Mischa masih
termangu melihat seonggok kertas di hadapannya. Sebuah pamflet ‘Couple Ride
Parade’ yang ditunjukkan Mika usai jogging di taman tadi pagi terbujur kaku di
hadapannya.
“Kita harus
banget ikutan ini ya, hun. Pasti seru
dan so sweet,” bujuk Mika.
Mischa
mengamati pamflet itu dengan dahi berkerut. Jawabannya adalah tidak mungkin,
tapi maukah Mika memahaminya.
*
* *
“Hun, besok sore kita hunting sepeda tandem ya? Apa mau nyewa
aja? Aku mau yang warnanya pink ya.” cerocos Mika di halaman rumahnya. Sementara
Mischa hanya sibuk menyirami tanaman di kebun rumah kekasihnya itu.
“Pokoknya
setelah kita dapet sepeda tandemnya, kita harus latihan pagi dan sore. Supaya
menang,” cerocos Mika lagi.
“Aku belum
bilang ‘iya’ lho, Mik untuk ikutan lomba sepeda itu.” Mischa akhirnya buka
mulut.
“Lho kenapa?
Harus ikutan pokoknya. Naik sepeda tandem itu kan romantis.”
“Ya tapi aku
nggak bisa”
“Kenapa? Kamu
nggak bisa naik sepeda tandem?”
“Bukan
begitu.”
“Terus? Tell me why, hunny,” bujuk Mika.
“Aku bukan
nggak bisa naik sepeda tandem, tapi karena aku…aku emang nggak bisa naik
sepeda”
“Haah?” Mika
tersentak kaget, menemukan sebuah fakta yang baru ia ketahui tentag kekasihnya
itu.
Mischa buang
muka, antara malu dan kesal pada dirinya sendiri.
*
* *
“Nobody’s perfect but practice makes perfect.
Kamu nggak perlu khawatir, hun.
Couple Ride Parade nya masih 2 minggu lagi. It means kita punya waktu untuk
latihan. Umm..lebih tepatnya, aku punya waktu untuk ngelatih kamu naik sepeda.
Dan kamu pasti bisa, and then kita
akan menjadi pemenangnya,” jelas Mika sambil menuntun sepedanya yang berwarna
merah muda. Mischa
hanya pasrah setelah semua penolakannya dilibas oleh Mika.
Keringat
Mika dan Mischa sudah sama-sama mengucur deras. Mereka berdua terlihat begitu
kelelahan hanya setelah 30 menit berlalu.
“Aku
capek, hun. Kita lanjut besok aja
deh,” usul Mika.
“Yaudah
kalau kamu capek, kita cari Walls Cornetto dulu yuk.”
*
* *
“Kamu
pegang stang yang stabil dong, hun.
Jangan goyang goyang gitu,” ujar Mika memberi arahan.
Tetapi,
bukannya mengikuti arahan dari kekasihnya, Mischa justru turun dari sepeda
secara tiba-tiba. Belum selesai sampai di situ, Mischa juga membanting sepeda
merah muda milik Mika ke tanah. Mika terlonjak kaget.
“Apa-apaan
sih Mis? Kenapa ngebanting sepeda aku begitu?,” tanya Mika marah.
“Aku
capek tahu nggak kamu arahin nggak jelas. Sebentar sebentar ke kanan, ke kiri,
ke kanan lagi. Kamu nggak becus ngarahinnya,” jelas Mischa kesal.
“Kamu
kira cuma kamu yang capek? Aku juga capek harus megangin sepeda ini dari
belakang karena kamu nggak berani kalau aku lepas. Dasar cowok pengecut”
Misha
langsung pergi meninggalkan Mika. Sementara Mika duduk menepi sambil
mengucurkan air mata meratapi sepedanya.
Lalu,
2 buah Walls Cornetto tiba-tiba saja hadir di hadapan Mika.
“Tadi
aku lihat tukang es dan langsung ingat kamu. Maafin aku ya, hun. Besok aku janji akan latihan lebih
baik lagi,” ungkap Mischa menyesal.
Mika
mengangguk mantap dan mengambil Cornetto favoritnya.
*
* *
“Aku
udah nggak mau latihan naik sepeda lagi. Kita nggak perlu ikutan lomba sepeda tandem
itu,” buka Mischa di sela-sela istirahat berlatih sepeda.
Mika
yang sedari tadi asyik menjilati Walls Cornetto favoritnya seketika langsung
menghentikan aksinya. “Maksudnya?”
“Kamu
kok lemot banget sih. Aku kasih tahu sekali lagi. Kita nggak perlu ikut Couple
Ride Parade itu. Useless juga kan”
“Lombanya
tinggal 3 hari lagi dan kamu bilang nggak jadi ? Kok kamu seenaknya
sendiri
gitu sih. Egois dasar”
“Bukannya
kamu yang egois, Mik. Dari awal kamu yang maksain buat ikutan lomba sepeda tandem
nggak jelas itu. Kamu nggak sedikitpun mikirin gimana perasaanku. Bahkan kamu
nggak nanya kenapa aku nggak bisa main sepeda? Karena kamu nggak pernah mau
tahu. Kamu itu lebih egois.”
