obrolan kami salah satu teman
saya yang lain berujar “eh kiki, tahun depan udah lulus ya.” Ohiya, D3 = 3
tahun, lalu setahun lagi atau kurang saya akan menyusul (aamiin).
Di situ saya baru sadar kalau jarum jam berputar begitu cepat. Sebenarnya
usia sudah cukup menjadi bukti kalau waktu telah berputar dan saya bukan lagi
anak kecil. Tetapi perbincangan sore ini seakan menampar saya dan menjauhkan
saya dari realita umur biologis saya.
Mendengar teman saya dan pacarnya—yang sudah pacaran sejak SMA—sama-sama
berjualan apa saja untuk mengumpulkan modal mereka menikah nanti, saya
tercengang. Entah ya serius atau tidak tapi kelihatannya sih memang demikian
apalagi dengan perencanaan waktu yang sudah dibuat si cowok untuk melamar si
cewek. Buat saya, cowok itu visioner
dan melihat hubungan mereka, saya merasa kerdil akan pemikiran ke depan.
Sebenarnya bukan karena envy belum
punya pasangan tetapi envy dengan
pemikiran visioner atas hubungan
mereka. Tidak salah kok buat saya,karena biaya hidup semakin hari semakin
tinggi. Kita nggak mungkin hidup tanpa memikirkan orang lain i mean suatu hari kita juga harus
memikirkan biaya hidup untuk kita sendiri, pasangan dan anak. Intinya untuk
keluarga kita yang baru. Semakin menunda, biayanya memang akan semakin tinggi.
Saya tidak pernah berpikir ke arah ke sana dan honestly tidak pernah menargetkan. Bukan berarti saya tidak
memiliki target, hanya saja target saya bukan ke arah sana, atau mungkin belum
ke arah membangun keluarga baru. Hanya saja mendengar teman sebaya saya
membicarakan hal itu seolah menyadarkan saya kalau saya sebenarnya sudah
dewasa, bukan lagi anak kecil—yang seperti kebanyakan orang lihat. Entah ya
saya berlebihan atau mungkin karena berada di lingkungan single-ers maka kami tidak pernah
membicarakan hal seserius itu.
Selama ini kok rasanya hanya bercanda dan tertawa tanpa bicara serius.
Kalau kita serius, bicaranya pasti nggak pernah jauh dari tugas kuliah, uts,
kuis atau meramalkan profesi audit dalam
realitanya nanti. Mungkin itulah sebabnya kalau saya merasa tertampar mendengar
teman sebaya yang membicarakan soal rencana hubungannya ke depan.
Ada juga cerita soal teman saya yang menjalani LDR Semarang-Kalimantan
sudah hampir 2 thun lebih. Saya belum mendengar visi mereka ke depan yang
serius tetapi si cewek mengaku siap jika harus menetap di Kalimantan setelah
berkeluarga nanti. Buat saya itu ‘wah sekali’.
Postingan kali ini sih intinya menyadarkan kalau saya rasanya kalah
dewasa dalam pemikiran soal relationship.
Balik lagi bukan karena tidak atau belum ada pasangan, tetapi saya memaknainya
sebagai suatu hal yang belum masuk prioritas saya. Istilahnya saya belum
teralalu interest untuk memikirkan
hal itu.
Gimana dong ya, kalau memang nggak ada interest atau ketertarikan akan sesuatu kita nggak mungkin berniat
untuk mengejarnya, bukan ? mungkin dengan obrolan hari ini—dimana saya berperan
besar sebagai pendengar—saya harus membuka mata dan lebih baik lagi dalam
manajemen waktu. Kok rasanya saya banyak menyia-nyiakan waktu ya di semester
ini.
Semoga bisa, mohon doanya
Terima kasih
Wake
up wake up
Isn't
time always been on the run?
(Adhitia Sofyan –
Tokyo Lights Fade Away)
0 comments:
Post a Comment