Mika
tak kuat lagi menahan air mata yang terkumpul di pelupuk matanya. Tetapi ia
malu jika harus menangis di depan Mischa. Mika lari sekuat tenaga meninggalkan
Mischa, yang dia tahu dia hanya ingin menangis.
*
* *
Mika
ngambek. Atau mungkin marah besar. Setidaknya itulah yang ada dalam pikiran
Mischa. Sudah 2 hari sejak pertengkaran itu, Mika tidak ingin dihubungi oleh
Mischa. Semua perasaan berkecamuk dalam dada Mischa. Meski dengan setengah
takut dan rasa mual, Mischa berlari ke garasi untuk mengambil sepeda adiknya
dan membawanya ke taman.
*
* *
Hari
itu tiba, Couple Ride Parade yang diimpikan Mika. Naik sepeda tandem
berkeliling taman bersama Mischa. Mika berani memimpikanya karena dia tahu
kalau Mischa begitu menyayanginya, tetapi kini semua harapannya sirna sudah.
Mika meringkuk di kamar di Minggu pagi yang cerah. Dia hanya ingin tidur
seharian penuh dan melewatkan hari yang ditunggunya itu terbakar sia-sia.
Tetapi, sebuah bel sepeda yang berisik menganggunya.
Mika
beranjak dari tempat tidur dan mendekati jendela untuk melihat siapa orang iseng
yang membunyikan bel sepeda itu. Betapa terbelalaknya Mika saat melihat Mischa
dengan mengendarai sepeda telah berada di depan rumahnya.
“Kamu
ngapain?,” tanya Mika segera setelah berhadapan dengan Mischa.
“Sepedaan
yuk. Mau aku bonceng nggak?”
“Emang
kamu bisa?”
Nyatanya
hari itu lebih indah dari hari yang
pernah dimimpikan oleh Mika. Mika dan Mischa berkeliling taman dengan
bersepeda.
“Ternyata
lebih romantis dibonceng ya daripada naik sepeda tandem barengan,” buka Mika di
sela-sela jilatan es krim Walls Cornetto.
“Kamu
suka dibonceng seperti ini?,” tanya Mika sambil terus mengayuh pedal.
“Iya.
This is so sweet, hun”
“Tapi,
kalau kamu mau nyobain naik sepeda tandem bareng aku, aku siap kok. Lagipula
lombanya diundur, jadi kita masih punya kesempatan”
“Hahh?
Diundur, hun?,” tanya Mika kaget
hingga membuat sepeda yang mereka tumpangi nyaris oleng.
“Iiii..ya
tapi hati-hati dong, hun. Jangan
banyak gerak. Akukan masih pemula. Nanti kalau kita jatuh, kamu jugakan yang
lecet.”
“Hehe,
maaf hun. Habis aku senang dan nggak
nyangka aja. Btw kok kamu bisa naik
sepeda begini? Jangan-jangan selama ini kamu Cuma pura-pura nggak bisa ya?”
“Mana
mungkin aku pura-pura. Aku pernah trauma naik sepeda karena saat itu pernah
nabrak tukang ketoprak. Lalu semua bumbu kacangnya tersiram ke tubuhku. Makanya
kalau setiap naik sepeda, aku ngerasanya mual mulu. Ingat sama bumbu kacang”
“Hun,
maaf. Aku nggak tahu cerita itu dan bodohnya aku juga nggak pernah nanya. Terus
gimana sekarang Masih mual setiap naik sepeda?”
“Nggak
kok, hun. Sekarang setiap naik
sepeda, aku selalu membayangkan kamu. Jadi, rasa mualnya hilang deh. Selama
kamu ngambek, hampir seharian lho aku latihan sepeda sendirian di taman.
Semuanya demi kamu, hun.”
“Makasih ya.
Maafin aku yang sempat egois”
*
* *
Hari
itu tiba. Couple Ride Parade. Sekarang apapun yang terjadi, Mika nggak peduli
menang atau kalah. Sekalipun tidak kesampaian naik sepeda tandem bersama Mischa
rasanyapun tidak mengapa. Di sudah sangat bahagia dibonceng Mischa beberapa
hari yang lalu.
“Kalau
kamu nggak mau ikutan lomba ini, kita bisa mundur sekarang kok hun,” bujuk Mika untuk kesekian kalinya.
“Nggak
perlu. Aku mau naik sepeda tandem bareng kamu, hun.”
Karena
cintanya yang begitu dalam dan tulus kepada Mika, Mischa tidak hanya mampu
menghilangkan rasa traumanya kan naik sepeda, tetapi ia juga begitu gigih dalam
mengayuh sepeda tandem. Alhasil mereka berhasil memenangkan Couple Ride Parade
itu. Kebahagiaan Mika terasa lengkap.